Apapun persoalan yang kau hadapi di sana, temanku, ketika
dulu ku katakan aku akan menjadi temanmu, maka itulah yang akan ku lakukan
seumur hidupku.
We never want to arrive, because we love a ride. _J-Rock_
Ini bukan Cuma ceritaku, baca saja, ok. (hehe)
Tiap akan melakukan perjalanan, keraguan tak jarang datang
mengetuk kesadaran, “Apakah memang harus ke sana? Di sini sudah cukup banyak
persoalan yang kau hadapi,” tapi, ketika aku ragu, maka akan ku lakukan itu.
Bagiku, sangat menyenangkan menjadi seorang pemberani, meski dengan konsekuensi
yang berat. ‘Cara Jerman’ (German Supplex), dengan memukul dada kiri dengan
tangan kanan, yang biasa aku simbolkan pada teman-temanku, untuk menyemangati
mereka. Memberikan nuansa ksatria, seorang
pemberani.
Rabu subuh, 25 Juni 2014, aku sampai di Bandung. Jam 6 pagi,
aku tidur di emperan masjid. Lagi asyik tidur, mimpi dititipi bayi. Gila, gua
lagi berpetualang, malah dititipi bayi. Meski Cuma mimpi, bingung setengah mateng gua. Haha
Sebelum itu – tidur, aku mengirim sms ke seorang teman, adik
kelas. Seorang adik yang kira-kira tiga tahun menghilang, mungkin ada masalah dengan skripsinya. Awalnya aku
kira, dia tak mau berangkat ke kampus lagi karena satu-satunya teman sekaligus
kakak tingkatnya sudah tidak ada di sana : aku sudah lulus meski tak ikut
wisuda. Tapi, ternyata bukan Cuma itu. (hehe)
Adik saya ini unik, pada orang lain ia sangat tertutup. Tapi
padaku, dia seperti bicara dengan dirinya sendiri : sangat terbuka. Ia
laki-laki, tapi meski pemikiran filsafatnya tinggi, sisi feminimnya terlalu
dominan. Nah, sebagian tulisan ini adalah kisahnya. Awalnya ia menolak untuk
diceritakan – ia ingin menulis sendiri kisah hidupnya, tapi setelah saya
‘hipnotis’ (haha), berkata barangkali ada kebijaksanaan hidup yang bisa diambil
pembaca, ia membolehkan.
“Assalamu’alaikum... gimana kabarnya? Afa,” sms saya.
“Wa’alaikumsalam, kabar baik boss. Wah, tumben nih pagi-pagi
sms, ada apa?” balasnya.
“Gua lagi di Bandung nih. Lu udah sarapan belum?”
“Tumben ke Bandung, ada acara apa nih? Belum, entar lah,
rada siang,”
“Tumben pala lu, tiap
bulan gua juga ke Bandung kali. Lu aja yang semedi kelamaan. Gua tiap bulan ada
diskusi sama anak-anak PMII di kampus. Sarapan bareng yuk di kampus,”
“Haha, sori-sori, saya gak tahu. Boleh ikut dong. PMII apaan
tuh, Palang Merah Indonesia yak? Boleh, jam berapa ke kampus?”
“Haha, Kudet banget lu. Kebanyakan semedi seh lu. PMII itu
Pergerakan Mahasiswa Muslim Indonesia. Jam 8-an gimana?”
“Saya bukannya semedi, tapi tidur 2 semester. Haha. Boleh,
jam 8 di kantin belakang gedung pasca sarjana ya,”
“Ok, Insya Alloh,” Gua lalu molor, mirip gelandangan di
emper masjid Pusdai. Haha
Ke Bandung kali ini untuk menemani teman forum yang sidang
skripsi hari Kamis besoknya. Lalu ada kumpul forum, bareng teman-teman lama.
