Kisah dari seorang teman : aku ingin punya cerita sendiri!

Java Tivi
0
Apapun persoalan yang kau hadapi di sana, temanku, ketika dulu ku katakan aku akan menjadi temanmu, maka itulah yang akan ku lakukan seumur hidupku.

We never want to arrive, because we love a ride. _J-Rock_

Ini bukan Cuma ceritaku, baca saja, ok. (hehe)

Tiap akan melakukan perjalanan, keraguan tak jarang datang mengetuk kesadaran, “Apakah memang harus ke sana? Di sini sudah cukup banyak persoalan yang kau hadapi,” tapi, ketika aku ragu, maka akan ku lakukan itu. Bagiku, sangat menyenangkan menjadi seorang pemberani, meski dengan konsekuensi yang berat. ‘Cara Jerman’ (German Supplex), dengan memukul dada kiri dengan tangan kanan, yang biasa aku simbolkan pada teman-temanku, untuk menyemangati mereka. Memberikan nuansa ksatria, seorang pemberani.

Rabu subuh, 25 Juni 2014, aku sampai di Bandung. Jam 6 pagi, aku tidur di emperan masjid. Lagi asyik tidur, mimpi dititipi bayi. Gila, gua lagi berpetualang, malah dititipi bayi. Meski Cuma mimpi, bingung setengah mateng gua. Haha

Sebelum itu – tidur, aku mengirim sms ke seorang teman, adik kelas. Seorang adik yang kira-kira tiga tahun menghilang, mungkin ada masalah dengan skripsinya. Awalnya aku kira, dia tak mau berangkat ke kampus lagi karena satu-satunya teman sekaligus kakak tingkatnya sudah tidak ada di sana : aku sudah lulus meski tak ikut wisuda. Tapi, ternyata bukan Cuma itu. (hehe)

Adik saya ini unik, pada orang lain ia sangat tertutup. Tapi padaku, dia seperti bicara dengan dirinya sendiri : sangat terbuka. Ia laki-laki, tapi meski pemikiran filsafatnya tinggi, sisi feminimnya terlalu dominan. Nah, sebagian tulisan ini adalah kisahnya. Awalnya ia menolak untuk diceritakan – ia ingin menulis sendiri kisah hidupnya, tapi setelah saya ‘hipnotis’ (haha), berkata barangkali ada kebijaksanaan hidup yang bisa diambil pembaca, ia membolehkan.

“Assalamu’alaikum... gimana kabarnya? Afa,” sms saya.

“Wa’alaikumsalam, kabar baik boss. Wah, tumben nih pagi-pagi sms, ada apa?” balasnya.

“Gua lagi di Bandung nih. Lu udah sarapan belum?”

“Tumben ke Bandung, ada acara apa nih? Belum, entar lah, rada siang,”

“Tumben pala lu, tiap bulan gua juga ke Bandung kali. Lu aja yang semedi kelamaan. Gua tiap bulan ada diskusi sama anak-anak PMII di kampus. Sarapan bareng yuk di kampus,”

“Haha, sori-sori, saya gak tahu. Boleh ikut dong. PMII apaan tuh, Palang Merah Indonesia yak? Boleh, jam berapa ke kampus?”

“Haha, Kudet banget lu. Kebanyakan semedi seh lu. PMII itu Pergerakan Mahasiswa Muslim Indonesia. Jam 8-an gimana?”

“Saya bukannya semedi, tapi tidur 2 semester. Haha. Boleh, jam 8 di kantin belakang gedung pasca sarjana ya,”

“Ok, Insya Alloh,” Gua lalu molor, mirip gelandangan di emper masjid Pusdai. Haha

Ke Bandung kali ini untuk menemani teman forum yang sidang skripsi hari Kamis besoknya. Lalu ada kumpul forum, bareng teman-teman lama. Batas akhir skripsi temanku itu bulan ini, karena jika tidak ia terancam di D.O. Saat dulu aku katakan aku akan datang, maka itulah yang (sekuat hati) akan aku lakukan. Karena aku telah gagal dulu, tahun 2011, aku gagal menemani kakak tingkat untuk menyelesaikan skripsinya. Aku lulus tahun 2012, sedang ia, tak ada kabar. Aku sangat menyesal. Im so sorry for that.
Jam 8, saya bertemu dengan adik saya itu. ia agak gemuk. Beda dengan saya yang katanya semakin kurus. (haha).

