Kisah tentang kesetiaan
yang tak masuk akal, namun terjadi dalam kehidupan. Sebuah kisah yang hingga
saat ini aku tak pernah tahu, mengapa seseorang begitu nekat ketika merasa
kehilangan separuh jiwanya.
Sekitar pukul 11 siang, seorang sahabat - Sandy namanya, mendapatkan satu sms
dari seseorang. Sebuah pesan yang membuatnya nyaris membanting handphone-nya dan
menjatuhkan kepalanya pada meja warung kopi – untung telapak tanganku
menghalangi, memperantarai meja dan keningnya. Satu pesan tentang kabar
kekasihnya yang – setelah dirawat di rumah sakit selama tiga bulan – meninggal.
Aku tak tahu perasaan
seperti apa yang ia rasakan saat itu. Seorang kekasih yang baru tadi pagi ia
tengok, ternyata sudah meninggalkannya – untuk selamanya. Aku sangat tahu ia
pria yang kuat, tapi aku tak tahu sedikitpun alasan, mengapa laki-laki setegar
dia bisa menangis saat Ima – kekasihnya, meninggal. Awalnya aku tertawa meledek, saat
air mata keluar dari bola matanya. Tersenyum lebar mengira ia hanya bercanda
seperti biasanya. Pada akhirnya, aku harus tertawa satire melihat sahabatku itu
yang benar-benar menjadi ‘gila’.
Hampir setiap pagi,
sebelum berangkat sekolah, ia menyempatkan diri menatap kekasihnya di
pembaringan – tengah koma. Meskipun hanya sebatas memandang wajah teduhnya
melalui jendela ruang perawatan. Sekitar tiga bulan Ima dirawat karena penyakit
lemah jantung yang sudah cukup parah. Ia pernah cerita, bukan hanya jantungnya
saja yang sakit, tapi juga ada penyakit lain – tapi ia tak pernah cerita
penyakit lain yang diderita Ima. Aku tahu perasaan seorang sahabat ketika
senyum tak tersungging saat kegembiraan datang. Dan aku tak mau mempertanyakan
perihal yang memang ia tak mau bicara. Karena bagiku, prinsip persahabatan
adalah saling memahami dan melengkapi. Aku hanya bisa memahami dan
melengkapinya saat ia membutuhkan. Sama seperti ia mendapatkan sms dari adik
Ima, kami tengah membolos sekolah – mungkin ia ada firasat.
Aku tak pernah tahu
bagaimana jalan pikiran orang-orang yang mengalami kejadian seperti yang ia
alami. Sangat aneh. Menyedihkan, ironis, dan mungkin menyebalkan. Hari-hari
sebelumnya ia masih bisa tertawa berkelakar denganku. Menengok Ima hampir
setiap hari, selepas pulang sekolah. Sekedar mengobrol dengan adik atau orang
tua almarhum. Mereka sudah seperti keluarga saja, tidak ada keengganan
sedikitpun, baik Sandy ataupun keluarga mendiang. Dulu, saat Ima masih sehat,
Sandy sering main dari pulang sekolah hingga sore hari. Mungkin alasan ini yang
membuat keluarga Ima akrab dengannya. Hampir tiap hari, saat kami menengok Ima,
ia menceritakan kenangan-kenangannya dulu. Memori itulah yang mungkin
menjadikannya ia tetap setia, meskipun beberapa siswi sekolahnya – kami beda
sekolah – meinginkan ia menjadi kekasihnya. Kadang aku berpikir, “Apa ini yang
disebut-sebut banyak orang sebagai cinta?” sahabatku itu rela rajin menengok
setiap pagi – berharap ia terbangun walau sebentar, juga sangat tegar menolak
beberapa cinta yang datang kepadanya. Walaupun ia sebenarnya sudah tahu, umur
kekasihnya itu sudah tak lama lagi.
Hal-hal gila ia lakukan
setelah Ima dimakamkan. Ia tetap ngotot ingin pergi ke rumah sakit – berdalih
menengok Ima – hampir di setiap pagi. Sering juga berdiri atau sekedar duduk di
depan bekas ruang rawatnya. Hingga aku hapal, saat sms atau telepon dariku tak
diangkat, ia pasti lagi ‘gila’ di rumah sakit. Kadang aku malu pada perawat
rumah sakit yang sudah kami kenal – karena keseringan ke rumah sakit itu.
Tingkah lakunya membuatku hampir-hampir stress, memahami sahabat yang lagi
guncang itu. Terkadang, saat bermain PS – aku sering mengajaknya agar berlatih
melupakan Ima, ia tiba-tiba pergi menuju makam Ima. Membanting stik, keluar
rumah dengan cueknya. Makan pun harus ditemani foto Ima yang ada di dompetnya.
Gila! Satu saat aku baru pulang begadang di alun-alun kota, naik motor
sendirian melewati komplek pemakaman tempat di mana Ima dikubur. Suatu tindakan
yang ‘gendeng’. Waktu saat itu menunjukan sekitar pukul empat pagi, saat aku
melihatnya duduk di samping gundukan pembaringan Ima. Benar-benar ‘sinting’.
