Sahabat sejati itu seperti kesehatan. Nilai yang ada di
dalamnya jarang diketahui sampai kita kehilangan itu._Carles Caleb Colton_
Tadi malam telekonfren dengan mereka. Messa ada acara, dia Cuma
mengobrol sebentar, lalu henponnya tak bisa dihubungi – mungkin lagi nge-date
sama tunangannya (hihi). Cuma Nyaz yang tadi malam tersambung. Sahabat yang lain
mungkin masih sibuk.
Malam itu kami berdua bercerita tentang perjuangan hidup. Keren, luar biasa, aku tak menyangka Nyaz mengerti
apa yang ku maksud dengan teruslah
bekerja keras – dalam doktrin (abal-abal,hehe) yang sering aku ucapkan. Dia
bercerita, mungkin satu bulan lalu, dia dijodoh-jodohkan oleh teman guru yang
memiliki anak seusianya. Yang membuat aku berdecak kagum adalah upayanya
menjemput jodoh. Ah, aku belum bercerita ya, tentang tangan yang terkepal?
Rezeki (jodoh) itu terkadang ibarat mendapatkan pemberian
buah-buahan. Tangan yang terkepal, tak akan bisa menerima apa-apa. Tangan yang
terkepal, membuat orang ketakutan. Buka tanganmu, dan terimalah. Jika kita tahu
bahwa buah itu terlalu muda, asam, atau kita tak doyan, kembalikan buah itu dengan pelan-pelan, tetap santun. Mungkin
kita menginginkan apel, tapi yang kita dapat adalah mangga. Kita menginginkan
buah yang matang, merah, tapi justru yang datang adalah hijau. Matang atau
mentah, kita adalah kokinya. Kita bisa saja menolak buah yang matang, dan
memilih yang mentah. Tapi tak perlu kita khawatir, matang atau mentah, sekali
lagi, kita-lah kokinya. Buah yang mentah, yang kita tolak itu, ketika matang
akan banyak yang menginginkan – tak perlu merasa bersalah selalu. Atau mungkin
kita adalah orang yang senang menunggu buah mentah itu menjadi matang –
barangkali kita adalah orang yang sabar menanti waktu. Atau kita bisa
meraciknya menjadi masakan atau makanan yang enak dan menyenangkan banyak
orang, meski itu buah mentah.
Jutaan nutfah berlarian
menuju ovum yang satu. Jodoh mungkin seperti itu. Bedanya, saat itu kita
mungkin tak bisa memilih bebas – ia yang tercepat dan kuat-lah yang menang. Sedang
saat ini, kita selalu bisa untuk menolak, bahkan nutfah-nutfah terunggul, dan memutuskan menerima ia yang membuat
kita hidup. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita panen. Menerima buah itu
sebenarnya mudah. Jika kita menginginkan mangga, tapi yang kita dapat adalah
apel (yang lebih daripada yang kita inginkan), buka tanganmu, terima, lalu
berterima kasihlah – bersyukur dan syukuri itu. Menolak pemberian yang baik,
seringkali tak baik. Tapi, sekali lagi, kita-lah kokinya.
Lanjut cerita Nyaz. Dia bekerja keras untuk menjemput
jodohnya. Keren. Dua teman gurunya mengenalkan dia dengan anak-anaknya. Tapi,
yang satu anak mamih dan satu lagi tua-tua alay. Dia sempat galau dan
berdebat dengan ibunya, yang menginginkan dia untuk segera menikah. Dia menolak
mereka, tentu, dengan santun. Tapi, sekalipun dengan santun, ibu si anak mamih itu sempat menakut-takuti, bahwa ada seorang guru
di sekolah dia yang sampai usia 50 tahun belum menikah : karena terlalu
memilih. Aku bilang, ini hidup kita. Tidak
akan terjadi apa yang orang lain katakan, selama kita tak mengizinkan itu
terjadi. Selama kita tak terpengaruh oleh mereka.
Sering aku berpesan, jangan menutup diri. Tuhan selalu
memberi jalan, kita tinggal melaluinya saja. Skenario-Nya tak hanya satu atau
dua cabang, tapi jutaan, bahkan milyaran. Sayang sekali aku belum membuat
desain Serabut Takdir dalam bentuk
Jpg. Hasil perenunganku tentang jodoh. Intinya, jika misalnya, di Bumi ini ada
1 milyar laki-laki lajang dan ½ milyar laki-laki duda, perempuan lajang punya
kesempatan untuk menikah dengan salah satu di antara mereka, siapapun. Persoalannya
ada pada qadar atau kapasitas. Siapa yang
menjadi kapasitasmu. Dan seberapa keras upayamu, yang tanpa menyerah kalah itu.
Dan ungkapan, perempuan di usia 25 ke
atas itu sudah susah mendapat jodoh yang diinginkan, ITU MITOS. Tapi bisa saja itu terjadi, jika kita (perempuan)
percaya dengan itu, dan mengizinkan itu terjadi : tanpa melawan dengan upaya
yang terus menerus.