Batas akhir skripsi temanku itu bulan ini, karena jika tidak ia terancam di
D.O. Saat dulu aku katakan aku akan datang, maka itulah yang (sekuat hati) akan
aku lakukan. Karena aku telah gagal dulu, tahun 2011, aku gagal menemani kakak
tingkat untuk menyelesaikan skripsinya. Aku lulus tahun 2012, sedang ia, tak
ada kabar. Aku sangat menyesal. Im so
sorry for that.
Jam 8, saya bertemu dengan adik saya itu. ia agak gemuk.
Beda dengan saya yang katanya semakin kurus. (haha).
“Jangan di sini ya – kantin gedung pasca sarjana, mahal,
haha,” kata saya.
“Ahh... udah, tenang aja,” katanya.
“Haha, traktir nih? Thengs
Ok? Haha,” aku merangkulnya. Dalam hati sudah ada firasat, ada persoalan
pelik yang sedang ia hadapi. Bertemu banyak orang di dunia luar sana, membuatku
peka memahami kondisi orang yang sedang dalam masalah besar. Dan bisa jadi,
kedatanganku kali ini untuknya. Perintah Tuhan kali ini mengarah kepadanya.
(haha, lebay!)
“Jadi, ada masalah apa lu ngilang begitu lama? Bukan karena
gua udah gak ada disini kan? Hahay,” canda saya.
Dia tertawa kecil.
“Akang anak terakhir ya?” tanyanya.
“Iya, memang kenapa?”
“Enak, gitu mah. Saya anak tunggal, kalo ada masalah gak ada
tempat mengadu,” dia mulai bercerita.
Aku menarik nafas panjang – sudah aku duga. Menepuk,
merangkul punggungnya.
“Gua memang anak terakhir, tapi dari remaja gua belajar gak
bergantung pada siapa-siapa. Berharap pada orang lain itu melemahkan jiwa
lelaki kita,” kata saya, biasa, belagu dan sok bijak. (haha)
“Orangtua saya cerai, kang. Saya milih ke ibu. Di rumah saya
berantem sama bapak, malah hampir aja saya menonjok wajah bapak saya, karena
dia bener-bener tak mengerti perasaan ibu. Saya diusir dari rumah. Beberapa
semester ini saya nyari kerja. Tapi sebanyak apapun saya nyari kerja, sebanyak
itu juga saya ditolak. Satu semester yang lalu saya bekerja di perpustakaan
daerah, tapi juga ternyata gak digaji,”
Aku menghentikan makanku sejenak. “Eum, pantas lu udah gak
bicara tentang filsafat lagi. Ternyata lu udah ‘nempel’ dengan perihnya
kenyataan hidup,”
“Saya jualan air, jadi tukang fotokopi, wah, banyak lah.
Tapi masalah tetap aja gak ilang-ilang,” katanya.
“Lu masih sholat?” tanya saya.
“Kira-kira 2 tahun ini saya gak sholat,”
Aku sudah menduga sebelumnya. Aku tertawa. “Nih, rokok,” aku
candai dia dengan rokok.
“Saya gak ngerokok, tapi minum minuman beralkohol beberapa
kali sempat,”
“Lu lagi stress, boy. Tapi, kenapa badan lu kok melar ya?
Perasaan dulu badan lu sekurus gua deh. Eh, ya.. 11-12 lah, haha,” kata saya
lagi.
“Kalo itu saya gak tahu. Banyak yang bilang juga begitu
sih,” dia bukan tipe orang yang mudah bercanda. Kalaupun bercanda, biasanya
orang yang diajak bercanda tak mengerti maksudnya (kriik.. kriik..
kriik..hihi). Tapi, setelah pertemuan denganku ini, ia akan menjadi diri yang
benar-benar berbeda. Karena gue adalah si penyesat nyata.haha :p
Setelah makan, kita ke balai bahasa kampus. Dia mau daftar
TOEFL buat persyaratan sidang skripsi. Aku menunggunya di depan gedung. Setelah
selesai, kami berbincang lagi tentang banyak hal : psikoanalisa Freud, oedipus
complex, the origin of spesies – Darwin, manifesto komunis dan das capital
(Marx). Dan banyak hal yang membuatku harus mengingat-ingat lagi data di
otakku.
