Dari penampilan, saya memang jauh dari penampilan seorang
guru, atau kepala sekolah. Banyak yang datang ke sekolah, dan cukup terkejut
ketika bertanya, “Kepala sekolahnya ada?” saya jawab, “Ya, saya sendiri,” masih
– terlalu – muda, dan sangat mungkin tidak berpengalaman dalam hal pengelolaan
pendidikan.
Saya diberikan amanah ini Januari tahun 2013. Saat itu saya
baru dua bulan lulus kuliah. Pemahaman masih dangkal, diminta melakukan
pekerjaan yang sebenarnya saya tak pantas. Saya masih lajang, tapi harus
memimpin guru-guru yang sebagian besar ibu-ibu. Juga memimpin pengajian
orangtua siswa dan guru yang juga semuanya ibu-ibu. Saya pikir, belagu sekali saya ini. Saya belum punya
anak, tapi harus mendidik banyak anak. Belum
punya pengalaman mengelola sekolah, tapi langsung diamanahi sebagai pimpinan.
Membina anak dan guru di pagi hari, dan orangtua/masyarakat di sore hari. Alhasil, saya opname lima hari di rumah
sakit, mungkin karena stress memikirkan itu semua.
Jika saya mengutip ayat qur’an, maka saya telah ‘melanggar’
surah ash shaff ayat 2 : Limataquwlu ma
la taf’alun. Mengatakan sesuatu yang saya belum mengalaminya. Mendidik
anak, membina istri, membina keluarga. Tapi, apa yang harus saya lakukan,
sedangkan sekolah sudah berdiri tiga tahun – saya menggantikan kepala sekolah
sebelumnya, dan persoalan sudah begitu menumpuk?
Minggu pertama saya menjabat, saya terapkan evaluasi
mingguan tiap hari Sabtu. Mengevaluasi kegiatan satu minggu itu, kendala,
keluhan, kekurangan sarana/prasarana, dan lain-lain. Bulan Februari saya
terapkan beberapa inovasi, sebagai ciri khas sekolah. Dan sebagai puncak semua
itu, saya tak mengambil gaji/honor dari mulai menjabat sampai saat ini. Saya
kembalikan ke sekolah, karena memang keuangan sekolah masih kritis bahkan
sampai saat ini. Sebagai penghasilan pribadi, saya bekerja menggembala sapi
milik yayasan, mencari rumput, membecak, dan berjualan susu sapi malam harinya.
Itu sedikit cerita, yang barangkali mengawali perkenalan saya dengan bapak/ibu/saudara
peserta seminar. Mudah-mudahan, dengan sedikit cerita ini tidak ada kesangsian
lagi, mengapa panitia meminta saya – yang masih muda ini – untuk berbagi
pengalaman tentang pendidikan madrasah.
Saya beri judul tulisan ini ‘Guru Madrasah : Manusia ½
Malaikat’, karena bukan tempatnya mencari kekayaan atau besarnya pendapatan
dari – katakanlah – profesi itu. Terlebih lagi, Madrasah Diniyah Takmiliyah
Awaliyah (MDTA), kemungkinannya kecil untuk mengharapkan honor bulanan yang
setimpal dengan pengorbanan. Di satu sisi, guru madrasah dituntut masyarakat
untuk ‘ideal’, menjadi teladan anak dan masyarakat dengan persepsi umum : guru
madrasah adalah ustadz dan ustadz itu harus ‘sempurna’. Tapi di sisi lain, dari
amal itu – menjadi guru madrasah – seseorang tak bisa mencukupi kebutuhan
hidupnya, jika hanya dari madrasah. Kita punya keluarga, anak yang sekolah,
istri yang butuh keperluan belanja, bayar listrik, air, atau segala kebutuhan
bulanan. Dalam kata sedernaha, rezeki-Nya tak masuk akal jika dihitung-hitung
dengan matematika normal.
