Pertama, tentang pernikahan
sahabatku akhir Oktober lalu.
Pernah aku katakan,
ia adalah seorang sahabat yang paling berat cobaannya dalam hal cinta. Putus-nyambung
berkali-kali dengan beberapa pria. Itu wajar, karena bagi mereka yang suka belanja,
begitu banyak baju yang terlihat cocok, namun ternyata mengecewakan. Ya, hehe,
sebagian orang dengan tak sadar membendakan
cintanya. Tapi, pada akhirnya sahabatku itu sadar. Ia memilih untuk
bertahan, sabar, dengan lelaki yang akhirnya menjadi suaminya. Tangisannya pun
berbuah hasil yang setimpal. Aku turut senang.
Aku lebih suka
fasilitas MIRC, chatting, daripada Facebook, dalam beberapa segi. Karena, ada
rasa penasaran yang besar, ketika kita berkenalan hanya lewat tulisan. Seperti bermain
puzzle. Siapa namamu, dimana alamatmu, kerja/kuliah, apa hobimu. Di sana, ada
dialog, komunikasi, chemistry yang tersambung bukan karena hal-hal
bendawi/materialistik. Sebaliknya, Facebook menjadikan kita begitu
materialistis. Kita lihat foto profilnya, apakah ia tampan/tak begitu tampan,
berkulit cerah/gelap, apa background fotonya : mobil, rumah besar, airport,
whatever hal-hal materialistik lainnya. Jika menurut kita penampilannya buruk,
kita tak menanggapi sapaannya, tak mau berkomunikasi dengannya seperti
berkenalan dengan teman baru. Materialis individualistik.
Sebelum
aku pulang dari Bandung, Yanti datang ke kosan adik kelas – aku menumpang di
sana. Kami mengobrol banyak. Intinya, kita tak mungkin selamanya seperti itu. Muda, bebas, tak terikat
waktu dan tanggung jawab di rumah kita masing-masing. Yap, mungkin itu cukup
menyakitkan, untuk mereka yang menikmati masa muda tanpa kesadaran bahwa kita
akan meninggalkannya. Ada dunia baru, episode baru, yang harus kita alami, kita
lewati. Hingga pada akhirnya, kita sampai pada episode terakhir : kematian. Lalu
apa yang dikatakan Gandhi pun rasanya kita menginginkannya. Saat aku terlahir, aku menangis dan
orang-orang tersenyum. Dan ketika aku mati, biarlah orang-orang menangis, dan
cukup aku yang tersenyum.
Dia
banyak bercerita, tentang pernikahan, tentang tanggung jawab keluarga, tentang
mimpi membangun sebuah lembaga pendidikan. Kami bercerita banyak. Barangkali,
kami terlalu muda jika harus mendidik masyarakat yang usianya lebih tua dari
kita. Lebih sulit mendidik orangtua, daripada anak-anak. Dan membuat lembaga
pendidikan, ikut memperbaiki bangsa ini, sama sekali tak bisa dilakukan
sendiri. Kita membutuhkan banyak orang, dan bukan menyingkirkan mereka yang
keras tak mau dipahamkan, melainkan merangkulnya, seberat apapun mengajaknya
paham.
Kedua, tentang Gengsi.
Aku ceritakan padanya tentang
gengsi sebagian besar kita – anak muda. Kita muda, punya pekerjaan, penampilan
oke, punya semangat/gairah hidup yang tinggi, gengsi akan menangkap kita. Sekali lagi, ini tentang materialistis. Kemungkinannya
sama besar untuk laki-laki atau perempuan, bahwa mereka yang merasa mapan, tak
mau menikah dengan orang yang tak
sebanding. Aku ceritakan kisahku kemarin akhir September. Teman SMP-ku
menikah, aku datang di walimahannya, bahkan sampai tengah malam. Kami berbincang
banyak, tapi yang paling ku suka adalah tentang kerendah-hatian. Dia bilang
istrinya hanya lulusan SD, membantu toko sembako di bibi-nya. Sempat aku
bercanda, ada lagi nggak yang lulusan SD seperti dia? (hehe). Aku sama sekali
tak punya profil harus seperti apa istriku nanti. Banyak orang yang bilang,
tampang kece begini tak punya pacar
pasti karena pilah-pilih. Oke, oke, untuk sebagian orang, mereka memang harus memilih,
harus seperti apa istri/suaminya kelak. Tapi, satu yang harus kita tahu, itu
adalah ilusi pengendalian. Kita bisa mengendalikan tubuh mereka, tapi tidak
dengan jiwa/pikirannya. Dari sana kita paham, kita selalu membutuhkan
komunikasi dewasa, bijak, dan mencerahkan. Tapi aku sama sekali tak memilih. Pengalaman
menunjukan, justru wanita-lah yang memilih untuk tak memilihku. Mungkin terasa
sakit, tapi, sekali lagi, itu wajar. Rasa sakit kita butuhkan, sebagai bayaran
menuju pemahaman yang lebih tinggi, lebih utuh tentang kebahagiaan, atau,
hidup.