“Jangan di sini ya – kantin gedung pasca sarjana, mahal, haha,” kata saya.

“Ahh... udah, tenang aja,” katanya.

“Haha, traktir nih? Thengs Ok? Haha,” aku merangkulnya. Dalam hati sudah ada firasat, ada persoalan pelik yang sedang ia hadapi. Bertemu banyak orang di dunia luar sana, membuatku peka memahami kondisi orang yang sedang dalam masalah besar. Dan bisa jadi, kedatanganku kali ini untuknya. Perintah Tuhan kali ini mengarah kepadanya. (haha, lebay!)

“Jadi, ada masalah apa lu ngilang begitu lama? Bukan karena gua udah gak ada disini kan? Hahay,” canda saya.

Dia tertawa kecil.

“Akang anak terakhir ya?” tanyanya.

“Iya, memang kenapa?”

“Enak, gitu mah. Saya anak tunggal, kalo ada masalah gak ada tempat mengadu,” dia mulai bercerita.
Aku menarik nafas panjang – sudah aku duga. Menepuk, merangkul punggungnya.

“Gua memang anak terakhir, tapi dari remaja gua belajar gak bergantung pada siapa-siapa. Berharap pada orang lain itu melemahkan jiwa lelaki kita,” kata saya, biasa, belagu dan sok bijak. (haha)

“Orangtua saya cerai, kang. Saya milih ke ibu. Di rumah saya berantem sama bapak, malah hampir aja saya menonjok wajah bapak saya, karena dia bener-bener tak mengerti perasaan ibu. Saya diusir dari rumah. Beberapa semester ini saya nyari kerja. Tapi sebanyak apapun saya nyari kerja, sebanyak itu juga saya ditolak. Satu semester yang lalu saya bekerja di perpustakaan daerah, tapi juga ternyata gak digaji,”
Aku menghentikan makanku sejenak. “Eum, pantas lu udah gak bicara tentang filsafat lagi. Ternyata lu udah ‘nempel’ dengan perihnya kenyataan hidup,”

“Saya jualan air, jadi tukang fotokopi, wah, banyak lah. Tapi masalah tetap aja gak ilang-ilang,” katanya.

“Lu masih sholat?” tanya saya.

“Kira-kira 2 tahun ini saya gak sholat,”

Aku sudah menduga sebelumnya. Aku tertawa. “Nih, rokok,” aku candai dia dengan rokok.

“Saya gak ngerokok, tapi minum minuman beralkohol beberapa kali sempat,”

“Lu lagi stress, boy. Tapi, kenapa badan lu kok melar ya? Perasaan dulu badan lu sekurus gua deh. Eh, ya.. 11-12 lah, haha,” kata saya lagi.

“Kalo itu saya gak tahu. Banyak yang bilang juga begitu sih,” dia bukan tipe orang yang mudah bercanda. Kalaupun bercanda, biasanya orang yang diajak bercanda tak mengerti maksudnya (kriik.. kriik.. kriik..hihi). Tapi, setelah pertemuan denganku ini, ia akan menjadi diri yang benar-benar berbeda. Karena gue adalah si penyesat nyata.haha :p

Setelah makan, kita ke balai bahasa kampus. Dia mau daftar TOEFL buat persyaratan sidang skripsi. Aku menunggunya di depan gedung. Setelah selesai, kami berbincang lagi tentang banyak hal : psikoanalisa Freud, oedipus complex, the origin of spesies – Darwin, manifesto komunis dan das capital (Marx). Dan banyak hal yang membuatku harus mengingat-ingat lagi data di otakku.

