Keep grow up!
Pagi-pagi dapat sms dari teman, “Tulisan lu tentang gue
kurang bagus bray, masa’ gue terkesan cengeng, lemah, dan subversif?”
“Makanya, tulis sendiri. Nanti gua upload deh, edisi revisi –
hihi,” balasku.
Aku paham jiwa anak muda, karena aku pernah mengalaminya –
bahkan mungkin lebih pahit. Ia tak paham, dengan pesan yang ingin aku sampaikan lewat tulisan-tulisan ini – aku mengerti
itu, sungguh. Seperti yang aku katakan, itu hanya satu fase. Jangan dikira aku
tak pernah mengalami itu. dan itu wajar. Jangan dikira memiliki tubuh super
kurus dan wajah blo’on – saya (hehe), tak merangsang orang untuk merendahkan,
menghina, menganggap lemah. Dari SMP aku sudah berani mendatangi seorang adik
kelas yang memalak di jalanan. Aku kira dia kuat, ternyata lebih lemah dariku. Dia
merasa kuat karena bersama teman-teman preman impoten-nya itu. masuk SMA, siapa yang tak akan mengejek cowok
kerempeng yang pemalu dan pendiam? Hingga seorang adik kelas pindahan, ‘menantangku’
berduel, satu (saya) lawan tiga (mereka). Boleh saja kau tak percaya ceritaku
ini. Banyak cerita hidup yang ku alami memang tak masuk akal. Bahkan, untuk
mengalahkan seorang lemah (tanpa tanda kutip) saja membutuhkan tiga orang
bertubuh bagus. Benar, aku kalah. Hidung, mataku berdarah, bibirku robek. Tapi aku
ada perlawanan, mengejar satu orang, sampai dia juga hampir sama babak
belurnya. Dan dia di keluarkan dari sekolah – aku menang. Bukan hanya itu, dua
temannya, dari sekolah lain, dikeroyok oleh adik kelas pindahan (dari sekolah
itu) yang akrab denganku. Aku punya tiga teman genk, tapi ku tolak tawaran
bantuan itu, dan mereka paham aku ini laki-laki ‘yang bagaimana’ menghadapi
tantangan. Mereka hanya melihat dari kejauhan, bersiap jika memang aku tak
mampu menanganinya sendirian. Manusia itu berbeda dengan senjata. Manusia,
sebelum menyakiti orang lain, ia telah terluka sendiri sebelumnya. Tapi
seringkali kita tak merasakan, karena kebodohan kita.
Keep grow up!
Teruslah tumbuh, dan lewati fase-fase hidup ini dengan
berani.
Pagi ini, rencana akan ada halal bi halal sekolah. Tapi,
tempat yang akan dipakai – rumah kakak laki-laki saya, tutup karena dia dan
istrinya ada acara. Aku katakan pada bapak – ketua yayasan, “Semangat kita tak
boleh kendur. Kemarin, lawan kita terlihat. Politik, masyarakat yang benci
sekolah, para pemfitnah, jadi wajar semangat kita tinggi. Tapi, sekarang lawan
kita tak terlihat, kita jadi santai. Sedang sebenarnya keadaan belum
membolehkan kita untuk itu,” kami berkumpul di ruang tengah. “Rencananya, hari
ini kita kumpul. Lalu dilanjut besok kerja bakti, karena ruang kelas di
belakang sama sekali belum layak pakai,” ada re-plan yang sebaiknya aku sampaikan
pada guru-guru, kabar diterimanya aku di sekolah lain, juga masalah sarana
prasarana. Banyak sekali sebenarnya yang harus kita bicarakan, yang pasti,
belum saatnya kita santai.
“Motor matic nanti dipegang sama adik sepupu saja. Motor satunya
– bebek (yang biasa dipakai saya), dipegang mba (kakak ke-6), buat antar jemput
siswa. Nanti Mba – kakak ke-1 – bonceng kakak ipar (istri kakak laki-laki saya).