Suatu
saat aku menikah denga seorang gadis yang hanya lulusan SD – misalnya, aku tak
punya gengsi. Akan ku kenalkan pada teman-temanku di sana, di sini, dimanapun :
Ini istriku, ia hanya lulusan SD, tapi aku sangat mencintainya. Atau : Ini
istriku, dia hanya lulusan SMP, tapi dia membantuku menyelesaikan
tulisan-tulisanku. Aku benar-benar bersyukur bertemu dengannya. Atau : Ini
istriku, dia Cuma lulusan SMA, sekarang lagi les menjahit. Nanti akan buka
layanan jasa menjahit di rumahnya, khusus untuk warga kurang mampu, gratis. Dia
sungguh luar biasa.
Kehidupan yang
sederhana, selalu aku impikan. Kebahagiaan, adalah selalu tentang apa yang
dapat kita kendalikan. Bukan tentang apa yang belum kita miliki, tapi apa yang
telah ada dalam diri kita. Tapi, sepertinya kehidupan tak mengizinkannya.
Sering ku ceritakan
pada teman, jikapun aku menikah, tak mungkin di kota ini. Mengapa? Orang-orang
di sini mengenalku sebagai benda,
pajangan, jika aku menikah, maka harus diadakan semacam showroom, harus besar karena ada
keluarga besar yang juga ingin ikut merayakannya, harus menyebar undangan
begitu banyak. Merepotkan. Seorang sepupu menyarankan, tamu itu bisa
dikendalikan, siapa yang diundang siapa yang jangan. Tapi, setelah ku pikir
lagi, itu akan menjadikan komunikasi kami renggang. Ada alasan tak logis
mengapa tak mengundangnya. Yap, mereka akan berburuk sangka, bahwa mereka tak
cukup penting dalam hidupku. Aku ingin pernikahan yang sederhana, semakin tak
ada yang mengenalku di sana, semakin baik. Ketika aku pulang darisana kembali
ke sini, aku bisa beralibi bahwa tempat itu jauh, itu akan merepotkan mereka. Mungkin
ini juga gengsi, tapi aku benci dengan kemubadziran, ketidakefisienan. Aku menghindar
dari sesuatu yang mewah. Tak nyaman.
Akan
sampai apa kita hidup ini, jika terus diperbudak gengsi, dan hasrat
kekanak-kanakan seperti itu? Kita dilahirkan untuk memperbaiki dunia ini, bukan
sebaliknya, menambah kekacauan. Gengsi hanya akan menyisakan penderitaan yang
dalam saat kematian datang. Bahwa hidup ini begitu indah, mengapa aku begitu
egois? Aku ingin hidup lagi, seribu tahun lagi. Seseorang menangis saat sekarat
bukan karena ketakutan ruhnya terambil, tapi ketakutan yang sangat dahsyat
harus meninggalkan dunia yang indah ini, lalu masuk ke dunia kematian yang sama
sekali tak dikenal : akan ada apa disana. Kita melihat dunia dengan mata
terbuka, dan kita melihat Tuhan saat mata kita tertutup : dari dunia. Jalan-Nya,
adalah jalan mengesampingkan keinginan duniawi. Kita akan hidup/mati bahagia,
ketika mampu membuka mata pada Tuhan, bahkan sebelum kematian datang.
