Hari
libur tahun ini Singgih akan mudik ke kampungnya, yang sudah sekitar lima tahun
ia tinggalkan. Ia bekerja di salah satu perusahaan industri kayu milik asing di
Kalimantan. Perusahaan yang dulu ia pukul rata, bahwa semua perusahaan asing
hanya mementingkan dirinya sendiri, sedang keuntungan untuk rakyat Indonesia
tetaplah khayal. Berbeda dengan Ilham, ia bekerja di salah satu pesantren
modern di Bogor. Salah satu pesantren yang didirikan orang Arab, seperti yang
ia impi-impikan lima tahun lalu. Jika Singgih merupakan mantan aktivis kampus
lima tahun lalu, dan seorang kutu buku, maka temannya ini – Ilham – adalah
seorang muslim yang cukup fanatis. Mereka berdua akan bernostalgia seperti yang
biasa mereka lakukan sekitar lima tahun lalu, nongkrong di warung kopi depan
kantor kelurahan bersama sahabat desanya. Seorang sahabat yang sangat berbeda
dengan karakter dua orang tersebut. Namanya adalah Imam, seorang pemuda penjual
bakso keliling, meneruskan pekerjaan ayahnya.
Malam
minggu itu mereka berkumpul di warung kopi seperti yang mereka rencanakan. Imam
yang datang terlambat, berjalan agak tergesa mendekati Ilham dan Singgih, “Maaf
euy, telat. Maklum baru beres
bisnis,” ucap Imam sambil tertawa kecil. Ia sengaja menggunakan kata ‘bisnis’
sebagai pengganti kata ‘jualan bakso’ untuk sekedar bercanda.
“Ah,
elu mah, sibuk teuing sama pekerjaan. Nggak berubah dari dulu,” sela Singgih
sembari memesan kopi, sedang Imam hanya tertawa kecil. “Ari ente gimana kemajuannya di pesantren itu, Ustadz?” tanya
Singgih dengan nada menyindir pada Ilham. Mereka bertiga sudah terbiasa berbeda
pendapat sejak lima tahun lalu tentang banyak persoalan hidup. Namun perbedaan
atau debat yang mereka lakukan tak pernah membuat mereka saling bermusuhan.
Mereka berprinsip, ‘Perbedaan tak boleh menjadikan mereka berhenti duduk
bersama meminum kopi,’ atau ‘Beda pikiran, namun satu hati’. Karena bagi
mereka, jika saat masih muda tak mampu meredam dan menghargai perbedaan
pendapat orang lain, bagaimana nanti seandainya mereka aktif dalam kancah
perpolitikan? Adu tinju bukanlah tipikal manusia berakal, dan mereka sadar itu.
“Sangat
progresiv. Ana – saya – sebentar lagi
akan membukukan buku tentang beberapa sepak terjang media dalam perusakan
akhlak pemuda Indonesia. Doakan saja semoga laris,”
“Tuh,
Mam. Ternyata ustadz juga orientasinya – tujuannya – duit-duit juga,” ucap
Singgih sembari menepuk bahu Imam.
“Yaa…
kan ustadz juga butuh makan,” jawab Imam simpel. “Ya nggak?” Imam mengedipkan
matanya pada Ilham, yang sedang menyeruput kopi.
“O
ya, Mam. Katanya antum buka dua kios
bakso baru ya di Mall jalan Soedirman? Hebat antum, Mam,” kata-kata Ilham sedikit mengagetkan Singgih yang
hampir selama lima tahun jarang berkomunikasi dengan Imam.
“O
ya? Edas! Lu kayak bisnismen
professional aja euy,” Singgih agak
tertegun setelah agak lama memandangi wajah Imam, “Eum, sorry Mam, lima tahun
ini gua jarang ngehubungin elu. Bener-bener maaf,” sambungnya.
“Nyantai
aja kali. Alhamdulillah, dua kios itu bisa bantu tetangga-tetanggaku yang
pengangguran buat kerja di sana. Yah.. hitung-hitung meringankan beban negara
gitu, mengurangi pengangguran,” Imam tertawa kecil.
