Persoalan,
seringkali tak terletak di luar diri kita. Melainkan di dalam, di hati dan
pikiran kita sendiri. Terkadang, kebahagiaan adalah tentang bagaimana kita
mengendalikan apa yang memang benar-benar berada dalam jangkauan kita, apa yang
benar-benar kita kuasai.
Seorang adik mahasiswa mengirim
sms sore-sore, bertanya tentang kabar, lalu langsung pada tujuan mengapa
tiba-tiba ia mengirim sms. Bagaimana mengendalikan
rasa sakit – perasaan – agar tak berpengaruh buruk pada fisik dan tindakan. Ia
membaca buku kumpulan esai-ku. Dasar, bukannya baca quran, malah baca buku menyesatkan begitu. (hehe)
Beberapa hari lalu, kakak
perempuanku yang baru saja menikah bertanya, mengapa setelah menikah justru
ibadah ruhiah menurun semangatnya? Apakah memang yang harus didahulukan adalah
keinginan suami, atau Tuhan?
Satu hal yang seringkali tak kita
kenali dari diri kita sendiri adalah, bahwa pikiran selalu mengarah pada
pertanyaan meragukan : apakah ada yang salah? Mengapa begini?
Pikiran tak pernah berhenti
bertanya. Jika dalam kondisi nyaman ia mempertanyakan kenyamanan itu. Jika
dalam kondisi rumit, ia juga mempertanyakan itu. Pada akhirnya, hidup ini enak
bagi mereka yang bersyukur. Dalam kenyamanan ia bersyukur, menikmati, tapi tak
berlebihan/melebihi batas. Dalam penderitaan ia juga tetap bersyukur, tersenyum,
dan terus berjuang dalam ketenangan diri. Ada yang bilang, surga adalah suatu
kondisi yang menenangkan. Bukan tidak ada kesusahan/penderitaan, melainkan
orang-orang yang dalam kondisi itu tidak merasakan bahwa mereka sebenarnya
berada dalam kesusahan/penderitaan. Aku menyebut mereka, orang-orang putus asa yang tak pernah menyerah. Orang-orang gila.
Persoalannya, manusia sebaiknya
selalu mengawali dari pikiran. Merapikan pemikirannya, bahwa apa saja yang baik
akan menjadi buruk jika dipikirkan secara salah. Ujian kehidupan itu buruk,
berat, merepotkan, jika kita berpikir demikian. Sebaliknya, ujian kehidupan
adalah baik, tepat, sesuai, jika kita berpikir juga demikian. Bahwa ujian hidup
datang untuk mendewasakan. Bahwa rasa sakit kekecewaan itu menguatkan mental,
memberanikan jiwa untuk hidup lebih tegar.
Lalu, apa yang salah dalam
kehidupan ini?
Kita ditinggalkan kekasih,
misalnya, kehilangan mimpi, gagal ujian beasiswa luar negeri, tertipu bisnis,
kehilangan seseorang yang dicintai, terhina, terfitnah, apa yang salah? Bukankah
kehidupan memang demikian adanya? Jika tak mau menghadapi itu, maka jangan
hidup. Dan kita akan merasakan bahwa hidup ini menyenangkan, nikmat, ketika
sekarat datang. Maka jangan heran, dalam kitab-kitab suci, banyak manusia yang
ketika sekarat berjanji pada Tuhannya, akan berbuat kebaikan jika dikembalikan
lagi dalam usia muda/sehat. Bukankah begitu, kita akan merasakan betapa
berharganya sesuatu/seseorang justru ketika itu tak ada di dekat kita lagi?
Nikmatilah rasa sakit – hati,
karena itu hanya satu fase dan itu mendewasakan pikiran. Tak ada yang tetap
dalam kehidupan ini. Segala hal berubah dengan begitu cepatnya. Iman, semangat,
uang, atau apapun dalam hidup ini, semuanya naik-turun.
Ada saatnya kuat, ada kalanya lemah. Ada saatnya kita bersemangat tinggi,
ada kalanya kita lelah. Bukankah itu wajar, bahwa kita tak akan selalu di atas
/ di bawah roda kehidupan? Hadapi, dan tetaplah tersenyum tenang. Paling tidak,
itu yang aku lakukan dalam setiap rasa sakit yang datang.
hidup yang paradoks, hidup yang sederhana namun jadi rumit karena manusia berpikir begitu..
ReplyDeleteijin share ya kang... :)
monggoo.. :)
ReplyDelete