“Kata ibu, laki-laki itu harus lebih mencintai istrinya daripada ibunya,” cerita dia. “Karena bapak saya kejam, tega sekali ke ibu karena takhayul dari ibu bapaknya,”

“Setuju. Seorang istri sebaiknya merasa nyaman dengan kita. Tapi cinta pada istri dan ibu tak bisa disebandingkan, boy. Taat pada ibu sebaiknya diutamakan, selama mereka, orangtua kita baik. Istri taat pada kita, dan kita taat pada orangtua kita dan orangtua istri kita,” kata saya, lagi-lagi belagu. Padahal saya kan belum berumahtangga. (hihi). “Tapi, lu masih jauh kali memikirkan itu. lu masih sangat muda,”
Satu sms datang dari seorang teman PMII. “Akang dimana?”

“Di Balai Bahasa. Mau kesini?” balas saya.

“Oh, tunggu, saya kesitu,” balasnya lagi.

Adikku ini angkatan 2009, sedang sahabat muda yang baru saja sms tadi, angkatan 2010. Aku perkenalkan mereka sambil jalan ke Warteg, buat makan siang.

“Nah, ini adik kelas saya. Kalo saya nggak ada di sini, kamu bisa diskusi sama dia. Pengetahuannya 11-12 sama saya. Tapi masih di bawah saya, haha,” saya bercanda lagi. Mereka tertawa.

Setelah makan, saya dan sahabat PMII tadi sholat dhuhur. Sedang adik kelas saya itu ke SMA 4, tempat praktek mengajarnya – dulu. Lama saya dan sahabat-sahabat PMII diskusi di kontrakan mereka, adik saya itu sms lagi. “Entar malem tidur dimana? Mau gak main ke kontrakan saya?” sms darinya. Saya pikir, ini pasti masih ada masalah yang disembunyikan. Dia memang pemalu. Beda sama saya yang tak punya malu.haha :p

“Oke, boleh,” balas saya.

“Jam lima sore saya tunggu di depan gerbang kampus ya?”

“Siap, insya alloh,”

Yang rencananya mau menginap di kontrakan teman-teman PMII, saya ganti jadwal : ke adik saya itu. tapi, di mana pun saya tidur, biasanya memang ‘gak tidur’, karena malam harinya pasti diajak diskusi sampai pagi.haha, hadeuh. :p

Waktu ketemu teman kontrakan adik saya itu, dia perempuan, dia membercandainya. “Cewek kek yang dibawa, lagi-lagi cowok. Jadi ragu nih...hehe,”  maksudnya, kami lebih mirip sepasang homo, daripada sahabat.haha, asyem. :p

Aku kaget saat masuk kamarnya. Ajib, Cuma kasur dan bantal.

“Cuma ini???”

“Lha iya, saya kan Cuma ngontrak seminggu di sini, terus pulang lagi,” katanya.

Aku baru sadar, bagaimana penilaian teman-temanku dulu waktu masih kuliah, melihat kontrakan yang aku tinggali lebih ‘ajib’ dari ini. Kamar 2,5 m x 1,5 m, tanpa kasur (tidur pakai sajadah), tanpa bantal (pakai tumpukan baju, karena tak ada lemari), lalu sederet buku-buku ‘aneh’. Miris betul.hahaha :P

“Kang, saya kok baru sadar ya selama 5 tahun ternyata suka sama teman kelas,” dia mulai Curcol, haha. 

“Saya teliti pakai psikoanalisa Freud, kok gak nemu jawabannya kenapa,”

“Lu sukanya ke cowok kali, haha,” kata-ku bercanda.

