Si
Jhon memang gila. Ternyata kediamannya selama enam semester ini hanyalah kepura-puraan.
Ia layaknya Martin Luther yang mengobrak-abrik Gereja di abad pertengahan. Juga
layaknya Nabi Muhammad yang menjadi pencerah bagi kaum Quraish. Aku baru
menyadari betapa berat kehidupannya di kampus ini, setelah membaca
tulisan-tulisannya di Blog. Mahasiswa keturunan Belanda-Jawa itu sangat berbeda
dengan para pendahulunya – kaum penjajah atau priyayi/penguasa. Setelah ia
keluar dari organisasi keislaman kampus di semester tujuh, sekarang ia dicap
sebagai pemberontak. Apa alasannya? Seakan ia tak kenal kompromi, Pada
organisasi berhaluan nasionalis, ia memprotes. Pada organisasi-organisasi
keislaman – termasuk bekas organisasinya – ia juga melawan. Pada organisasi
keagamaan – hampir secara keseluruhan, ia juga menjadi martir. Hingga akhirnya
ia dijauhi oleh
rekan-rekan kampus dari tindakannya yang radikal – keras/mengakar. Dianggap
kafir – oleh organisasi keislaman, dianggap sesat, stress, dan predikat lainnya
yang membuat kami geleng-geleng kepala, karena ia tak marah atau benci
sedikitpun pada mereka.
Namun bukan berarti ia pemuda yang garang dan
mengerikan. Seringkali ia mengatakan pada kami – aku, Sian, dan Fatih –
temannya yang masih setia, “Seorang pejuang, mampu tersenyum manis pada dunia –
wanita, tahta, dan harta. Namun tidak ada hasrat untuk memiliki, kecuali sesuai
kebutuhan dan memang sudah saatnya,” kami sering jelek sangka padanya, bahwa ia
seorang playboy. Dikarenakan seringnya duduk berduaan – di taman atau di
perpustakaan, dengan wanita yang berbeda-beda. Dan ternyata, mereka hanyalah
rekan diskusinya. Baik itu membahas ilmu pengetahuan – sangat nampak wajah
intelektual pada diri Jhon, atau sekedar mendengarkan curhat sang klien – para
wanita.
Awalnya,
kalau tidak salah dari mulai masuk kuliah, ia banyak bertanya tentang
pengekangan senior atas yunior. Ia banyak protes tentang proses ospek atau
kaderisasi yang dilakukan kakak tingkat jurusannya. Protes terhadap kemarahan
senior pada yunior yang tak beralasan, pembentakan, hukuman, feodalisme –
penguasaan manusia atas manusia lain. Namun
ia belum berani melawan secara fisik. Mungkin ia sadar dengan keadaan dirinya –
tubuh yang langsing dan pemikiran
yang belum begitu radikal/mengakar.
Itu
satu contoh. Pengalaman lain yang aku dapatkan dari tulisannya di blog yaitu
tentang protesnya pada organisasi keislaman yang ia ikuti. Meskipun, ia selalu
tak mau disebut sebagai pengikut. “Saya bergabung, bukan mengikuti organisasi
itu. Bergabung dengan mengikuti nuansanya beda. Bergabung itu setara, tidak ada
yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Karena seorang pemimpin
dalam organisasi dipilih bukan karena ia paling cerdas atau unggul, melainkan
kesepakatan. Pengikut beda lagi. Ia hanya akan menjadi bawahan, tak punya hak
suara, atau sekedar mengingatkan. Bukankah sesama manusia harus saling
mengingatkan?” katanya suatu saat. Aku teringat ketika masih sering diskusi
dengannya tentang pertentangan Soekarno dan Hatta. Pertentangan saat Sukarno
mulai ‘lupa’ dengan makna Pancasila ke-4. Ia mengira bahwa itu adalah
pembenaran untuknya melakukan kebijakan demokrasi terpimpin tahun 1959.
Kenangan
lainnya, yaitu ketika kami melihat Sian yang rajin ke masjid dekat kost-kosan
kami. Sian bilang, “Kiamat sudah dekat, cepat taubat!” sambil tersenyum kecut.
Sian termasuk salah satu kader organisasi keislaman ekstra kampus yang tak
dihiraukan oleh rekan organisasinya. Jhon sangat paham, organisasi itu
didominasi oleh orang-orang yang kurang mengerti latar belakang kehidupan orang
lain. Sian masuk organisasi itu karena ajakan, tapi setelah masuk, ia diabaikan.