Hampir saja aku menabrak tembok pembatas makam, saat aku melihat sesosok
manusia dalam kegelapan – karena tidak ada lampu – duduk di dekat makam Ima
yang terlihat dari jalan. Saat aku tanya, “Kau ini gila ya?! Kau tahu ini jam
berapa?” ia tak menjawab masih duduk terdiam. Nampaknya aku yang awam tentang
perasaan orang lain, benar-benar harus sabar memahaminya. Aku menyalakan rokok
Mild, sekedar untuk menenangkan otak yang, selain tubuh yang kedinginan, juga
agar sedikit lebih rileks.
“Dari jam berapa di
sini?” aku duduk di samping, yang sebelumnya berdiri di sampingnya.
“Satu,” ucapnya lirih,
pandangannya kosong menatapi gundukan pasir.
Hampir saja aku tersedak
asap rokok mendengar jawaban itu. Nampaknya ia benar-benar telah kehilangan
akal sehatnya. Aku saja yang melapisi badan dengan sweater kedinginan
menggigil, dia yang katanya dari jam satu, juga hanya mengenakan kaos oblong,
tak merasakan apa-apa. Kenangan itu tak pernah bisa aku lupakan. Masih jelas
terngiang di pikiran. Kacau benar pikirannya!
Karena alasan inilah –
kegilaan seorang sahabat, aku menjadi siswa yang banyak baca. Berawal dari
mencari sumber bagaimana caranya untuk mengobati orang yang mengalami guncangan
jiwa seperti dia. Bagaimana menghilangkan rasa, yang telah mengakar kuat di
hatinya. Syukurlah, dari kebiasaan kami berenang dan bergulat – saran dari
sebuah majalah – di pesisir pantai pantura, sedikit demi sedikit ia bisa
melupakan mantan kekasihnya itu. Meskipun sering wajahku membiru setiap minggu pagi.
Tapi tak apalah. Tawanya hampir setiap selepas bertinju – saling melihat wajah
yang biru dan ungu – membuatku lega. Walaupun memang, hampir setiap bulan ia
masih ‘nengok’ mantan kekasihnya itu. Tapi minimal, ia telah kembali menjadi
pemuda sehat. Aku pernah membuntutinya suatu waktu di hari Jumat, ia memang
masih sering ‘ngobrol’ dengan almarhum. Hampir setiap bulan. Bahkan sampai
sekarang – saat kami tak bisa bertinju lagi. Selain itu, ia juga masih sering
main ke rumah mantan kekasihnya itu sekedar bercengkerama dengan keluarga.
∞
Apa yang terjadi dengan
manusia saat ia dikuasai oleh perasaannya? Entahlah. Aku tak pernah menemukan
jawaban dari saat itu, hingga sekarang. Ada yang mengatakan manusia hidup di
hatinya. Saat hatinya sedih, seluruh anggota badannya akan bergerak menampakkan
kesedihannnya. Saat hati bahagia, seseorang bisa melakukan tindakan yang
sebelumnya tak terkira.
Apakah itu yang namanya
cinta? Dan kesetiaan adalah satu ruang yang melengkapi dimensi cinta itu? Tapi
mengapa terkadang cinta dan kesetiaan tidak berakhir dengan menyenangkan?
Sebuah pengorbanan yang besar, terkadang membuahkan penderitaan yang pilu.
Bahkan terkadang berujung pengkhianatan sepihak yang membuat seseorang
menyalahkan cinta dan kesetiaan itu sendiri. Lihat apa yang dikatakan orang
Nihon. Koi ni jouge no hedate nashi.
Kata orang Jepang, Cinta membuat pria menjadi jahat. Entah menjahati sesuatu di
luar dirinya, atau bahkan menjahati dirinya sendiri. Terlepas dari variable dan
tanggapan yang ia alami dengan cinta dan kesetiaan yang ia lakukan. Juga, Koi ni shishou nashi. Cinta tak perlu
dipelajari. Apa benar? Entahlah. Bagaimana mungkin seseorang yang belum
menemukan cinta bisa menceritakan panjang lebar tentang cinta? Tapi jika tak
dipelajari, dari mana manusia bisa mendapatkan akhir yang baik dalam kisah
cinta? Darimana manusia akan memulai mempelajari tentang cinta?
Mengapa cinta dan
kesetiaan bisa berujung pada kekecewaan yang begitu pahit? Mengapa cinta dan
kesetiaan terkadang bisa membuat manusia mabuk kepayang? Siapakah yang salah
saat cinta dan kesetiaan memilih satu jalan di antara dua jalan itu? Mengapa
cinta dan kesetiaan yang tulus bisa tak berujung pada kebahagiaan para
pemiliknya? Di mana letak kesalahan saat cinta dan kesetiaan tak berujung pada
kebahagiaan?
Ada seorang kawan yang
begitu gigih memanjakan perempuan yang ia sukai, tapi pada akhirnya, ia harus
rela melepaskan apa yang ia inginkan. Apakah hanya kebetulan? Di sisi lain, ada
seorang lelaki yang tak perlu susah-susah mengorbankan cinta dan kesetiaan,
namun ia mendapatkan seorang perempuan yang orang lain merasa ia tak pantas
mendapatkannya. Benar-benar aneh. Adakah perihal yang lebih rumit, aneh,
memabukan sekaligus mengerikan layaknya cinta beserta ruang-ruangnya dalam
kehidupan ini? Dan aku hanya bisa menatapi itu semua dari kejauhan, tak berani
mendekatinya. Munafik.
Kamis, 14 April 2011