(Un)-Answer 4 : Pengantinku

Java Tivi
0
Stay on your happiness, dear...

Sampai saat ini, Sulias masih menjadi orang yang menepati kata-katanya. Minggu lalu, ia berkata akan main ke rumah Layla, bicara dengan orangtuanya, tentang hubungan mereka. Ia masih seorang petarung, yang menghadapi semua itu sendiri. Selama satu minggu itu juga Lias menyiapkan perlengkapan untuk itu. Menghubungi penata rias terbaik yang ia kenal, katering, percetakan, bahkan, sang ibu memberikan cincin yang dulu ayahnya berikan. Seperti dalam memperjuangkan lembaga pendidikan masyarakatnya, tak ada rasa lelah meski ia lakukan itu sendiri. Rasa senang dalam dirinya, mengalir deras hormon endorfin dan dopamine dalam otaknya, bayangan senyum Layla membuatnya dua kali lipat lebih semangat hidup. Tidak ada yang paham apa yang Lias rasakan saat itu. Semua kegagalan yang ia alami seakan lenyap, terhapus kebahagiaan yang akan ia jemput – sebentar lagi. Tapi, rasa senang terkadang membuat seseorang lupa akan beberapa hal.

“Aliya – panggilang mesra Lias, pagi ini aku menepati kata-kataku. Aku akan ke rumahmu,” sms Lias.
Tak ada balasan sampai Lias duduk tenang di dalam bus. Lias coba menghubungi telepon Layla, tak ada jawaban. Dia sms lagi, dan lagi, tak ada balasan. Secercah kecemasan memasuki pikirannya. “Mudah-mudahan tak terjadi apa-apa,” Lias berharap, seseorang yang kali ini ia cintai tak berakhir seperti wanita-wanita sebelumnya. Ia lupa dengan beberapa pemikirannya, bahwa terkadang, apa yang ditakutkan itulah justru yang akan terjadi. “Mudah-mudahan tidak apa-apa,” ia berkali-kali mengulangi kata-kata itu dalam hatinya. Mencoba menenangkan perasaannya yang cemas tak karuan, posesif, tapi tak mungkin ia gegabah mengambil keputuan / kesimpulan. Ia masih bergantung pada harapannya.

Ah! Satu firasat memasuki pikirannya.

“Barangkali henponnya tertinggal di rumah saat ia ke tempat kerja ayahnya,” Lias menggumam sendiri. Firasat ini sedikit melegakan batinnya. “Perempuan memang mudah lupa,” ia tersenyum.

Ia turun di dekat resto ayah Layla. Masih dengan langkah malu-malu, ia menyapa kasir restoran, menanyakan keberadaan Layla.

“Em, Layla di sini, mbak?” tanya Lias.

“Eh, Mas Lias ya,” senyum kecil yang awalnya terlihat dari bibir mbak kasir, berubah menjadi wajah sendu. “Mbak Layla-nya sudah pulang, Mas. Kira-kira 15 menit lalu. Katanya mau ada tamu,”

Ekspresi wajah mbak kasir sebenarnya mengganggu benak Lias. Tapi ketika ia mendengar, bahwa Layla pulang untuk menyambut tamu itu – Lias (?), ia tak memikirkannya lagi.

“Tamu? Siapa mbak?” Lias pura-pura tak tahu.

“Katanya sih dari Mesir. Keluarga teman ibu mbak Layla,” kata mbak kasir lagi. Dari nada bicaranya, Lias tahu ada yang tak dikatakan olehnya. Sesuatu yang sepertinya harus dirahasiakan pada Lias.
Dari Mesir? Lias membatin. Sebenarnya Lias ingin bertanya, siapa teman ibu Layla itu. Tapi, selain ia merasa inferior – berkenalan dengan keluarga jetset, ia bukan orang yang rasanya harus tahu segala hal tentang keluarga Layla.

Ia berpamitan pergi. Pikirannya kacau, cemas bercampur lelah. Apakah akan terjadi lagi sesuatu yang ia takutkan?