“Cewek lah, kang,”

“Haha, lu mah rumit teuing. Jatuh cinta mah gak usah pake teori-teorian. Nelitinya entar kalo lu udah diterima, merit, atau kalo lu udah ditolak, kenapa rasanya gelap betul patah hati itu, haha,” dalam hal ini, aku sangat pengalaman. Tapi sekarang sudah hilang rasa sakit itu. rasa sakit yang pertama-lah yang membuatku ‘gila’ dan akhirnya, kegilaan itu sampai sekarang.hihi :p

“Cara Jerman, boy (German Supplex),” kata-ku lagi, sambil memukul dada kiriku sendiri dengan tangan kanan. “Ungkapkan, lalu lepaskan harapan. Entar keduluan temen, nyesel lu,”

“Oh iya, saya ada film di laptop. Tokohnya (alurnya) mirip banget sama saya,” kata dia.

“Film apa tuh? Bokep yak? Wahaha,” canda saya lagi.

“Enak aja. Bukan. Korea selatan,”

Gedubrakkk!!!

Aku tertawa guling-guling di kasurnya.

“Lu suka film romance korea, boy? Jhahaha. Pemikiran mah filsafat, nonton film-nya film anak-anak labil, wkwkwk,” terus terang, aku kurang suka dengan film-film romance rekayasa. Bahkan, maaf, semacam film romance muslim pun aku tak suka. Aku tak betah nonton begitu. Aku lebih suka film perjuangan, petualangan, pengorbanan untuk orang yang dicintai / orang-orang lemah (eciee,haha). Semisal film ‘Myn Bala Warrior’, film perjuangan dari Kazakhtan. Atau ‘The Myth’ Jacky Chan, atau dari Korea juga ada sih, misalnya ’71 : into the fire’ perjuangan para tentara pelajar melawan Korea Utara. Kenapa aku tak suka film romance rekayasa? Karena gue bisa lebih romantis dari itu.haha, sombong kali lu! :p

Tapi, dengan tetesan air mata (haha, lebay!), saya tonton juga itu dua film. Yang pertama saya lupa judulnya apa, yang kedua ‘Arcitechture 101’. Saya pikir, barangkali dari ini film saya bisa paham, persoalan hidupnya saat ini. kalau dia keluar kamar, saya cepati itu film. Kalau dia masuk lagi, saya tonton pelan-pelan. Hadeuh, ribet dah.haha :P

“Tuh kan, gua bilang juga ‘Cara Jerman’, boy!” kata-ku setelah nonton itu film. “Momennya bagus. Besok dia kan sidang skripsi, temenin gih, terus ungkapin. Kapan lagi lu ketemu dia coba? Iya kalo lu tuh kayak gua yang banyak dibutuhin (tante-tante,haha!). Tampang kayak lu kan gak mungkin banget ngajak dia makan siang / malam, haha,” aku bercanda lagi.

“Hehe, iya,” katanya, belajar memahami.hihi

“Lu punya nomor telepon dia?”

“Enggak, kang,”

“Jyaahh... lu mau gua bantuin?”

“Gak. Sapere aude (bener gak tuh tulisannya, yang ada di cover buku Das Capitalnya Karl Marx : Carilah/berusahalah sendiri). Saya mau bikin cerita saya sendiri,” katanya. “Akang sih enak, udah punya banyak cerita, petualangan. Saya juga ingin menulis cerita saya sendiri, buat saya ceritakan sama anak cucu saya nanti,” haha, lebay juga dia.

Aku tersenyum, “Apapun persoalan yang lu hadapi – di sana, gua teman lu. Ok. Ketika dulu gua katakan akan jadi teman lu, maka itu yang akan gua lakukan seumur hidup. Insya allah,” aku menepuk punggungnya, merasa bangga adikku itu mau ‘bertarung’ sendiri dengan ketakutannya.

“Tapi, kayaknya saya bakal nangis kalo ditolak, kang,” kata dia.

Aku menahan tawaku. “Memang kenapa? Seseorang tak akan dianggap gak wajar Cuma karena menangis, kan?”

“Akang dulu juga nangis, waktu diputusin pertama kali?” tanya dia. Asyem, pertanyaannya menohok betul ini.haha

“Nangis sih enggak, Cuma gila aja. Lebih sakit daripada sunat, boy,haha,”

“Tapi, akang benar-benar paham sama yang saya ceritain, termasuk tentang masalah saya di rumah?”