Setelah galau, berdebat dengan ibunya sampai bercucuran air
liur (haha :p ), bercucuran air mata, Nyaz mendapatkan apa yang ia upayakan :
calon suaminya sekarang. Ia katanya orang Jawa juga (Purwokerto, gitu ya?he). Kabar
terakhir, katanya dia sudah main ke rumahnya, berbincang dengan orangtua Nyaz. Its awesome! Kami, para sahabatnya, akan
terus mendoakan kebaikan untuknya, dan untuk sahabatku yang lain.
Em, ada kisah yang sama kerennya, yaitu kisah cinta Messa
dan Sovi sampai mereka menemukan calon pendamping hidupnya saat ini. Jika Messa
melewati perjalanan cintanya dengan luka parah, sakit hati, dan cucuran air
liur (haha, lagih!), cucuran air mata, kisah Sovi lebih mistis, tak masuk akal – menurut mereka. Haha, tapi, mungkin di
tulisan selanjutnya saja, yak? :P
***
Semalam menjemput kakak ipar di stasiun. Saat makan, sebelum
pulang dari stasiun, beliau tanya-tanya tentang sekolah. Dapat siswa berapa?
Aku ceritakan, tahun ini kami sombong, mengira dengan diadakannya pentas seni dan pertunjukan
besar-besaran (total habis 7 juta), akan menarik orangtua siswa menyekolahkan
anaknya di sekolah kami. Ternyata tidak. Tahun ini, isu yang dihembuskan
masyarakat yang tak menyukai sekolah itu adalah, bahwa sekolah akan pindah ke
belakang, kandang sapi dan kandang ayam (haha). Memang benar, kami pindah ke
belakang. Tapi kini sudah bisa pakai, meski belum layak. Dan hanya untuk kelas
atas (4, 5, 6). Kami dapat sepuluh siswa kelas satu, tiga siswa kelas dua –
pindahan, dan dua siswa kelas 4 (pindahan), dan satu siswa kelas 5 (pindahan).
Satu siswa kelas satu, dia lemah otak, usianya sudah 9 tahun, tapi masih kelas
satu. Orangtuanya bekerja sebagai penjual es keliling. Dua siswa,
kakak-beradik, orangtuanya memulung, rumahnya terbuat dari bambu, dengan
tempelan karung dan kardus untuk jendela. Satu siswa, ibunya bahkan tak tahu
dia anak siapa, bapaknya siapa. Ibunya tersebut, bekerja sebagai pengemis di terminal. Aku tidak sedang bercerita
fiksi. Ini kisah nyata. Aku pikir, Tuhan kok betah benar bercanda denganku. Siapa
aku diberikan tanggung jawab begini? Anak yang lemah otak itu, jika aku tak
membekalinya sampai ia lulus nanti, akan jadi seperti apa masa depannya? Tak akan
ku lepaskan tangan-tangan siswaku yang lemah, apapun yang terjadi. Tugasku kini
menumpuk-menggunung. Fasilitas sekolah secara keseluruhan, pembinaan guru,
pembinaan masyarakat, mendidik anak agar mereka berpikir mandiri, agar mereka keren, dan siap menghadapi zaman. Who am i?
***
Terakhir, karena ini hari ulang tahun salah seorang sahabat
muda, aku buatkan sebuah puisi...
Tanpa kesalahan, apa jadinya dunia ini
Manusia seringkali memahami
Betapa buruk dirinya
Ketika ia telah teranggap salah
Tapi ia yang mengerti bahwa ia salah
Bahwa ia buruk
Adalah orang yang benar
Dan orang benar yang baik adalah ia yang selalu memperbaiki
diri
Kita belajar dari hujan
Bumi tan pernah menolaknya
Meski membuatnya basah
Meski membuatnya tenggelam
Tapi, tanpa hujan bumi kan mati
Terbasahi dan tenggelam hanya satu fase kehidupan
Bahwa apa yang indah di hari esok
Pasti datang karena kekacauan di hari sebelumnya
Tidak ada keindahan yang datang sendiri tanpa kekacauan
Tidak ada kebahagiaan yang datang sendiri tanpa penderitaan
Tidak ada hujan yang datang tanpa kabar
Semuanya berpasangan hanya terkadang kita tak paham
Berpikirlah gagal, maka itulah yang akan kau dapatkan
Berpikirlah kau matahari, maka kau akan bersinar
Berpikirlah kau bintang, maka kau akan tinggi dan menemani
kesunyian malam
Berpikirlah cerah, maka kau akan mewarnai banyak orang
Bermimpi memang menyenangkan
Tapi sebelum bermimpi, kita menghadapi kenyataan
Hidup,
Separah apapun jalan yang kita tempuh
Jangan menyerah,
Tak ada jalan yang terlalu jauh jika kita tak berhenti melangkah
Dan tak pernah mengeluh
Tak ada mimpi yang terlalu bodoh
Selama itu hanya milikmu, milik setiap kita
Berpikirlah baik, maka kebaikan adalah dirimu