Sesampainya di depan gerbang rumah Layla, ia melihat ada tamu yang nampaknya memang penting. Lias mencoba berprasangka baik, tak ada hubungannya dengan soal perjodohan antar keluarga – ia posesif. Sambil menunggu tamu, ia berbincang-bercanda dengan satpam penjaga gerbang. Alih-alih menghilangkan kecemasan, ia mengakrabkan diri dengan penjaga gerbang rumah Layla.

Saat asyik mengobrol, satu sms masuk. Lias berharap dari Layla, tapi ternyata dari Marsya – teman PSK-nya. “Hei  tampan, lagi dimana? Sibuk gak?”

Sepertinya serius.

“Lagi di rumah Layla, mau ketemu orangtuanya. Tapi sekarang masih ada tamu, masih di luar rumah. Ada apa, Sya?” balas Lias.

“Si Om-om yang dulu booking waktu di – penginapan – Sunset mau booking lagi. Tapi aku takut dia tahu rencana kita dulu,” sms Marsya lagi.

Lias berpikir keras. Selangkah lagi ia akan mendapatkan apa yang diimpikannya – Layla. Tapi, apakah harus sekarang ia pulang dan menyusun strategi lagi untuk temannya itu?

“Kapan dia mau booking?” sms Lias.

“Sore ini katanya. Gimana, Li, aku takut banget,”

Sore? Waktu menunjukan jam 1 siang. Jika urusan Lias selesai dalam satu jam, ia mungkin masih bisa untuk bertemu Marsya, dan mencari cara untuk lepas dari kekhawatiran itu. Tapi, sepertinya tak ada tanda-tanda tamu dari Mesir itu akan cepat pulang.

Aarrgghh!!

“Oke, oke, kamu tenang dulu. Gua usahakan sebelum jam lima gua udah pulang. Tenang, okey,” sms Lias lagi.

Lias mengirim sms pada Layla, “Aliya, aku ada di pos satpam rumah kamu. Aku menunggu tamu pulang dulu,” ia tahu, rasanya sakit sekali ketika sapaan tak terbalas. Tapi ia belajar untuk tak berprasangka apa-apa.

Sekitar lima menit setelah itu, bukan Layla yang datang, melainkan ayahnya. Jantung Lias berdegub kencang, bercampur perasaan senang dan kekhawatiran.

Bagaimana jika diminta pulang? Aku hanya anak jalanan. Lias merasa inferior. Sekuat apapun dia menghadapi hidup, ia tetap memiliki sisi gelap juga – rendah diri.

Ayah Layla menjabat tangan Lias. Dari ekspresi wajahnya, tak nampak tanda-tanda penolakan. Mereka berbincang basa-basi, bercanda, lalu akhirnya, inti pembicaraan siapa tamu yang datang itu.

“Saya meminta maaf, dik. Tamu yang datang itu teman ibunya Layla. Anaknya baru menyelesaikan Magister di Al Azhar, Mesir, namanya Farhan,” cerita Ayah Layla.

Tiba-tiba, seperti ada rasa sakit yang begitu perih dalam dada Lias. Apakah ini firasat?

“Saya minta maaf. Ibu Layla tak bisa menolak permintaan temannya itu untuk meminang Layla,”

Ah, sakit sekali. Lias membatin. Wajahnya terasa kaku. Ada perasaan sakit yang begitu dalam. Tapi tentu, tak mungkin ia ungkapkan.

“Saya tak tahu harus berkata apa. Mereka berdua – ibu Layla dan temannya – pernah berjanji saat muda, jika mereka punya anak mereka akan berbesan,”

Tanpa ingin mendengar cerita yang lebih menyakitkan, Lias memotong cerita ayah Layla.