“Kata ibu, laki-laki itu harus lebih mencintai istrinya
daripada ibunya,” cerita dia. “Karena bapak saya kejam, tega sekali ke ibu
karena takhayul dari ibu bapaknya,”
“Setuju. Seorang istri sebaiknya merasa nyaman dengan kita.
Tapi cinta pada istri dan ibu tak bisa disebandingkan, boy. Taat pada ibu
sebaiknya diutamakan, selama mereka, orangtua kita baik. Istri taat pada kita,
dan kita taat pada orangtua kita dan orangtua istri kita,” kata saya, lagi-lagi
belagu. Padahal saya kan belum berumahtangga. (hihi). “Tapi, lu masih jauh kali
memikirkan itu. lu masih sangat muda,”
Satu sms datang dari seorang teman PMII. “Akang dimana?”
“Di Balai Bahasa. Mau kesini?” balas saya.
“Oh, tunggu, saya kesitu,” balasnya lagi.
Adikku ini angkatan 2009, sedang sahabat muda yang baru saja
sms tadi, angkatan 2010. Aku perkenalkan mereka sambil jalan ke Warteg, buat
makan siang.
“Nah, ini adik kelas saya. Kalo saya nggak ada di sini, kamu
bisa diskusi sama dia. Pengetahuannya 11-12 sama saya. Tapi masih di bawah
saya, haha,” saya bercanda lagi. Mereka tertawa.
Setelah makan, saya dan sahabat PMII tadi sholat dhuhur.
Sedang adik kelas saya itu ke SMA 4, tempat praktek mengajarnya – dulu. Lama
saya dan sahabat-sahabat PMII diskusi di kontrakan mereka, adik saya itu sms
lagi. “Entar malem tidur dimana? Mau gak main ke kontrakan saya?” sms darinya.
Saya pikir, ini pasti masih ada masalah yang disembunyikan. Dia memang pemalu.
Beda sama saya yang tak punya malu.haha :p
“Oke, boleh,” balas saya.
“Jam lima sore saya tunggu di depan gerbang kampus ya?”
“Siap, insya alloh,”
Yang rencananya mau menginap di kontrakan teman-teman PMII,
saya ganti jadwal : ke adik saya itu. tapi, di mana pun saya tidur, biasanya
memang ‘gak tidur’, karena malam harinya pasti diajak diskusi sampai pagi.haha,
hadeuh. :p
Waktu ketemu teman kontrakan adik saya itu, dia perempuan,
dia membercandainya. “Cewek kek yang dibawa, lagi-lagi cowok. Jadi ragu
nih...hehe,” maksudnya, kami lebih mirip
sepasang homo, daripada sahabat.haha, asyem. :p
Aku kaget saat masuk kamarnya. Ajib, Cuma kasur dan bantal.
“Cuma ini???”
“Lha iya, saya kan Cuma ngontrak seminggu di sini, terus
pulang lagi,” katanya.
Aku baru sadar, bagaimana penilaian teman-temanku dulu waktu
masih kuliah, melihat kontrakan yang aku tinggali lebih ‘ajib’ dari ini. Kamar
2,5 m x 1,5 m, tanpa kasur (tidur pakai sajadah), tanpa bantal (pakai tumpukan
baju, karena tak ada lemari), lalu sederet buku-buku ‘aneh’. Miris betul.hahaha
:P
“Kang, saya kok baru sadar ya selama 5 tahun ternyata suka
sama teman kelas,” dia mulai Curcol, haha.
“Saya teliti pakai psikoanalisa
Freud, kok gak nemu jawabannya kenapa,”
“Lu sukanya ke cowok kali, haha,” kata-ku bercanda.
“Cewek lah, kang,”
“Haha, lu mah rumit teuing.