Saya termasuk orang yang tak senang dengan iming-iming
pahala. Karena manusia tak bisa hidup hanya dengan harapan pahala. Tapi,
rasanya susah sekali menjadi guru madrasah tanpa berpegang teguh pada ayat-ayat
qur’an. Semisal tentang rezeki, kita
sering pakai ayat min haitsu la yahtasib :
rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Wa
la taqtuluw awlaada kum khosyyata imlaaq... jangan kau bunuh – masa depan,
mimpi, kesempatan, cita-cita – anak-anakmu karena takut miskin karena Allah
yang memberi mereka rezeki. Atau tentang perjuangan mempertahankan agama Islam,
wa jaahidhum jihaadan kabiyro... dan
berjuanglah dengan semangat perjuangan yang besar. Atashbirruun... maukah engkau bersabar? Atau ayat-ayat yang
lainnya. Jika dengan bahasa sederhana, menjadi guru madrasah adalah menerima
amanah sebagai ‘manusia ½ malaikat’. Pilihannya, jika merasa terpaksa/berat
menjadi ‘pejuang Tuhan’, maka segera berganti profesi. Mengapa ‘Pejuang Tuhan’,
karena kita berjuang untuk mempertahankan agama. Untuk siapa? Untuk Tuhan kita,
Allah. Apa ‘imbalannya’? innallaha
asytaroo minal mu’minina anfusahum wa amwaluhum bi annalahumul jannah... jiwa,
raga, dan harta kita telah dibeli oleh-Nya dengan surga.
Mengapa seakan kita
tak merasakannya – surga? Perumpamaannya, saat kita berada dalam kegelapan,
kita tak akan tahu hadiah di depan kita apa, meski itu sangat berharga. Kapan
kita akan berada dalam cahaya? Setelah batas waktu hidup kita selesai. Kullu nafsin dzaiqotul maut, walanablukum
bisysyari wal khoiri fitnah... semua yang bernafas akan mati, dan Ia
menjadikan keburukan – nasib – dan kebaikan sebagai ujian kehidupan.
Jadi, apakah tidak ada imbalan di dunia ini? Kembali lagi
pada ayat-ayat di atas.
Itu tentang landasan berpikir para guru madrasah. Sesuai
slogan Kementerian Agama : Ikhlas Beramal.
Selanjutnya, tentang pedagogik atau pembelajaran kelas.
Berbeda dengan di sekolah dasar, madrasah memberikan ilmu yang sebenarnya tidak
boleh seseorang tidak mengetahuinya. Semisal pelajaran aqidah, atau fiqh. Pelajaran-pelajaran
seperti ini bukan angka lagi ukuran keberhasilannya. Melainkan ketika telah
terpraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ilmu pengetahuan umum, semisal
kita lupa bahwa nilai intrinsik lebih besar dari nilai nominal uang Indonesia –
pelajaran IPS – barangkali tak begitu masalah. Tapi jika sudah menyangkut
agama, aqidah – sesuatu yang mengikat (aqid) kita, atau fiqh yang mazhabnya
juga banyak, itu cukup sensitif dalam masyarakat. Kita lihat di kabar-kabar
media massa, bahwa beda masjid saja terkadang membuat masyarakat tak mau saling
sapa. Masih mending mungkin jika yang melakukan adalah jamaah awam. Tapi, tidak
jarang ternyata dikomandoi oleh ustadz-ustadz setempat yang pemahamannya
sempit. Di satu sisi, guru madrasah juga manusia biasa. Bisa salah, bisa lupa.
Dituntut untuk paham banyak persoalan agama. Memberikan teladan bukan hanya
pada para siswa/santri, tetapi juga masyarakat. Tapi ketika guru madrasah
kesulitan dalam persoalan duniawi, tak jarang masyarakat enggan untuk
mengulurkan tangan. Masih ada sentimen negatif pada para aghniya (orang kaya), terhadap ustadz atau guru madrasah yang hidup
sederhana. Barangkali, di sana makna slogan Kementerian Agama tersebut :
Beramal Ikhlas. Berjuang tak berpamrih, jika ada persoalan keduniawian tak
berharap pada selain Tuhan. Jalan hidup yang cukup berat.
Terakhir, begitu banyak yang sebenarnya ingin saya share dengan bapak/ibu guru. Tapi, saya
tak biasa datang ke suatu forum untuk banyak bicara. Saya terbiasa dengan
diskusi, komunikasi dua arah. Maka, ada baiknya dalam kesempatan yang baik ini
kita saling berbagi pengalaman. Semoga bermanfaat. Terima kasih.