“Baik, pak. Insya Allah, ini yang terbaik untuk Layla,” pikiran Lias langsung mengarah pada sms Marsya. Mungkin ini pertanda, belum saatnya ia memikirkan dirinya sendiri. “Saya mohon pamit, sampaikan terima kasih saya untuk Layla,” Lias tak duduk lebih lama. Ia berpamitan, menjabat tangan ayah Layla dan pak satpam. Ia mengenal keluarga itu baik-baik, maka ia pun mengakhirinya dengan baik-baik pula. Meski Layla tak mau menemuinya, apa yang diceritakan ayah Layla sepertinya sudah cukup – sakit. Ada perasaan perih yang menggelayuti pikiran. Semacam rentetan pertanyaan untuk Tuhan, mengapa takdirnya begitu pahit. Tapi, ia bukan tipe orang yang menyerahkan kehidupan begitu saja pada Tuhan. Ia benar-benar seorang petarung. Meski luka sakit melemahkan langkahnya, ia tak akan berhenti. Kini ia tahu, mengapa senyum mbak kasir tiba-tiba berubah saat melihatnya beberapa waktu lalu.

“Sya, gua lagi di jalan. Ini mau naik bus. Kamu tetap di kontrakan ya, jangan kemana-mana,” sms Lias pada Marsya.

“Cepat banget, Li? Lancarkah?” balas Marsya, ragu.

“Ceritanya entar kalau udah di bus,” Lias mengatur nafasnya yang tersengal. Bukan karena lari atau lelah, tapi aliran darah yang terasa lambat mengalir dalam tubuhnya. Ia merebahkan diri di kursi bus. Jatuh lemas.
Sambil memainkan cincin yang ia ambil dari saku kemejanya, Lias menelepon Marsya.

“Ada kemungkinan gak kalo si Om-om itu Cuma mau kamu lagi?” ucap Lias.

“Kayaknya enggak deh. Tadi waktu telepon, ada suara berisik yang sepertinya suara bapaknya Rayya,” kata Marsya.

Bayangan Lias kembali pada beberapa menit sebelum bus. Cerita ayah Layla yang masih berdengung dalam pikiran Lias membuatnya tak bisa berpikir tenang. Pikirannya gusar. Hatinya masih terasa sakit. Ia tak ingin memikirkan itu lagi, tapi tetap saja tak bisa. Kenangan wanita-wanita masa lalunya pun kembali datang. Menambah beban pikiran yang kini ia rasakan. Benar-benar menyesakkan.

“Oke, oke. Begini saja, kamu ke markas anak-anak ya. Minta Roji dan teman-teman buat jaga-jaga, barangkali bapaknya Rayya bawa preman ke sana. Kalau nggak macet, dua jam lagi gua nyampe,” suara Lias terdengar gusar.

Marsya yang lebih berpengalaman terlukai oleh kehidupan, merasakan itu. ia mengganti tema pembicaraan.
“Ya udah. Aku langsung ke sana. Eh, ngomong-ngomong, gimana tadi sama keluarganya Layla?” kata Marsya.

“Gagal lagi, Sya – hehe,” Lias tertawa satire.

Tanpa disadarinya, seorang perempuan – muda – mendengarkan suara Lias di depan kursinya. Suara yang tak mungkin perempuan itu lupakan.

“Gagal lagiiii??? Aduh, Li, Li. Kamu kayaknya kena kutukan deh – haha, kenapa sih kamu nggak nyari yang mudah saja kota ini? aku juga boleh kok – haha,” Marsya coba menghibur.

“Apaaaaa’an, masa gua yang masih virgin dapetnya nene-nene??” Lias tertawa, mencoba menghilangkan perasaan sakitnya.

“Sialan kamu. Aku kan masih 28 tahun – hehe,” kata Marsya lagi. “Nggak apa-apa deh kalau kamu poligami – haha,” hiburnya lagi. “Tapi segera move on ya, Li,”

“Haha, move on sih buat anak-anak labil kali, Sya,” sanggah Lias.

“Terus, buat kamu apa?”

“Fighting! Haha,”

Lias masih memainkan cincin yang diberikan ibunya. Perempuan di depan tempat duduknya mengintip melalui celah-celah kursi. Ia mendengarkan ucapan Lias dengan teliti.