Jatuh cinta mah gak usah pake teori-teorian. Nelitinya entar kalo lu udah
diterima, merit, atau kalo lu udah ditolak, kenapa rasanya gelap betul patah hati itu, haha,” dalam hal ini, aku sangat
pengalaman. Tapi sekarang sudah hilang rasa sakit itu. rasa sakit yang
pertama-lah yang membuatku ‘gila’ dan akhirnya, kegilaan itu sampai
sekarang.hihi :p
“Cara Jerman, boy (German Supplex),” kata-ku lagi, sambil
memukul dada kiriku sendiri dengan tangan kanan. “Ungkapkan, lalu lepaskan
harapan. Entar keduluan temen, nyesel lu,”
“Oh iya, saya ada film di laptop. Tokohnya (alurnya) mirip
banget sama saya,” kata dia.
“Film apa tuh? Bokep yak? Wahaha,” canda saya lagi.
“Enak aja. Bukan. Korea selatan,”
Gedubrakkk!!!
Aku tertawa guling-guling di kasurnya.
“Lu suka film romance korea, boy? Jhahaha. Pemikiran mah
filsafat, nonton film-nya film anak-anak labil, wkwkwk,” terus terang, aku
kurang suka dengan film-film romance rekayasa. Bahkan, maaf, semacam film
romance muslim pun aku tak suka. Aku tak betah nonton begitu. Aku lebih suka
film perjuangan, petualangan, pengorbanan untuk orang yang dicintai / orang-orang
lemah (eciee,haha). Semisal film ‘Myn Bala Warrior’, film perjuangan dari
Kazakhtan. Atau ‘The Myth’ Jacky Chan, atau dari Korea juga ada sih, misalnya
’71 : into the fire’ perjuangan para tentara pelajar melawan Korea Utara.
Kenapa aku tak suka film romance rekayasa? Karena gue bisa lebih romantis dari
itu.haha, sombong kali lu! :p
Tapi, dengan tetesan air mata (haha, lebay!), saya tonton
juga itu dua film. Yang pertama saya lupa judulnya apa, yang kedua
‘Arcitechture 101’. Saya pikir, barangkali dari ini film saya bisa paham,
persoalan hidupnya saat ini. kalau dia keluar kamar, saya cepati itu film.
Kalau dia masuk lagi, saya tonton pelan-pelan. Hadeuh, ribet dah.haha :P
“Tuh kan, gua bilang juga ‘Cara Jerman’, boy!” kata-ku
setelah nonton itu film. “Momennya bagus. Besok dia kan sidang skripsi, temenin
gih, terus ungkapin. Kapan lagi lu ketemu dia coba? Iya kalo lu tuh kayak gua
yang banyak dibutuhin (tante-tante,haha!). Tampang kayak lu kan gak mungkin
banget ngajak dia makan siang / malam, haha,” aku bercanda lagi.
“Hehe, iya,” katanya, belajar memahami.hihi
“Lu punya nomor telepon dia?”
“Enggak, kang,”
“Jyaahh... lu mau gua bantuin?”
“Gak. Sapere aude (bener
gak tuh tulisannya, yang ada di cover buku Das Capitalnya Karl Marx :
Carilah/berusahalah sendiri). Saya mau bikin cerita saya sendiri,” katanya.
“Akang sih enak, udah punya banyak cerita, petualangan. Saya juga ingin menulis
cerita saya sendiri, buat saya ceritakan sama anak cucu saya nanti,” haha,
lebay juga dia.
Aku tersenyum, “Apapun persoalan yang lu hadapi – di sana,
gua teman lu. Ok. Ketika dulu gua katakan akan jadi teman lu, maka itu yang
akan gua lakukan seumur hidup. Insya allah,” aku menepuk punggungnya, merasa
bangga adikku itu mau ‘bertarung’ sendiri dengan ketakutannya.
“Tapi, kayaknya saya bakal nangis kalo ditolak, kang,” kata
dia.
Aku menahan tawaku. “Memang kenapa? Seseorang tak akan
dianggap gak wajar Cuma karena menangis, kan?”
“Akang dulu juga nangis, waktu diputusin pertama kali?”
tanya dia. Asyem, pertanyaannya menohok betul ini.haha
“Nangis sih enggak, Cuma gila aja. Lebih sakit daripada
sunat, boy,haha,”
“Tapi, akang benar-benar paham sama yang saya ceritain,
termasuk tentang masalah saya di rumah?”