Ketiga, Tentang sekolah
Semalam
ada musyawarah keluarga, membahas lokasi definitif sekolah. Perenungan yang
panjang, rasanya aku menemukan ide yang bisa menyatukan kembali orang-orang
yang awalnya membenci di sana. Tapi, persoalannya ternyata bukan itu. Di sini, ada keegoisan. Musyawarah semalam
akhirnya blunder, tak jelas menghasilkan apa. Mengapa? Yap, karena keegoisan
itu. Aku paham, tak ada yang bisa menguasi pikiran manusia selain Tuhan, dan
manusia itu sendiri. Jika memang persoalannya telah paham, mengapa tak dari
dulu diselesaikan? Atau, mengapa tak ada agenda, langkah-langkah yang akan
diambil, agar kami, para guru tenang. Rasanya ingin sekali aku melepaskan
tanggung jawab ini, lalu menerima amanah di tempat lain, dan ku majukan lembaga
lain itu semaju-majunya. Dalam pendidikan, aku tahu apa yang aku kerjakan. Aku tahu
sebatas apa pengetahuanku, dan aku tahu apa saja yang tak aku ketahui, lalu tak
akan pernah sok tahu dalam hal itu. Persoalan keegoisan ini begitu menyebalkan.
Jika memang merasa paham, mengapa tak diganti saja aku ini? Dalam bidang yang
aku pahami, aku tak akan pernah mau dikendalikan siapapun. Persoalannya
sebenarnya mudah, jika aku diberi amanah, diamlah dan lihat. Baik buruk aku
yang akan tanggung jawab, penjara atau kematian tak akan menyakitiku. Lalu apa
yang menyakitiku? Ketika orang lain merasa memiliki kebebasan dalam hidupku. Kamu
harus begini, kamu harus begitu, mengapa tidak urus dulu hidup kita sendiri
masing-masing?. Jika memang tak terima dengan sifat-ku itu – tak mau dikendalikan,
ambil saja amanah itu. Hidupku mengalir, akan
jadi Elang ataupun Cacing, aku bahagia. Tidak percaya? Berdoalah
pada Tuhan agar aku tertakdir itu.
Sempat
aku katakan pada kakak iparku, satu tahun lagi aku tak akan mengambil uang
gajiku. Selain itu, aku bernazar, aku akan menikah setelah sekolah itu memiliki
lokasi definitif. Oke, aku tak sedang sok keren, meniru Mohammad Hatta yang
bernazar tak akan menikah sebelum Indonesia ini merdeka. Tapi, ini adalah
tentang totalitas. Kau ingin tahu seberapa gilanya
aku, oke, kita lihat, sejauh mana aku mampu mempertahankan kegilaanku ini.
Bagaimana jika nanti masyarakat menghina dengan sebutan jomblo tua? Ya ampun,
peduli apa dengan mulut orang lain? Selama aku baik, jika mereka tak
menerimaku, bukan suatu kerugian untukku. Dan kenyataannya, aku terkadang
sangat rindu untuk memanen hinaan. Rasanya
lama sekali aku tak terhujani ejekan, hinaan, yang ku balas dengan senyum dan
salam.
Lagipula,
terkadang ada perasaan, bahwa aku belum siap membagi rahasia hidupku, bahkan dengan kekasihku. Bukan karena aku pelit
atau tak menemukan cara/bahasa untuk menyampaikannya. Melainkan, ia akan
terkejut betapa aneh atau gila kekasihnya ini. Semisal, kekasihku tak
bisa menangis di hadapanku. Bukan karena ia takut, bahwa aku tahu ia sedang
berusaha menipu-ku dengan tangisannya
itu, melainkan ia merasa gila. Ia tahu
bahwa aku tahu ia sedang menipu-ku,
tapi aku memilih untuk masuk dalam tipuannya.
Ia akan berbisik dalam hatinya, aku
memiliki lelaki yang benar-benar gila. Aku mampu membaca pikirannya, dan
dengan itu aku menyerahkan diriku padanya. Tapi, itu hanya permisalan. Bukankah
pikiran lebih kompleks dari itu? (hehe)
Bacaan selanjutnya
Menuju episode baru II Untukmu para wanita jomblo
Bacaan selanjutnya
Menuju episode baru II Untukmu para wanita jomblo