“Sangat paham,”

“Ah, yang bener?”

“Ya ampun, boy. Masalah lu ini masih level dua, gua mah udah level 6 atau 7. Kalo lu mau cerita yang lebih sakit dari itu juga insya alloh gua paham,” kata saya. “Cuma gua gak bisa bantu banyak,” sesal saya.
Dia merapikan tempat tidurnya. “Eh, otot tangan akang kok bisa hitam gitu? Saya kok hijau gini ya?” kata dia, tiba-tiba mengalihkan tema bicara.

Aku pikir, ini bocah cermat betul ngamatin saya. Jadi takut saya tidur sekamar.hahaha

“Gua kan cerita tadi pagi juga. Gua udah di level atas daripada masalah lu. Perih lah pokoknya hidup gua di sana. Lebih perih dari sunat, haha,” canda saya lagi. “Lu mau tahu gak, asal kata ‘darah biru’?”

“Ah, gimana tuh, kang?”

“Ya ituh, otot lu, disebut ‘darah biru’. Otot yang masih kelihatan hijau. Asal kata itu dari kerajaan Spanyol abad pertengahan. Anak-anak raja gak boleh main di luar istana, gak boleh kerja. Kalo pun keluar istana, harus bawa pengawal banyak. Pokoknya dienak-enakin lah hidupnya,”

“Oh gitu yah. Saya mau beli barbel ah, buat latihan,”

Jhaahaha, ini anak polos betul. Mesti cepat-cepat gua sesatin nih.haha

Tapi, setelah malam ‘penyesatan’ itu, ia akan jadi anak muda yang benar-benar berani melawan rasa takut dan ragunya. Baca terus, ok?

Paginya kita ke kampus. Benar juga, cewek yang ia suka akan sidang skripsi hari itu. Awalnya aku tak tahu, karena dia malu untuk memberitahu. Tapi dari pandangan matanya, aku tahu mana cewek yang dia maksud.

“Beneran nih, kagak mau gua bantuin?hihi,” kata saya.

“Gak. Saya mau bikin cerita saya sendiri,” katanya, percaya diri.

“Oke, tanya dia ‘kesini sama siapa?’ kalo dia jawab ‘orangtua’, lu tanya lagi ‘cowok kamu gak nganter?’ kalo dia jawab ‘Cowok yang mana/gak punya’ lu diam, tersenyum aja. Jangan terusin nanya-nanya dia, bawel entar didengernya.” Saya mengajari. Tentu bukan Cuma itu, tapi biar gak capek nulisnya, hehe.
Dia mendengarkan dengan seksama. (haha, udah mulai tersesat :p )

“Memang Kang Afa pernah mengalami ini?” tanya dia.

“Haha... gua mah, atuuh...” saya lebay, hehe. “Udah keseringan kali. Tapi kontradiksinya adalah, semakin kita paham tentang wanita, kita harus menjaganya, mencerdaskannya, melindunginya. Makanya dulu gua pernah nolak ajakan 3 cewek berbeda – dalam waktu yang berbeda, buat indehoy, karena konsekuensi itu. gua nyesel, pasti. Tapi gua bangga. Itu konsekuensi setelah kita paham wanita itu bagaimana,” saya belagu lagi.

Siang itu, baterai henpon saya ngedrop. Tidak ada teman yang bawa charge, apalagi henpon saya henpon cina jadul (hehe). Akhirnya saya ke Warnet, buat pinjam USB, buat charge henpon saya. Tapi sebelum pergi, saya isyaratkan pada adik saya itu, “Ingat, boy. Cara Jerman!” sambil memukul dada kiri sendiri. Lalu aku pergi meninggalkannya sejenak.