“Sangat paham,”
“Ah, yang bener?”
“Ya ampun, boy. Masalah lu ini masih level dua, gua mah udah
level 6 atau 7. Kalo lu mau cerita yang lebih sakit dari itu juga insya alloh
gua paham,” kata saya. “Cuma gua gak bisa bantu banyak,” sesal saya.
Dia merapikan tempat tidurnya. “Eh, otot tangan akang kok
bisa hitam gitu? Saya kok hijau gini ya?” kata dia, tiba-tiba mengalihkan tema
bicara.
Aku pikir, ini bocah cermat betul ngamatin saya. Jadi takut saya
tidur sekamar.hahaha
“Gua kan cerita tadi pagi juga. Gua udah di level atas
daripada masalah lu. Perih lah pokoknya hidup gua di sana. Lebih perih dari
sunat, haha,” canda saya lagi. “Lu mau tahu gak, asal kata ‘darah biru’?”
“Ah, gimana tuh, kang?”
“Ya ituh, otot lu, disebut ‘darah biru’. Otot yang masih
kelihatan hijau. Asal kata itu dari kerajaan Spanyol abad pertengahan.
Anak-anak raja gak boleh main di luar istana, gak boleh kerja. Kalo pun keluar
istana, harus bawa pengawal banyak. Pokoknya dienak-enakin lah hidupnya,”
“Oh gitu yah. Saya mau beli barbel ah, buat latihan,”
Jhaahaha, ini anak polos betul. Mesti cepat-cepat gua
sesatin nih.haha
Tapi, setelah malam ‘penyesatan’ itu, ia akan jadi anak muda
yang benar-benar berani melawan rasa takut dan ragunya. Baca terus, ok?
Paginya kita ke kampus. Benar juga, cewek yang ia suka akan
sidang skripsi hari itu. Awalnya aku tak tahu, karena dia malu untuk
memberitahu. Tapi dari pandangan matanya, aku tahu mana cewek yang dia maksud.
“Beneran nih, kagak mau gua bantuin?hihi,” kata saya.
“Gak. Saya mau bikin cerita saya sendiri,” katanya, percaya
diri.
“Oke, tanya dia ‘kesini sama siapa?’ kalo dia jawab
‘orangtua’, lu tanya lagi ‘cowok kamu gak nganter?’ kalo dia jawab ‘Cowok yang
mana/gak punya’ lu diam, tersenyum aja. Jangan terusin nanya-nanya dia, bawel
entar didengernya.” Saya mengajari. Tentu bukan Cuma itu, tapi biar gak capek
nulisnya, hehe.
Dia mendengarkan dengan seksama. (haha, udah mulai tersesat
:p )
“Memang Kang Afa pernah mengalami ini?” tanya dia.
“Haha... gua mah, atuuh...” saya lebay, hehe. “Udah
keseringan kali. Tapi kontradiksinya adalah, semakin kita paham tentang wanita,
kita harus menjaganya, mencerdaskannya, melindunginya. Makanya dulu gua pernah
nolak ajakan 3 cewek berbeda – dalam waktu yang berbeda, buat indehoy, karena konsekuensi itu. gua
nyesel, pasti. Tapi gua bangga. Itu konsekuensi setelah kita paham wanita itu bagaimana,”
saya belagu lagi.
Siang itu, baterai henpon saya ngedrop. Tidak ada teman yang
bawa charge, apalagi henpon saya henpon cina jadul (hehe). Akhirnya saya ke
Warnet, buat pinjam USB, buat charge henpon saya. Tapi sebelum pergi, saya
isyaratkan pada adik saya itu, “Ingat, boy. Cara Jerman!” sambil memukul dada
kiri sendiri. Lalu aku pergi meninggalkannya sejenak.
