Jhon

Java Tivi
0
Si Jhon memang gila. Ternyata kediamannya selama enam semester ini hanyalah kepura-puraan. Ia layaknya Martin Luther yang mengobrak-abrik Gereja di abad pertengahan. Juga layaknya Nabi Muhammad yang menjadi pencerah bagi kaum Quraish. Aku baru menyadari betapa berat kehidupannya di kampus ini, setelah membaca tulisan-tulisannya di Blog. Mahasiswa keturunan Belanda-Jawa itu sangat berbeda dengan para pendahulunya – kaum penjajah atau priyayi/penguasa. Setelah ia keluar dari organisasi keislaman kampus di semester tujuh, sekarang ia dicap sebagai pemberontak. Apa alasannya? Seakan ia tak kenal kompromi, Pada organisasi berhaluan nasionalis, ia memprotes. Pada organisasi-organisasi keislaman – termasuk bekas organisasinya – ia juga melawan. Pada organisasi keagamaan – hampir secara keseluruhan, ia juga menjadi martir. Hingga akhirnya ia dijauhi oleh rekan-rekan kampus dari tindakannya yang radikal – keras/mengakar. Dianggap kafir – oleh organisasi keislaman, dianggap sesat, stress, dan predikat lainnya yang membuat kami geleng-geleng kepala, karena ia tak marah atau benci sedikitpun pada mereka.

 Namun bukan berarti ia pemuda yang garang dan mengerikan. Seringkali ia mengatakan pada kami – aku, Sian, dan Fatih – temannya yang masih setia, “Seorang pejuang, mampu tersenyum manis pada dunia – wanita, tahta, dan harta. Namun tidak ada hasrat untuk memiliki, kecuali sesuai kebutuhan dan memang sudah saatnya,” kami sering jelek sangka padanya, bahwa ia seorang playboy. Dikarenakan seringnya duduk berduaan – di taman atau di perpustakaan, dengan wanita yang berbeda-beda. Dan ternyata, mereka hanyalah rekan diskusinya. Baik itu membahas ilmu pengetahuan – sangat nampak wajah intelektual pada diri Jhon, atau sekedar mendengarkan curhat sang klien – para wanita.

Awalnya, kalau tidak salah dari mulai masuk kuliah, ia banyak bertanya tentang pengekangan senior atas yunior. Ia banyak protes tentang proses ospek atau kaderisasi yang dilakukan kakak tingkat jurusannya. Protes terhadap kemarahan senior pada yunior yang tak beralasan, pembentakan, hukuman, feodalisme – penguasaan  manusia atas manusia lain. Namun ia belum berani melawan secara fisik. Mungkin ia sadar dengan keadaan dirinya – tubuh yang langsing dan pemikiran yang belum begitu radikal/mengakar.

Itu satu contoh. Pengalaman lain yang aku dapatkan dari tulisannya di blog yaitu tentang protesnya pada organisasi keislaman yang ia ikuti. Meskipun, ia selalu tak mau disebut sebagai pengikut. “Saya bergabung, bukan mengikuti organisasi itu. Bergabung dengan mengikuti nuansanya beda. Bergabung itu setara, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Karena seorang pemimpin dalam organisasi dipilih bukan karena ia paling cerdas atau unggul, melainkan kesepakatan. Pengikut beda lagi. Ia hanya akan menjadi bawahan, tak punya hak suara, atau sekedar mengingatkan. Bukankah sesama manusia harus saling mengingatkan?” katanya suatu saat. Aku teringat ketika masih sering diskusi dengannya tentang pertentangan Soekarno dan Hatta. Pertentangan saat Sukarno mulai ‘lupa’ dengan makna Pancasila ke-4. Ia mengira bahwa itu adalah pembenaran untuknya melakukan kebijakan demokrasi terpimpin tahun 1959.