“Gua mau fokus dulu lah ke anak-anak. Nggak mau mikirin perempuan lagi buat sejenak,” kata Lias. Nada bicaranya mulai serius.

Marsya paham, di saat-saat seperti ini, sahabat dekatnya membutuhkan teman bicara. Membutuhkan teman berbagi cerita, agar beban hidupnya sedikit hilang.

“Kamu sih terlalu memaksakan diri. Selalu saja menanggung semua beban hidup anak-anak itu sendirian. Itu akan membuatmu merasa lelah hidup, Li,” pengalaman hidup Marsya membuatnya bijak. Hanya saja, terkadang seseorang tak mudah untuk lepas dari masa lalunya, dan memulai hidup dari nol lagi. “Aku nggak bisa bantu apa-apa selain doa. Itu juga kalau Tuhan masih mau mendengarkan doa dari manusia seperti aku,”

“Emang kamu kenapa?” kini giliran Lias yang menggoda.

“Kamu tuh ya, nggak bisa dinasehatin, dasar,”

Mereka tertawa.

“Kak Lias?” sapa perempuan di kursi depan Lias.

Eh? Lias terkaget. Apakah ini kebetulan? Atau takdir?

“Hani? A-, apa yang kamu, eh, kok kamu ada di sini?” Lias tergagap. Sejenak bayangan ketika Hani memutuskannya datang, tapi cepat-cepat ia hilangkan. Pikiran seperti itu hanya akan menambah beban pikiran saja saat itu.

“Siapa, Li?” tanya Marsya dari balik telepon.

“Ha-, Hani, Sya...” Lias masih tak percaya.

Oh!

“Oke, oke. Aku langsung aja ke markas, entar kita lanjut di sana ya,” Marsya tahu kisah antara Hani dan Lias. Di balik wataknya yang kuat, ada hati yang rapuh dalam diri Lias. Dan pada orang ‘berpengalaman’ seperti Marsya-lah ia bisa bercerita tentang pahitnya kehidupan.

Henpon dimatikan.

“Kakak dari mana?” Hani memindahkan tas-nya. Ia duduk di samping Lias yang masih termangu, tak percaya siapa yang dilihatnya sekarang.

“Da-, dari... ah, enggak. Jalan-jalan aja – hehe,” kata-katanya tergagap. Ia malu barangkali Hani tahu isi pembicaraannya dengan Marsya tadi.

“Gagal apa tadi, kak?” tanya Hani, polos.

“Ah, kamu nguping ya? Dasar nakal,” Lias buru-buru memasukan cincin yang dari tadi ia mainkan.

“Iya – hehe, maaf,” kata Hani. Nada bicaranya nampak lepas. Seakan tak ada tanda-tanda rasa suka atau sedih pada Lias. Hani membuka-buka berkas, nampaknya akan mengerjakan suatu tugas. Mungkin perusahaan tempatnya kini bekerja.

Lias akhirnya bercerita tentang Layla, perempuan unik yang ia temui beberapa bulan setelah Hani memutuskan untuk tak bersamanya. Juga tentang kunjungan Layla ke sekolah ABK-nya.

“Dia mau dibeli dengan mahar surah ar rahman dan 99 puisi cinta,” kata Lias.

“Ahhh... Aku juga pengin itu, dibeli dengan surah itu...” ucap Hani. Suaranya yang ceria, dan tentu saja kemunculannya, sejenak menyejukan jiwa Lias. Kerinduannya lenyap bak kemarau yang tersirami hujan tiba-tiba.

“Eh, kamu gimana sama dia? Nggak ada apa-apa ‘kan?” tanya Lias, khawatir. Ia memang bisa merasakan sakit – hati, tapi lebih sakit lagi ketika orang yang ia cintai tersakiti. Mungkin itu alasan ia mau berkorban apa saja untuk anak-anak di sekolahnya, atau bahkan, Marsya – temannya yang PSK itu.

Hani tertawa kecil.