Kata Jhon, organisasi sekarang memang bangga dengan kuantitas, mirip seperti
PKI – Partai Komunis Indonesia. Partai yang dilarang oleh Indonesia ini, di
jamannya merekrut para buruh, tani, dan pengangguran. Setelah itu, mereka
mengabaikan para kader yang tak tahu apa-apa itu. Aku baru tahu, di jaman awal orde baru, banyak
simpatisan PKI yang dibantai di Bali. Tragis. Lebih mengagetkan lagi, sebagian
besar mereka adalah rakyat awam. Aku tahu cerita itu dari buku catatan harian
Soe Hok Gie. Tokoh yang sempat diidolakan oleh Jhon saat masih semester awal.
Ditambah lagi, masyarakat ada yang belum bisa menerima bertetangga dengan
keturunan orang-orang bekas PKI. Yang salah leluhurnya, kok yang dibenci
keturunannya sih? Aneh.
Beberapa
hari setelah kami menyelidiki Sian, ternyata ia memiliki beberapa masalah.
Pertama diacuhkan dari organisasinya – padahal ia sangat membutuhkan
pemahaman-pemahaman agama. Kedua, kekasih Sian dijodohkan orang tuanya. Hati
kami geli ingin tertawa terbahak, namun kami mencoba mengerti perasaannya saat
itu. Hidup memang tidak selalu seperti yang kita impikan. Keinginan seringkali
bukan sebuah kebutuhan. Aku yakin, Tuhan tidak pernah memberi apa yang kita
inginkan, tapi Ia selalu memberi apa yang kita butuhkan.
Di
tulisan yang lain, aku menemukan dialog antara Jhon dan rekannya dari
organisasi berhaluan ‘kiri’ – sok sosialis.
“Apa
kalian tidak melihat adik-adik kita yang ditindas oleh sesama kita? Kalian
mengkhianati nabi-nabi kalian – Marx, Trostsky, Proudhon!” kenapa aku sebut si Jhon
gila, karena pengetahuannya nyaris menyeluruh. Kami – aku, Sian, dan Fatih –
sering menyebutnya sebagai ensiklopedia berjalan. Ia segala tahu. Atau paling
tidak, ia segala ingin tahu. Ia hapal tokoh-tokoh komunis, tapi ia hapal juga
tokoh-tokoh islamis.
“Bukan
begitu, Jhon. Pergerakan itu ada aturannya. Kita tidak sendirian. Bergerak
bersama akan lebih memuaskan untuk sebuah perjuangan. Saya tahu mereka adalah
penindas tak berotak. Tapi kami lemah tanpa kuantitas,” jawab rekan Jhon.
“Kalian
tahu tentang pemikiran ‘kiri’, tapi kalian tak paham! Belajarlah dari Musso
yang hendak mendirikan Soviet Republik Indonesia, sebagai cara mobilisasi
(mengumpulkan) massa, atau Aidit yang berhasrat membentuk angkatan kelima dari tani dan buruh –
kaum tertindas,”
Hasilnya
sama saja, mereka tak mampu bergerak seperti para tokoh yang diidolakan mereka.
Dialog
yang lebih seru ketika ia berdebat dengan salah satu ‘ustadz’ organisasi
keislaman yang selalu menyerukan Dinnul
Islam dan Negara Islam. Kalau
tidak salah, mereka memuji-muji Kartosuwiryo yang mendeklarasikan Negara Islam
Indonesia 7 Agustus 1949 silam. Dulu kami sempat membahas ini dalam diskusi
kost-kosan. Bahwa Kartosuwiryo mendeklarasikan NII dikarenakan perjanjian
Renville yang mengakibatkan kekosongan kekuasaan di Pasundan. Karena para
pejabat dan tentara Indonesia diinstruksikan untuk mengosongkan daerah yang
diklaim milik Belanda hasil dari perjanjian Renville.
“Kami
menginginkan negara atas dasar Al Qur’an dan Hadits. Negara yang tidak
berlandaskan itu adalah negara kafir!”
“Kita
disebut manusia, karena kita punya akal untuk berpikir. Mohon maaf, apa ustadz
tidak memikirkan sejarah yang telah dialami oleh Kartosuwiryo saat menyuarakan
seperti yang ustadz katakan tadi? Kartosuwiryo di Jawa Barat, Amir Fatah di
Jawa tengah, Ibnu Hajar
di Kalimantan Selatan, Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakar di Makasar, mereka
punya massa yang memang memiliki dasar agama yang kuat, sedang ustadz hanya
mendoktrin mereka?” ucap Jhon.
“Tak
masalah. Terlalu berpikir akan menjadikan umat sesat! Mungkin seperti dirimu,
anak muda,” sang ustadz tersenyum sinis.