Kenangan lainnya, yaitu ketika kami melihat Sian yang rajin ke masjid dekat kost-kosan kami. Sian bilang, “Kiamat sudah dekat, cepat taubat!” sambil tersenyum kecut. Sian termasuk salah satu kader organisasi keislaman ekstra kampus yang tak dihiraukan oleh rekan organisasinya. Jhon sangat paham, organisasi itu didominasi oleh orang-orang yang kurang mengerti latar belakang kehidupan orang lain. Sian masuk organisasi itu karena ajakan, tapi setelah masuk, ia diabaikan. Kata Jhon, organisasi sekarang memang bangga dengan kuantitas, mirip seperti PKI – Partai Komunis Indonesia. Partai yang dilarang oleh Indonesia ini, di jamannya merekrut para buruh, tani, dan pengangguran. Setelah itu, mereka mengabaikan para kader yang tak tahu apa-apa itu. Aku baru tahu, di jaman awal orde baru, banyak simpatisan PKI yang dibantai di Bali. Tragis. Lebih mengagetkan lagi, sebagian besar mereka adalah rakyat awam. Aku tahu cerita itu dari buku catatan harian Soe Hok Gie. Tokoh yang sempat diidolakan oleh Jhon saat masih semester awal. Ditambah lagi, masyarakat ada yang belum bisa menerima bertetangga dengan keturunan orang-orang bekas PKI. Yang salah leluhurnya, kok yang dibenci keturunannya sih? Aneh.

Beberapa hari setelah kami menyelidiki Sian, ternyata ia memiliki beberapa masalah. Pertama diacuhkan dari organisasinya – padahal ia sangat membutuhkan pemahaman-pemahaman agama. Kedua, kekasih Sian dijodohkan orang tuanya. Hati kami geli ingin tertawa terbahak, namun kami mencoba mengerti perasaannya saat itu. Hidup memang tidak selalu seperti yang kita impikan. Keinginan seringkali bukan sebuah kebutuhan. Aku yakin, Tuhan tidak pernah memberi apa yang kita inginkan, tapi Ia selalu memberi apa yang kita butuhkan.

Di tulisan yang lain, aku menemukan dialog antara Jhon dan rekannya dari organisasi berhaluan ‘kiri’ – sok sosialis.

“Apa kalian tidak melihat adik-adik kita yang ditindas oleh sesama kita? Kalian mengkhianati nabi-nabi kalian – Marx, Trostsky, Proudhon!” kenapa aku sebut si Jhon gila, karena pengetahuannya nyaris menyeluruh. Kami – aku, Sian, dan Fatih – sering menyebutnya sebagai ensiklopedia berjalan. Ia segala tahu. Atau paling tidak, ia segala ingin tahu. Ia hapal tokoh-tokoh komunis, tapi ia hapal juga tokoh-tokoh islamis.
“Bukan begitu, Jhon. Pergerakan itu ada aturannya. Kita tidak sendirian. Bergerak bersama akan lebih memuaskan untuk sebuah perjuangan. Saya tahu mereka adalah penindas tak berotak. Tapi kami lemah tanpa kuantitas,” jawab rekan Jhon.

“Kalian tahu tentang pemikiran ‘kiri’, tapi kalian tak paham! Belajarlah dari Musso yang hendak mendirikan Soviet Republik Indonesia, sebagai cara mobilisasi (mengumpulkan) massa, atau Aidit yang berhasrat membentuk angkatan kelima dari tani dan buruh – kaum tertindas,”

Hasilnya sama saja, mereka tak mampu bergerak seperti para tokoh yang diidolakan mereka.

Dialog yang lebih seru ketika ia berdebat dengan salah satu ‘ustadz’ organisasi keislaman yang selalu menyerukan Dinnul Islam dan Negara Islam. Kalau tidak salah, mereka memuji-muji Kartosuwiryo yang mendeklarasikan Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1949 silam. Dulu kami sempat membahas ini dalam diskusi kost-kosan. Bahwa Kartosuwiryo mendeklarasikan NII dikarenakan perjanjian Renville yang mengakibatkan kekosongan kekuasaan di Pasundan. Karena para pejabat dan tentara Indonesia diinstruksikan untuk mengosongkan daerah yang diklaim milik Belanda hasil dari perjanjian Renville.

“Kami menginginkan negara atas dasar Al Qur’an dan Hadits. Negara yang tidak berlandaskan itu adalah negara kafir!”

“Kita disebut manusia, karena kita punya akal untuk berpikir. Mohon maaf, apa ustadz tidak memikirkan sejarah yang telah dialami oleh Kartosuwiryo saat menyuarakan seperti yang ustadz katakan tadi? Kartosuwiryo di Jawa Barat, Amir Fatah di Jawa tengah, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakar di Makasar, mereka punya massa yang memang memiliki dasar agama yang kuat, sedang ustadz hanya mendoktrin mereka?” ucap Jhon.

“Tak masalah. Terlalu berpikir akan menjadikan umat sesat! Mungkin seperti dirimu, anak muda,” sang ustadz tersenyum sinis.