“Kita sepakat buat jalan masing-masing, Kak. Orangtua kita nggak saling setuju,” cerita Hani.

Oh?

“Terus?” tanya Lias lagi.

“Ya... enggak diterusin – hehe. Seperti yang kakak ajarkan ke Hani dulu waktu masih di kampus : kita bertemu baik-baik, maka berpisah pun baik-baik – hehe. Hani sama Nana bertemu dengannya di taman kampus, bicara baik-baik, lalu kami menerima itu – meski sakit,” cerita Hani lagi. “Kakak benar, akan jadi apa anak muda yang tak pernah merasakan sakitnya kehilangan. Rasa sakit itu menguatkan jiwa muda kita,”

Lias menarik nafas panjang. Ia membalut telapak tangan kirinya dengan sapu tangan. Apa ini, skenario-Nya?

“Sini, tangan kamu,” ucap Lias.

“Buat apa?” tanya Hani.

“Udah sini, kakak bukan orang jahat – hehe,”

Sambil menggenggam tangan Hani dengan telapak tangan yang dibalut sapu tangan, Lias berucap lagi.

“Aku mau paksa kamu, untuk jadi pengantinku,” kata Lias, tangannya melingkarkan cincin pemberian ibunya pada jari manis Hani. Lias tersenyum.

“Aku pernah berkata, tak akan menyentuhmu, bukan? Ku balut tangan ini agar engkau tetap suci. Ingin sekali dulu ku katakan aku lebih unggul darinya – aku primus interpares, tapi aku tak mau memaksa perasaanmu,” Lias tersenyum. “Kamu boleh lepas cincin itu, kalau kamu menolakku lagi,” matanya berkedip, menggoda Hani. Kata-katanya, bahwa ia akan fokus pada anak didiknya pun terhapus dengan kemunculan perempuan yang ia rindukan itu.

Hani mendekapkan tangannya – yang telah melingkar cincin di jari manisnya. Wajahnya bahagia. Seperti kedatangan Lias dulu yang mendadak, perasaan seperti itu terulang lagi.

“Enggak, kak. Engga akan – menolak lagi,” matanya berkaca-kaca.

“Jangan nangis di sini, nanti kakak bisa dipukuli banyak orang – hehe,” canda Lias.

Mereka tertawa, bahagia.
***

“Berkas apa yang kamu bawa itu?” tanya Lias setelah perasaan antara mereka mencair.

“Hani kerja di bagian advertising, Kak. Butuh model tetap buat trial produk baru. Tapi belum dapat orangnya,” kata Hani.

Model tetap?

“Laki-laki atau perempuan?”

“Perempuan,”

Lias menelepon Marsya.

“Sya, ada proyek nih. Pokoknya bisa bikin kamu pensiun dari jalanan,”

“Tapi, Kak, ini produk baru, belum tahu efek samping dari multivitamin ini apa,” tanya Hani.

“Nggak masalah. Dia kebal sama penyakit. Robot dia – haha,”
***
“Seakan Tuhan berkata : Tetaplah dalam kebahagiaanmu di sana – surga. Jangan dekati kesenangan (pohon) itu. Titik pentingnya bukan pada kesenangan hidup yang berbatas waktu. Tapi pada keinginan keluar dari ‘kebahagiaan diri’ menuju kesenangan di luar diri. Keinginan akan mengarah pada kesenangan, itu sangat mungkin tercapai. Tapi konsekuensi ketika manusia sampai pada kesenangan adalah, ia akan jatuh pada kesedihan/kehilangan setelah itu terlewati. Hilangnya kesenangan itu, mungkin yang disebut dalam kitab sebagai azab yang pedih. Keinginan yang terus mengalir menuju kesenangan luar diri, keluar dari ‘surga’ (kebahagiaan diri), lalu jatuh pada kesedihan, rasa kehilangan, terus menerus begitu sampai kita mati, tanpa menyadari sebelumnya.... Stay on your happiness, dear,“


Selesai.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)