Satu jam di Warnet, tempat sidang skripsi sudah sepi. Semua
sudah pulang, termasuk adik saya itu. juga teman forum saya, yang saya ceritakan
di awal tadi – niat utama saya ke Bandung. Sebuah sms datang teman saya itu,
“Kita tunggu di masjid kampus ya,”
“Em, Ok,” teman-teman forum katanya sudah kumpul disana.
Kita banyak cerita, diskusi, berkelakar dan membercandai
satu sama lain anggota forum. Termasuk, karena kami ‘orang-orang dewasa’, kami
sempat juga bercanda tentang pernikahan satu sama lain. Mengobrol sampai
maghrib, lalu berpisah selepas maghrib. Kenangan tak terlupakan. Rasanya puitis
sekali saat itu. Melihat mereka ceria, tertawa, dan khusus untuk temanku itu
yang baru saja sidang skripsi, nampak sekali rasa ‘bebasnya’ : dari beban
skripsi.
Waktu masih kumpul, adik kelas kami yang pulang duluan itu
sms, “Punya nomor M3 gak? Saya ada pulsa nelpon gratis nih,”
Saya kirim langsung nomor M3 saya. Dia menelepon.
“Gimana? Dapet nomornya?” kata saya.
“Gak. Saya udah ungkapin langsung. Dan ditolak, haha,” dia
tertawa. Jarang sekali dia tertawa begitu. Aku paham bagaimana rasa sakitnya.
“Emm.. Ok, santai. Ini bukan masalah ambisi, boy. Ini masalah
penyempurnaan ikhtiar. Penolakan itu konsekuensi,”
Tut... tuut... tutt...
Telepon mati. Sepertinya dia mau menangis, seperti yang
dikatakannya semalam. Tapi, bagiku itu wajar. Aku sangat paham bagaimana
‘galaunya’ saat itu pertama kali terjadi.
“Thanks sob, udah bantu saya bikin cerita sendiri,” sms dia.
“Santai. Kapan pun lu butuh gua, sms/telepon aja, ok. Kalau
masih galau, nulis aja, boy. Ngilangin stress, hehe,” balas saya.
“Ah, kalo pikiran kacau begini apa-apa rasanya susah. Besok
aja, saya juga mau pulang besok,”
“Kalo begitu, nonton bokep aja, boy. Wahaha,” canda saya.
“Bercanda mulu nih akang. Hehe. Tapi makasih banyak ya bray,
kalo lagi gak bersemangat gini gak enak ngapa-ngapain. Mau berfantasi juga
penginnya sama dia,” galaunya pol. (hehe)
“Haha, santai, boy. Ini namanya persahabatan. Gua udah
bilang tadi malem kan, gua temen lu,”
“Iya, makasih banyak. Ini saya lagi dengerin lagu ‘pujaan
hati’ Kangen Band,”
“Hihi, boleh, boleh. Yang perlu lu tahu, ini hanya satu
fase, Cuma sementara – gua kan pengalaman (hihi). Jangan melawan pikiran, ok,
mengalir saja,” ***
Maghrib itu, aku ke seorang adik – ia perempuan, yang dulu
ikut forum. Beberapa hari (minggu?) aku katakan aku akan main, maka hari itu
pun aku tepati kata-kataku. Di perjalanan menuju ia, aku berdoa, “Tuhan, jika
kedatanganku membawa kebaikan untuknya, maka sampaikanlah langkahku di
hadapannya. Tapi jika kedatanganku akan menyakitinya, maka hentikanlah aku,” dan
ternyata, aku sampai di kontrakannya.
Aku sangat menyesal, jika telah membuatnya menunggu terlalu
lama. Ia menyukaiku, lama sekali, tapi karena kekhawatiranku membawanya dalam
hidupku yang penuh hentakan (perjuangan/petualangan),
aku selalu ragu. Tiga wanita di masa lalu, aku ‘mengikatkan diri’, maka aku
menunggu mereka sampai akhirnya aku harus merelakan semua. Aku datang, tapi
karena, begitu banyak persoalan yang tak mudah dipahami orang-orang umum, aku
memilih untuk mengalah. Tapi, adik yang ku datangi ini, ia ‘menjeratku’ dengan
rasa sukanya yang diam-diam. Aku tahu itu, tapi karena, lagi-lagi, banyaknya
persoalan orang banyak yang aku urusi, aku tak sempat mengurusi persoalan
pribadiku : pernikahan. Tapi ketika aku datang, ternyata aku terlambat. Telah
datang lebih dulu laki-laki yang mengikat komitmen dengannya.