“Berapa ayat yang Allah katakan dalam ‘surat-Nya’ agar kita mengoptimalkan akal dan terus memikirkan kebijaksanaannya, ustadz?” pada akhirnya, sendiri tetaplah tak sekuat bersama.

Bukan hanya pada organisasi yang dianggap sesat saja oleh MUI – NII, tetapi pada organisasi Kristenpun ia juga menjadi pengingat. Aku masih ingat saat aku mengajaknya ke kontrakan seorang teman beragama Kristen, yang ternyata ia sedang bercumbu dengan kekasihnya dalam kontrakan. Aku tak menyangka Jhon juga hapal ayat-ayat dalam alkitab, setelah mereka sadar, Jhon berkata, “Aku ingatkan kata-kata Yesus dalam Matius pasal 19 ayat 18, Kata orang itu kepada-Nya: "Perintah yang mana?" Kata Yesus: "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta. Kau ini anggota organisasi agamamu. Tapi aku sekedar mengingatkan, lho,”

Aku masih ingat saat ia menganalisis kasus Poso, Sampit, di Ambon. Konflik antara umat Kristiani dan Islam yang sangat mengerikan. Juga tentang RMS – Republik Maluku Selatan, yang pernah kami diskusikan. Tentang dalil UUD 45 yang digunakan kader RMS, “Kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, maka setiap sistem penjajahan haruslah dihapuskan dari atas muka bumi, karena hal itu tidak sesuai dengan keadilan dan prikemanusiaan". Atas pernyataan ini, kami anjurkan agar Bapak-bapak menggarisbawahi "kekeliruan-kekeliruan" yang dilakukan Pemerintah RI dan ABRI di Maluku di luar sampaipun di tanah air Jawa sejak Juni 1950 hingga detik saat ini.Surat dari petinggi RMS yang dikirimkan tanggal 25 November 1998. Yang ternyata, di balik semua itu, Soumokil pendiri RMS, memperoleh dukungan dari Yahudi Israel, dan hendak mendirikan negara Kristen di Maluku Selatan.  Dengan tujuan memecah persaudaraan antara umat Islam dan Kristen Indonesia. Aku masih ingat ucapan Yesus tentang Altruisme – mementingkan orang lain daripada diri sendiri, dalam alkitab. Aku juga masih ingat tentang Tat Twam Asi dari agama Hindu. Aku adalah kau. Kau adalah aku. Kekuranganmu aku tutupi dengan kelebihanku, dan kekuranganku sewajarnya kau tutupi dengan kelebihanmu. Aku akan memperlakukanmu seperti aku memperlakukan diriku sendiri.

Dua bulan kemarin, saat terakhir kami bertemu dan berdiskusi bersama – ada juga Sian dan Fatih, sebelum Jhon pulang ke kampung karena ia telah lulus. Hari itu hari Sabtu sore, kami membahas tentang aurat dan jilbab. Kali ini, yang didebat adalah Fatih, ia fanatis Islam. “Menutup aurat memang menjadi syariat – hukum – Islam, begitu juga dengan jilbab atau kerudung. Tapi wahyu tentang itu turun karena budaya arab terhadap aurat dan jilbab. Sebelum nabi Muhammad lahir, Abdul Muthalib, kakek nabi Muhammad sudah membudayakan itu. Tak perlu marah jika ada orang yang mengatakan jilbab itu bukan syariat Islam. Itu ada benarnya, meski tak sepenuhnya.” Kata Jhon.

“Tapi lihat surat An Nur ayat 31, Jhon!” Fatih agak sentimen, sedang aku yang kurang paham dengan agama Islam hanya senyum-senyum saja.

“Bukan itu ayat yang pertama turun. Alurnya, pertama surat Al Ahzab, tentang keluarga nabi yang diperintahkan menutup autar. Lalu baru an Nur 31 dan akhirnya an Nur ayat 60,” ucap Jhon tenang. Wajah Fatih memerah. Aku tak tahu ia marah atau justru malu, mengerti Jhon lebih tahu tentang keislaman daripada dirinya yang berorganisasi Islam. Secara penampilan, Jhon memang tidak meyakinkan dalam hal keislaman, tapi otaknya, sungguh luar biasa.

Adzan maghrib pun berkumandang. Kami – aku dan Jhon – berpamitan lebih dulu. Dalam perjalanan, Jhon mengajakku untuk makan nasi goreng. Aku tak menyangka, ia tahu aku sedang puasa hari sabat. Aku termasuk seorang kristiani yang taat pada agama, salah satunya puasa hari sabat. 


Kamis, 20 Oktober 2011
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)