Dua
orang temannya diam serentak. Mereka merasa mengkhianati idealismenya saat
mereka masih mahasiswa dulu. Singgih yang sering terbakar semangat saat
membicarakan tentang pendidikan yang mahal dan kemiskinan bangsa yang
menyedihkan, kini ia tak pernah memikirkan itu lagi setelah duduk di perusahaan
besar. Ilham juga tak berbeda, dulu ia sering mengatakan Islam di Indonesia
harus bangkit. Agar jangan ada kaum yang terbodohi oleh orang-orang kafir,
tergiur dengan pekerjaan yang bisa melupakan akidahnya. Berbeda dengan Imam, ia
yang kuliah sambil berdagang membantu ayahnya, tak memiliki idealisme yang
berlebihan seperti mereka. Namun sebaliknya, ia sangat toleran. Pada
orang-orang kaya yang pelit, ia tak pernah membenci apalagi mencaci – seperti
yang dilakukan Singgih. Sama halnya dengan Ilham, yang seringkali mencaci
system kebebasan dagang – kapitalisme – milik orang-orang barat, dengan
ungkapan kerasnya bahwa para konglomerat muslim yang menganut kapitalisme
adalah kafir. Karakter keras inilah yang seringkali menjadikan mereka adu debat
pemikiran lima tahun lalu, terutama Ilham yang fanatis dan Singgih yang agak
liberal. Jika kata Ilham, “Indonesia harus menggunakan hukum Islam agar tidak
terkena azab Allah, termasuk politik dan ekonominya,” maka Singgih sebaliknya,
“Saya kira tidak harus, jika memang sistem yang sudah dibuat oleh para
pendahulu kita mampu untuk menyejahterakan rakyat. Menurut saya bukan
sistemnya, bung. Tapi orang-orangnya, lihat para politikus kita yang suka
berantem dan para konglomerat kita yang bersaing saling menjatuhkan,” sedangkan
Imam menjadi penengah yang seringkali menyadarkan mereka. Seperti misalnya
ungkapan yang biasa ia katakan, “Kalaupun pendapat kalian benar, lalu apa yang
dapat kita lakukan hanya dari diskusi tanpa solusi seperti ini?”
Imam
tak pernah membenci siapapun, juga tak pernah mencaci orang lain. Saat dulu
diskusi dengan mereka tentang kapitalisme yang menguasai Indonesia dalam hal
ekonomi, ia menjawab enteng, “Jika para pemodal asing – orang-orang yang
menanam modal di Indonesia – memang mampu mengatasi sebagian pengangguran dan
kemiskinan di Indonesia, mengapa kita harus mencegah mereka? Toh kita tak bisa
melakukan apa-apa, hanya sekedar diskusi kosong yang tak mampu membuahkan
solusi untuk rakyat,” jika ia
berpendapat seperti ini, Singgih akan tersenyum puas karena merasa Imam
membelanya. Sebaliknya, jika ia berpendapat, “Jika ada aturan dagang yang
paling manusiawi di dunia ini, pasti hanyalah aturan dagang yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad. Ia tak menjual sebelum memberi tahu harga dan pengambilan
untung dari barang yang ia jual. Bagaimana dengan kapitalisme? Semua harga
sudah ada di balik barang dagang, pembeli tak bisa menawar. Tak ada duit, tak ada
barang,” maka kali itu Ilham-lah yang akan tersenyum puas. Saat itu terjadi,
Imam akan mengajak dua temannya itu untuk bersulang minum kopi bersama, toast.
“Bener,
Mam. Kita mesti bisa melebarkan sayap bisnis-bisnis kita, meskipun kecil. Gua
jadi tertarik buat bikin bisnis juga, yang dulu sering kita diskusikan itu,
lho. Koperasi tea,” ucap Singgih.
“Eh,
jangan, Nggih. Koperasi itu biasanya ada riba – bunga – nya, itu haram. Mending
BMT – baitul mal wat Tamwil, semacam Bank tapi dengan aturan Islam,” sanggah
Ilham.
“Eumm..”
Imam nampak berpikir.
“Ah,
Ente kayak nggak tahu aja, BMT ya sama aja kayak koperasi, cuman buat simpen,
nabung, sama pinjem doang. Kalau koperasi, ada juga pendidikan buat masyarakat
tentang dasar dan tujuan koperasi tersebut. Misal koperasi unit desa, di sana
ada pendidikan buat para petani agar bisa meningkatkan pertaniannya, gitu.”
Singgih mulai memancing adu argumen.