Satu jam di Warnet, tempat sidang skripsi sudah sepi. Semua sudah pulang, termasuk adik saya itu. juga teman forum saya, yang saya ceritakan di awal tadi – niat utama saya ke Bandung. Sebuah sms datang teman saya itu, “Kita tunggu di masjid kampus ya,”

“Em, Ok,” teman-teman forum katanya sudah kumpul disana.

Kita banyak cerita, diskusi, berkelakar dan membercandai satu sama lain anggota forum. Termasuk, karena kami ‘orang-orang dewasa’, kami sempat juga bercanda tentang pernikahan satu sama lain. Mengobrol sampai maghrib, lalu berpisah selepas maghrib. Kenangan tak terlupakan. Rasanya puitis sekali saat itu. Melihat mereka ceria, tertawa, dan khusus untuk temanku itu yang baru saja sidang skripsi, nampak sekali rasa ‘bebasnya’ : dari beban skripsi.

Waktu masih kumpul, adik kelas kami yang pulang duluan itu sms, “Punya nomor M3 gak? Saya ada pulsa nelpon gratis nih,”

Saya kirim langsung nomor M3 saya. Dia menelepon.

“Gimana? Dapet nomornya?” kata saya.

“Gak. Saya udah ungkapin langsung. Dan ditolak, haha,” dia tertawa. Jarang sekali dia tertawa begitu. Aku paham bagaimana rasa sakitnya.

“Emm.. Ok, santai. Ini bukan masalah ambisi, boy. Ini masalah penyempurnaan ikhtiar. Penolakan itu konsekuensi,”

Tut... tuut... tutt...

Telepon mati. Sepertinya dia mau menangis, seperti yang dikatakannya semalam. Tapi, bagiku itu wajar. Aku sangat paham bagaimana ‘galaunya’ saat itu pertama kali terjadi.

“Thanks sob, udah bantu saya bikin cerita sendiri,” sms dia.

“Santai. Kapan pun lu butuh gua, sms/telepon aja, ok. Kalau masih galau, nulis aja, boy. Ngilangin stress, hehe,” balas saya.

“Ah, kalo pikiran kacau begini apa-apa rasanya susah. Besok aja, saya juga mau pulang besok,”

“Kalo begitu, nonton bokep aja, boy. Wahaha,” canda saya.

“Bercanda mulu nih akang. Hehe. Tapi makasih banyak ya bray, kalo lagi gak bersemangat gini gak enak ngapa-ngapain. Mau berfantasi juga penginnya sama dia,” galaunya pol. (hehe)

“Haha, santai, boy. Ini namanya persahabatan. Gua udah bilang tadi malem kan, gua temen lu,”

“Iya, makasih banyak. Ini saya lagi dengerin lagu ‘pujaan hati’ Kangen Band,”

“Hihi, boleh, boleh. Yang perlu lu tahu, ini hanya satu fase, Cuma sementara – gua kan pengalaman (hihi). Jangan melawan pikiran, ok, mengalir saja,” ***

Maghrib itu, aku ke seorang adik – ia perempuan, yang dulu ikut forum. Beberapa hari (minggu?) aku katakan aku akan main, maka hari itu pun aku tepati kata-kataku. Di perjalanan menuju ia, aku berdoa, “Tuhan, jika kedatanganku membawa kebaikan untuknya, maka sampaikanlah langkahku di hadapannya. Tapi jika kedatanganku akan menyakitinya, maka hentikanlah aku,” dan ternyata, aku sampai di kontrakannya.

Aku sangat menyesal, jika telah membuatnya menunggu terlalu lama. Ia menyukaiku, lama sekali, tapi karena kekhawatiranku membawanya dalam hidupku yang penuh hentakan (perjuangan/petualangan), aku selalu ragu. Tiga wanita di masa lalu, aku ‘mengikatkan diri’, maka aku menunggu mereka sampai akhirnya aku harus merelakan semua. Aku datang, tapi karena, begitu banyak persoalan yang tak mudah dipahami orang-orang umum, aku memilih untuk mengalah. Tapi, adik yang ku datangi ini, ia ‘menjeratku’ dengan rasa sukanya yang diam-diam. Aku tahu itu, tapi karena, lagi-lagi, banyaknya persoalan orang banyak yang aku urusi, aku tak sempat mengurusi persoalan pribadiku : pernikahan. Tapi ketika aku datang, ternyata aku terlambat. Telah datang lebih dulu laki-laki yang mengikat komitmen dengannya.