Saya bisa naik sepeda – balap – buat berangkat ke sekolah,” kata-ku lagi.
“Nanti bagaimana kalau ada rapat atau panggilan dinas?”
tanya bapak.
“Aku masih muda,” jawabku pendek. Dan beliau paham.
Agenda politik kemarin membuat kami banyak hutang. Salah satunya
meminjam ke seorang paman yang anak terakhirnya sekarang sudah SMA. Dia bilang
butuh motor, dan meminta hutang itu buat beli motor. Tapi karena kami belum
punya, maka motor matic itu yang akan diberikan. Mengapa aku yang harus –
katakanlah – dikorbankan? Aku masih muda, dan punya kendaraan, yang memang
tidak secepat motor, tapi cukup layak pakai dan keren (hehe). Lagipula, selalu
harus ada yang dikorbankan dalam suatu perjuangan.
Selanjutnya, kakak ke-1 akan mengkhitankan anaknya. Dia butuh
tambahan dana, dan memang aku katakan, bulan ini akan diberikan honor guru,
penuh tanpa pengurangan. Meski jam mengajar kemarin, bulan ramadan, hanya satu
minggu saja efektifnya. Bagaimana nanti jika anggaran kurang? Ada kemungkinan
aku diterima di SMK, karena kemarin waktu diwawancarai kepala sekolahnya,
beliau menerimaku dan tertarik dengan pemikiranku. Dari honor mengajar di sana,
akan dialirkan ke sekolah kita – its the plan. Hanya saja, aku tak bisa menyumbang
lagi selain honor itu. Lebaran ini aku benar-benar kere (haha, biasanya juga
begitu kali). Kemarin dapat tunjangan, tapi semuanya sebagian buat ibu, sebagian
lagi buat perlengkapan sekolah. Dapat juga kiriman dari kakak di Jakarta, tapi
tanpa memasukannya ke saku, aku berikan penuh pada ibu. Dapat juga fidyah
(ajib, gua termasuk kaum fukoro wal
masakin!haha, saya dianggap sebagai sabilillah, orang yang berjuang di jalan Tuhan,hihi), tapi juga yang menerima ibu. Bekerjalah, berjuanglah – fighting!, dan kebaikan akan mendatangimu. Tapi, yang
hebat adalah ia yang bekerja keras, dan ketika kebaikan mendatanginya, ia
alirkan untuk orang lain. Ia hanya selang.
Itu, yang ku maksudkan kuat, temanku. Teruslah tumbuh. Orang
lain boleh mengatakan kita lemah, cengeng, subversif, gembel, kere, sesat, tak
waras, atau apapun itu. Tapi kita tak boleh mengatakan itu pada diri kita
sendiri. Lihatlah lebih ‘tinggi’, tapi jangan kau lepaskan kakimu dari bumi. Lihatlah
lebih ‘luas’ (besar), tapi jangan kau katakan pada orang lain tentang
kebesaranmu. Seekor semut tak akan mengakui bahwa semut sesamanya lebih besar
dari ia – semut itu kecil. Masih banyak di sekitar kita orang-orangtua yang
belum dewasa : kita sebaiknya memahaminya. Penolakan itu memang menghinakan,
tapi hidup tak berhenti hanya karena itu. Hinaan itu menguatkan kita. Jangan marah,
tersenyumlah – itu yang ku lakukan. Tenang... karena dalam jiwa yang tenang,
setan kebingungan. Setan bermain dalam pikiran orang yang menghina kita, dan ia
juga bermain dalam pikiran kita jika kita marah. Terlebih lagi, ia yang senang
ketika dihina – seperti tenangnya ia ketika dipuji, akan membuat setan merasa
gila.
Tumbuhlah kuat. Nikmati proses yang perlahan itu. Hanya
pelangi yang keindahannya datang tiba-tiba, dan begitupun saat menghilangnya. Keep
fighting!