“Tapi
tetep aja ada bunganya, kan? Itu haram, dosa,” keukeuh Ilham.
“Jyiah, hari gini masih takut dosa? Ha,ha,”
Singgih mulai memanaskan situasi. Di samping tempat duduknya, Imam, masih
mendengarkan dengan seksama.
“Astaghfirullahaladzim,
jangan gitu Nggih, neraka jaminan kita kalau kita meremehkan dosa, sekalipun
itu kecil,” Ilham sengaja tak mengeluarkan Hadits atau bahkan firman Tuhan,
karena ia yakin Singgih akan semakin mengejeknya.
“Sok, dari dulu pertanyaanku belum ente
jawab, apa bukti dosa, surga, dan neraka itu ada? Firman Tuhan itu bukan bukti,
tapi fakta. Bukti dan fakta itu beda, Akhii…”
Singgih semakin tertawa melonjak.
Melihat
wajah Ilham yang sudah mulai memerah, Imam angkat bicara, “Eum, begini, tentang
surga dan neraka, analoginya begini, elu pernah merasakan sakit, Nggih? Sakit
gigi atau masuk angin, misalnya?” tanya Imam pada Singgih.
“Pernah,”
“Seperti
apa bentuk sakit itu? atau misalnya angin, kita dapat merasakannya, tapi apakah
kita mampu melihat bentuk angin?” tanya Imam lagi.
“Eum…”
Singgih dan Ilham saling berpandangan, senyum puas terlihat pada wajah Ilham,
ia merasa dibela.
“Iman
– keyakinan – memang harus ada korelasinya, mesti ada hubungannya dengan akal,
tapi tidak semua perkara dapat kita logikakan. Dan terkadang ajaran agama itu
tergantung situasinya bagaimana. Contoh, menurut kalian apa hukum menikah?”
tanya Imam untuk kesekian kali.
“Wajib!”
jawab Singgih cepat. Tawanya muncul kembali .
“Bukaan,
tapi sunnah muakad, sunnah yang dikuatkan,” jawab Ilham.
“Hehe,”
Imam tertawa kecil. “Hukum nikah, bisa wajib, bisa sunnah, bisa juga haram,”
dari kalimat ini, kening mereka mengerut kebingungan. Dari raut wajah kedua
temannya itu terlihat kebingungan.
“Ah,
elu jangan ngibulin gua, Mam,” kata Singgih.
“Iya
nih, udah jelas kok yang disunnahkan rasul itu salah satunya menikah,” bela
Ilham. Seakan Singgih dan Ilham menemukan musuh baru, perdebatan antara mereka
kini surut, dan menujukan perlawanannya pada Imam.
Imam
tersenyum, “Nikah itu wajib, untuk laki-laki sepertimu, Nggih. Udah mapan, dan
pantas, juga dikhawatirkan elu kagak bisa jaga lu punya nafsu,” jelas Imam.
“Nikah sunnah, buat orang sepertimu, Ham. Udah mapan dan pantas, namun masih
tertarik pada ilmu,”
“Kalau
haram, buat siapa?” tanya mereka serentak.
“Ya
buat orang seperti yang sedang bicara depan kalianlah, mau nikah tapi nggak
punya modal – uang hasil kerja Imam untuk mendirikan sekolah madrasah, dan aku
tak terlalu memikirkannya,” ucap Imam. “Lagian, nggak ada yang mau euy sama sayah mah,” dari kata-kata ini, tawa mereka memenuhi ruangan itu.
Toast!
“Oiya,
tentang koperasi. Sebenarnya nggak ada aturan pastinya, kawan. Yang penting
kita benar-benar berpikir untuk menyejahterakan rakyat dari usaha itu. Setelah
perang dunia II, Koperasi yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta mulai
diperkenalkan pada negara-negara yang ikut serta dalam konferensi Asia-Afrika
(18 April 1955). Seperti India, Pakistan, Tunisia, juga Aljazair. Koperasi
menjadi solusi untuk membangun kesejahteraan ekonomi rakyat dari nol. Kalian
juga mungkin tahu, pasca perang dunia II, negara sekelas Jepang saja, banyak
rakyatnya yang menjadi pengemis saat itu,”
“Okelah,
kalau tentang sejarah itu mah. Tapi
bagaimana dengan bunga-nya?” tanya Ilham. Imam dan Singgih paham, dalam
pesantrennya, Ilham tak bisa berpikiran beda dengan para gurunya. Resikonya
terlalu besar.