“Berapa
ayat yang Allah katakan dalam ‘surat-Nya’ agar kita mengoptimalkan akal dan
terus memikirkan kebijaksanaannya, ustadz?” pada akhirnya, sendiri tetaplah tak
sekuat bersama.
Bukan
hanya pada organisasi yang dianggap sesat saja oleh MUI – NII, tetapi pada
organisasi Kristenpun ia juga menjadi pengingat. Aku masih ingat saat aku
mengajaknya ke kontrakan seorang teman beragama Kristen, yang ternyata ia
sedang bercumbu dengan kekasihnya dalam kontrakan. Aku tak menyangka Jhon juga
hapal ayat-ayat dalam alkitab, setelah mereka sadar, Jhon berkata, “Aku
ingatkan kata-kata Yesus dalam Matius pasal 19 ayat 18, Kata orang itu kepada-Nya: "Perintah yang mana?" Kata Yesus:
"Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan
saksi dusta. Kau ini anggota organisasi agamamu. Tapi aku sekedar mengingatkan, lho,”
Aku masih ingat saat ia
menganalisis kasus Poso, Sampit, di Ambon. Konflik antara umat Kristiani dan
Islam yang sangat mengerikan. Juga tentang RMS – Republik Maluku Selatan, yang
pernah kami diskusikan. Tentang dalil UUD 45 yang digunakan kader RMS, “Kemerdekaan
adalah hak setiap bangsa, maka setiap sistem penjajahan haruslah dihapuskan
dari atas muka bumi, karena hal itu tidak sesuai dengan keadilan dan
prikemanusiaan". Atas pernyataan ini, kami anjurkan agar Bapak-bapak
menggarisbawahi "kekeliruan-kekeliruan" yang dilakukan Pemerintah RI
dan ABRI di Maluku di luar sampaipun di tanah air Jawa sejak Juni 1950 hingga detik
saat ini.” Surat dari petinggi RMS yang dikirimkan tanggal 25 November 1998. Yang
ternyata, di balik semua itu, Soumokil pendiri RMS, memperoleh dukungan dari
Yahudi Israel, dan hendak mendirikan negara Kristen di Maluku Selatan. Dengan tujuan memecah persaudaraan antara umat
Islam dan Kristen Indonesia. Aku masih ingat ucapan Yesus tentang
Altruisme – mementingkan orang lain daripada diri sendiri, dalam alkitab. Aku
juga masih ingat tentang Tat Twam Asi
dari agama Hindu. Aku adalah kau. Kau adalah aku. Kekuranganmu aku tutupi
dengan kelebihanku, dan kekuranganku sewajarnya kau tutupi dengan kelebihanmu.
Aku akan memperlakukanmu seperti aku memperlakukan diriku sendiri.
Dua bulan kemarin, saat terakhir
kami bertemu dan berdiskusi bersama – ada juga Sian dan Fatih, sebelum Jhon
pulang ke kampung karena ia telah lulus. Hari itu hari Sabtu sore, kami
membahas tentang aurat dan jilbab. Kali ini, yang didebat adalah Fatih, ia
fanatis Islam. “Menutup aurat memang menjadi syariat – hukum – Islam, begitu juga
dengan jilbab atau kerudung. Tapi wahyu tentang itu turun karena budaya arab
terhadap aurat dan jilbab. Sebelum nabi Muhammad lahir, Abdul Muthalib, kakek
nabi Muhammad sudah membudayakan itu. Tak perlu marah jika ada orang yang
mengatakan jilbab itu bukan syariat Islam. Itu ada benarnya, meski tak
sepenuhnya.” Kata Jhon.
“Tapi lihat surat An Nur ayat 31,
Jhon!” Fatih agak sentimen, sedang aku yang kurang paham dengan agama Islam
hanya senyum-senyum saja.
“Bukan itu ayat yang pertama turun.
Alurnya, pertama surat Al Ahzab, tentang keluarga nabi yang diperintahkan
menutup autar. Lalu baru an Nur 31 dan akhirnya an Nur ayat 60,” ucap Jhon
tenang. Wajah Fatih memerah. Aku tak tahu ia marah atau justru malu, mengerti
Jhon lebih tahu tentang keislaman daripada dirinya yang berorganisasi Islam.
Secara penampilan, Jhon memang tidak meyakinkan dalam hal keislaman, tapi
otaknya, sungguh luar biasa.
Adzan maghrib pun berkumandang. Kami
– aku dan Jhon – berpamitan lebih dulu. Dalam perjalanan, Jhon mengajakku untuk
makan nasi goreng. Aku tak menyangka, ia tahu aku sedang puasa hari sabat. Aku
termasuk seorang kristiani yang taat pada agama, salah satunya puasa hari
sabat.
Kamis,
20 Oktober 2011