Aku bersyukur mengalami kisah cinta (halah,hihi) yang
berbelit-belit. Dari sana, aku menjadi anak muda yang mudah jatuh cinta dan
juga mudah melepaskan jika memang wanita yang ku sukai tak menerimaku. Coba
Tuhan tak menakdirkanku untuk berpetualang dalam cinta, pasti aku akan seperti
anak laki-laki labil yang mengambek ketika tak menemui apa yang diinginkan :
Katanya kamu suka, ini aku datang, kamu malah sama yang lain? haha, :p. Jalinan
cinta yang aku lakukan berlandaskan perkenanan. Engkau siap, aku siap. Engkau
mau, aku mau. Engkau menolak, aku tak akan memaksa, tapi hatiku selalu terbuka
untukmu, dan siapa saja. Luka masa lalu yang begitu parah, ku rasa itu yang
menjadikanku begitu – mati.
Tentu aku bahagia. Karena yang menyebalkan dari kehidupanku
adalah, ketika Tuhan menyuruhku ‘berjalan’ ke arah tertentu. Tapi ketika sampai
‘di sana’, ternyata Tuhan hanya menjadikanku perantara-Nya : agar ia menjadi
semakin dewasa, semakin bijak, semakin paham. Dulu, tahun 2010-2011 juga sama.
Perempuan kedua yang entah bagaimana akhirnya kita saling mengikat komitmen.
Tapi, sekali lagi, aku hanya menjadi perantara-Nya, memahamkan pada ibunya,
bahwa secara usia ia sudah matang, dan aku tak bisa memberi jaminan waktu.
Karena kakak perempuanku, bahkan sampai saat ini, belum menikah – aku tak boleh
melangkahinya. Saat itu usianya menjelang 25, dan aku 22. Hidupku ‘mengalir’,
ketika, entahlah, bisa saja ini hanya prasangka berlebihanku saja, Tuhan
menyuruhku berjalan, maka aku pun berjalan ke arah yang ditentukan-Nya.
Bagaimana tentang masa depanku? (haha) Bagaimana jika ternyata aku telah
mengetahuinya?
Pernah aku berpikir – ketika bayangan masa depan
ditutupi-Nya, menyedihkan sekali jika hidup ini seperti sebuah kata-kata dalam
film ‘SAFE’ (Jasson Statham), “Mengapa kau memukulinya, jika pada akhirnya kau
membunuhnya?” setelah hidup dengan luka parah, lalu Tuhan mematikan kita.
(haha, apes banget yak?hihi)
Begitu banyak tokoh dunia yang berjuang demi banyak orang
tapi berakhir tragis. Khulafaurrasyidin, 3 diracun, satu dipenggal. Hasan Al Bana
ditembak di jalanan, Sayyid Qutb digantung, Syeikh Ahmad Yassin yang sudah
lumpuh tapi di bom rudal, Lincoln ditembak kepalanya, Kennedy juga, dan Gandhi
pun mati ditembak. Dan kata-kata, “Mengapa kau (Tuhan) memukulinya, jika pada
akhirnya kau membunuhnya?” barangkali wajar, mungkin. Karena untuk seorang
pejuang – mungkin, kenikmatan hanya ada dua : perjuangan dan kematian. Jangan kau anggap mereka – para pejuang yang
mati, telah mati. Sebenarnya mereka hidup, mendapat nikmat terbesar dari
Tuhannya. (Qur’an)
Tapi, gua kan bukan pejuang. Kalo pun mau mati sebelum merit,
gua mau mati di pangkuan ibu gua.haha, sok imut. :p
Senin, 30 Juni 2014