Sejenak, rasanya rindu sekali
mengenang saat aku kecil. Ada rasa yang begitu memaksa dan menjerat hati, untuk
semisal bertanya pada ibu, "Ma, apakah saat aku bayi dulu, tangisanku
begitu keras?" dan saat beliau berkata, "Ya, tangisanmu merepotkan. Sampai
kamu SD, apa yang kau minta harus terpenuhi," lalu akan ku jawab, "Hehe,
maafkan aku, Ma,"
Sejenak, aku ingin mengenang
kembali saat aku mulai belajar berjalan. Saat tangannya terbuka, menyambut
kedatanganku yang tertatih. Atau ketika kakak laki-lakiku yang kami sering adu argumen tapi menyimpan kerinduan
yang malu-malu disembunyikan. Saat ia menggendongku ke mushola, karena aku tak
punya sandal.
Tangisan keras itu, membekas kuat
hingga saat ini. Si bungsu yang manja itu, menjadi seorang pemuda yang sangat
keras kepala ingin mengubah dunia. Meskipun, ia sangat paham, bahwa, selain
bukan dunia-lah yang harus ia ubah lebih dulu, melainkan dirinya sendiri. Juga,
kenyataannya, tujuan terkadang membutakan pandangan. Tujuan menyesatkan manusia
dengan sangat lembut, seperti pelukan ibu kita ketika kita belajar berjalan
dahulu. Setiap manusia dipaksa melakukan
perjalanan. Mulai saat kita berwujud ruh, menunggu dengan batasan waktu yang
tak tentu. Kemudian, dari ruh itu mewujud menjadi satu nutfah yang juga
melakukan perjalanan, bahkan, berlari menuju satu tujuan. Lalu Tuhan pun,
melalui lisan Muhammad Sang Terpuji, meminta manusia untuk menengok kisah
kehidupan manusia-manusia sebelumnya. Lakukanlah
perjalanan, dan perhatikanlah bagaimana akhir kehidupan manusia-manusia yang
tak pernah mau belajar, dan membuka pikirannya.
Dan akhirnya, aku pun pada
akhirnya akan memulai perjalanan yang baru. Bersama seseorang yang telah
terpilih menjadi penyempurna ruh-ku. Seseorang yang selama ini menemani
tidurku, mendongengkan kisah-kisah heroik para sesepuh, akan tergantikan
olehnya. Rasanya seperti seorang muda yang cengeng, yang tak mau jauh dari
ibunya. Tapi, demikianlah aku. Dan akan menjadi seperti ini, menjadi diri
sendiri, hingga akhir waktu. Sangat lebih baik menjadi diri sendiri yang
terhina, daripada menjadi oranglain untuk mendapatkan penghormatan atau pujian.
Kabarnya, buah mengkudu sebelum tahun 90-an, tak ada yang menyentuhnya kecuali
nenek-nenek desa yang meracik obatnya sendiri. Buah bau dengan penampilan
mengerikan, siapa yang akan mendekat? Tapi, pace tetaplah pace. Ia tak lantas
menjadi apel atau jeruk agar orang-orang mendekatinya, memakannya. Lalu, waktu
pun berubah. Kini buah yang mengerikan itu menjadi bahan andal untuk mengobati
penyakit dan menambah stamina tubuh.
Kopi hangat semalam, tak akan
terasa sama di esok harinya. Segala sesuatu ada batas waktunya. Apa yang
manusia benci saat ini, bisa jadi suatu saat ia akan sangat membutuhkannya. Sebaliknya,
seringkali apa yang kita cintai adalah sesuatu yang membutakan kesadaran. Maka,
jatuh cinta-lah, tapi jangan berlebihan. Jangan terlalu cinta, jangan juga
terlalu benci. Hati manusia seringkali berganti posisi. Terkadang di kepala,
suatu saat di dada. Saat di kepala, kita membencinya dengan logika. Saat di
dada, kita mencintainya dengan rasa. Katakanlah pada mereka yang membencimu : Bencilah aku, maka aku akan semakin
mencintaimu. Bukan karena aku ingin memilikimu, tapi karena kesadaranku. Bahwa disini,
di hati ini, sudah dan hanya ada cinta.
Dan demikianlah kehidupan. Berawal
dari tangisan. Lalu melakukan perjalanan. Tiap manusia harus memeliki tujuan
agar tak tersesat, namun ambisi terkadang jauh lebih mengkhawatirkan. Dan berakhir
dalam pelukan – bumi. Sehangat pelukan ibu saat kita belajar berjalan dulu,
demikian pula di dalam sana. Ketika segala hal terputus, kecuali kebaikan.