“Layaknya
makan daging, tapi daging kuda. Boleh, tapi nggak wajar. Kalau ada peminjaman
yang tanpa bunga, itu lebih baik. Tapi ada gitu di jaman sekarang bank model
begitu?” lanjut Imam.
Ilham
terlihat setuju. “Eum, ngomong-ngomong, Mam. Gua mah penasaran dengan pengetahuan yang elu punya. Lu kan habisin
waktu buat dagang, kalau dulu malah buat ngerjain tugas-tugas kuliah, kapan
waktu bacanya, tiba-tiba lu tahu banyak gitu?” tanya Singgih.
“Oh,
iya tuh. Ana malah nggak kepikiran ke
sana,” tambah Ilham.
“Aku
belajar banyak dari kalian,” ucap Imam sembari tersenyum kecil. “Juga dari
orang tuaku. Almarhum bapakku sering menasehati, bahwa orang-orang yang masa
mudanya banyak prihatin, banyak belajar mandiri, di masa tuanya akan bahagia.
Begitu pun sebaliknya. Aku banyak baca, saat menunggu pelanggan bakso. Aku juga
banyak mendengar dan suka bertanya tentang segala sesuatu pada hampir setiap
orang yang mengajak ngobrol denganku, sekalipun ia seorang pemulung dan
pengemis,”
Dari
belakang mereka, tiba-tiba masuk seorang anak kecil ke warung tersebut. “Mas
Imam, bapakku lagi sakit, tapi aku cuma punya duit seribu buat beli obat. Duit
dari mulung tadi sore,”
Tanpa
basa-basi, Imam setengah berteriak pada pemilik warung, “Mang, tolong bawakan
obat untuk bapaknya Sholeh nih. Juga setengah kilo jeruk ya, hitung aja entar
sama saya,” pinta Imam. “Nah, Leh. Salam buat bapak ya. Semoga cepat sembuh,”
anak kecil itu, satu dari beberapa anak yang Imam didik saat hari libur
berdagang.
“Makasih
banyak, Mas Imam. Makasih banyak,”
“Ya,
ya, hati-hati di jalan,” sejenak pembicaraan mereka terpotong karena kedatangan
anak kecil bernama Sholeh.
Ilham
dan Singgih termenung. Mereka tersadar, apa yang mereka lakukan selama ini
termasuk tindakan mementingkan diri sendiri. Menuntut ilmu dan bekerja sekedar
untuk diri sendiri dan keluarga.
“Hei,
jangan melamun. Masih muda suka melamun?” Imam tertawa kecil.
Kedua
temannya terhenyak – mereka kini mendapatkan pemahaman baru tentang hidup.
Diskusi tentang hal-hal serius pun nampaknya terhenti. Singgih mengalihkan
topik pembicaraan : tentang wanita. Mungkin ia sengaja, ingin menghibur
temannya yang sehari-hari bekerja keras itu. Ilham pun paham, kebaikan Imam
yang tak kenal batas itu berawal dari rasa sakitnya di masa lalu.
Imam
banyak belajar dari almarhum kakeknya – bekas pejuang PETA (Pembela Tanah Air).
Kakeknya yang berumur panjang itu, sering menasehatinya tentang pengorbanan
pada orang lain. Termasuk jika harus masuk dalam kancah perpolitikan, hal itu
harus digunakan sebagai cara menolong orang yang lemah. Bukan untuk menumpuk
harta atau agar lebih terkenal.
“Terkadang,
rasa iba dan niat baik kita pada orang lain ditanggapi sebaliknya. Seakan
mereka tidak membutuhkan kita,” ucap Imam sekitar lima
tahun lalu sebelum sang kakek meninggal.
“Mungkin
kau benar, Nak. Tapi pernahkah kau mendengar teriakan matahari agar manusia
menghargai sinarnya? Tidak, Nak,” jelas sang kakek. “Kita memberi, tanpa
berharap kembali. Itulah cinta, Nak. Bukankah kau mencintai negeri ini? Maka
buktikanlah,” sambung sang kakek dengan sunyum bijaknya. Nasehat itulah yang
menjadikan Imam tanpa ragu berkorban untuk desanya yang miskin.
Senin, 16 Januari 2012