Aku bersyukur mengalami kisah cinta (halah,hihi) yang berbelit-belit. Dari sana, aku menjadi anak muda yang mudah jatuh cinta dan juga mudah melepaskan jika memang wanita yang ku sukai tak menerimaku. Coba Tuhan tak menakdirkanku untuk berpetualang dalam cinta, pasti aku akan seperti anak laki-laki labil yang mengambek ketika tak menemui apa yang diinginkan : Katanya kamu suka, ini aku datang, kamu malah sama yang lain? haha, :p. Jalinan cinta yang aku lakukan berlandaskan perkenanan. Engkau siap, aku siap. Engkau mau, aku mau. Engkau menolak, aku tak akan memaksa, tapi hatiku selalu terbuka untukmu, dan siapa saja. Luka masa lalu yang begitu parah, ku rasa itu yang menjadikanku begitu – mati.

Tentu aku bahagia. Karena yang menyebalkan dari kehidupanku adalah, ketika Tuhan menyuruhku ‘berjalan’ ke arah tertentu. Tapi ketika sampai ‘di sana’, ternyata Tuhan hanya menjadikanku perantara-Nya : agar ia menjadi semakin dewasa, semakin bijak, semakin paham. Dulu, tahun 2010-2011 juga sama. Perempuan kedua yang entah bagaimana akhirnya kita saling mengikat komitmen. Tapi, sekali lagi, aku hanya menjadi perantara-Nya, memahamkan pada ibunya, bahwa secara usia ia sudah matang, dan aku tak bisa memberi jaminan waktu. Karena kakak perempuanku, bahkan sampai saat ini, belum menikah – aku tak boleh melangkahinya. Saat itu usianya menjelang 25, dan aku 22. Hidupku ‘mengalir’, ketika, entahlah, bisa saja ini hanya prasangka berlebihanku saja, Tuhan menyuruhku berjalan, maka aku pun berjalan ke arah yang ditentukan-Nya. Bagaimana tentang masa depanku? (haha) Bagaimana jika ternyata aku telah mengetahuinya?

Pernah aku berpikir – ketika bayangan masa depan ditutupi-Nya, menyedihkan sekali jika hidup ini seperti sebuah kata-kata dalam film ‘SAFE’ (Jasson Statham), “Mengapa kau memukulinya, jika pada akhirnya kau membunuhnya?” setelah hidup dengan luka parah, lalu Tuhan mematikan kita. (haha, apes banget yak?hihi)
Begitu banyak tokoh dunia yang berjuang demi banyak orang tapi berakhir tragis. Khulafaurrasyidin, 3 diracun, satu dipenggal. Hasan Al Bana ditembak di jalanan, Sayyid Qutb digantung, Syeikh Ahmad Yassin yang sudah lumpuh tapi di bom rudal, Lincoln ditembak kepalanya, Kennedy juga, dan Gandhi pun mati ditembak. Dan kata-kata, “Mengapa kau (Tuhan) memukulinya, jika pada akhirnya kau membunuhnya?” barangkali wajar, mungkin. Karena untuk seorang pejuang – mungkin, kenikmatan hanya ada dua : perjuangan dan kematian. Jangan kau anggap mereka – para pejuang yang mati, telah mati. Sebenarnya mereka hidup, mendapat nikmat terbesar dari Tuhannya. (Qur’an)

Tapi, gua kan bukan pejuang. Kalo pun mau mati sebelum merit, gua mau mati di pangkuan ibu gua.haha, sok imut. :p


Senin, 30 Juni 2014 
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)