Apakah aku sudah pernah bilang : bahwa persahabatan lebih mulia bahkan dari
manusia itu sendiri._Ranchoddas Shamaldass Chancad_3_Idiots
Dari kanan, dia namanya Rizky. Foto
itu diambil sesaat sebelum kami berkendara menuju calon istrinya di perbatasan
kota. Mungkin dia terhitung 4x pacaran – yang aku tahu. Dan wanita terakhirnya
itulah yang akhirnya menjadi teman hidupnya kelak. Malam sebelum itu, dia
cerita, ingin bekerja di kota saja. Di Jakarta kurang nyaman, meski gaji memang
cukup. Dia minta jadi pengajar mengaji tilawah dan hadroh (rebana) di sekolahku
itu. Aku setuju. Tapi dengan catatan, dia harus punya pekerjaan harian selain
itu. Karena sekolah kami masih terhitung kecil, honor kecil, tapi pengorbanan
cukup besar. Aku bilang, agar mereka menabung dulu, lalu pulang dan pakai itu
tabungan untuk modal dagang/usaha apa saja. Pendidikan jelas bukan jalan yang
baik untuk memperoleh kekayaan. Kecuali mereka yang goblok, menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis, atau
pengkaderan politik. Mereka sebut, itu juga pendidikan.
Whatever.
Di sebelahnya, dia Shofa. Dari MTS
(SMP) dia jadi idola para siswi. Saat SMA saja, entah berapa kali dia ganti
pasangan. Anaknya supel, dan mudah menggoda setiap gadis yang dia suka saat itu.
Dia sudah menikah, anak pertamanya laki-laki, mungkin sekarang sudah dua tahun.
Selama kira-kira dua tahun ini, kami berdua kembali dekat. Karena dia ingin
belajar mengaji, dan mempelajari bagaimana menjadi ayah/manusia yang bijak. Dia
pekerja keras. Kemarin dia bekerja jadi sales, tapi sekarang sudah ganti
menjadi mandor ikan di TPI Laut Jawa.
Keren.
Di tengah, dia Agus. Februari tahun
depan dia akan menikah. Aku janji akan menyumbang satu ekor kambing. Maksudnya,
agar jangan terlalu lama mereka pacaran. Usia mereka sudah bukan anak remaja
lagi. tapi, ternyata menikah itu merepotkan. Segala hal harus diperhitungkan,
dipersiapkan. Gila, tak mau-lah aku seperti itu. ribet. Dua tahun lalu, aku,
Agus dan Rizky sempat konflik. Kami putus komunikasi. Kacau sekali saat itu.
ketika kami bertemu pun, tak ada obrolan seramai dahulu. Kering, panas, kaku. Awal konflik karena Agus
ternyata mencintai tetangganya yang mungkin dia juga mencintainya. Selain itu,
sepertinya Agus menceritakan pada mantan Rizky setiap cerita yang mereka
lakukan saat nge-date (kencan). Ajib, mirip film-film kacangan. Klimaks konflik kami saat lebaran tahun 2012 di rumah
Shofa. Kami berkumpul semua, tinggal Rizky. Karena aku satu-satunya yang paling
akrab di antara mereka, aku jemput dia. Saat di rumahnya, Rizky bilang,
sebaiknya kami begadang di rumah teman yang lainnya saja. Jangan bersama mereka
(Agus cs). Tapi, karena aku sang joki, dia
tetap aku bawa ke rumah Shofa. Saat aku beli rokok, terjadilah dialog yang agak
panas antara Rizky dan Agus. Semua anak
diam saat aku datang. Lagi-lagi, aku yang harus menjadi penengah mereka. Sama
sekali sudah bukan zamannya, kalau kami harus menyelesaikannya dengan otot. Kami
sudah insyaf (hehe).
Selanjutnya, dia Lizar. Saat ini
dia masih pacaran, dan nampaknya harus sabar. Karena cewek dia juga punya kakak
perempuan yang belum menikah, dan sepertinya tak boleh langkahi. Teman yang satu ini, kini lebih keren 180% daripada saat
SMA. Sekarang dia gaul, dan rider. Dan
yang lebih keren lagi, dia menjadi tulang punggung keluarganya. Rumahnya, di
pinggiran pusat kota, sering menjadi tempat kumpul kami. Baik saat SMA dulu,
ataupun sekarang. Kehidupan ini sungguh menyenangkan, hanya saja terkadang
pikiran begitu negatif memandang dunia. Saat itulah kata menyenangkan rasanya susah sekali keluar dari mulut kita. Persahabatan
memang menyegarkan.
Terakhir, gue? Haha. Rasanya tak perlu diceritakan lagi.
Saat ini, aku tengah menulis
sebuah novel tentang kami berlima. Ramainya kisah kami saat SMA, petualangan
cinta, pertarungan antar lelaki, persabatan, putus cinta, pembangkangan pada
sistem sekolah, semuanya akan aku ceritakan di jilid ke satu itu. Sedang jilid
kedua, akan menceritakan kami, setelah kelulusanku dari kampus dan kembali
berpetualang bersama mereka di kota kecil ini.
Kita tak pernah meminta untuk
menjadi tua. Kita tak pernah membayangkan dengan jelas, seperti apa ketika kita
berkeluarga nanti. Tapi, hidup ini harus terus dijalani, dengan kuat, dengan
berani. Episode demi episode kehidupan akan kami lanjutkan. Dan hidup, seperti
sejarah, lahir, tumbuh, dewasa, menua, lalu sekarat dan mati. Barangkali,
kalimat itu yang menjadikan kehidupan terdengar sederhana : life is short. Tapi, petualangan-lah
yang menjadikan hidup ini terasa panjang, dan mungkin menyenangkan. Kami sadar,
kami bukanlah anak remaja lagi. Ada satu garis takdir yang harus kami masuki. Ada
satu garis waktu yang memang harus kami lewati, lalu memasuku babak baru :
berkeluarga. Lalu, kisah ini mungkin akan seperti pertanyaan semalam pada
beberapa siswaku : Apa bedanya foto kita
dengan foto para pejuang/pahlawan?
Para pahlawan tak pernah mati, sedangkan kita, siapa yang akan
mengenang kita? Atau, bekas kehidupan apa yang akan kita tinggalkan untuk dunia
ini?
***
Satu dialog sableng kebiasaan kami yang belum merit saat di toilet masjid dekat
rumah mempelai putri :
"Ngapain, Dud?" tanya
Lizar waktu gue mau ke toilet.
"Yak pipis lah, masa mau
ngaji di toilet? Uasyem," jawab gue.
"Awas tuh, entar setan di
toliet pada nafsu," kata Agus.
"Lah, Sedud kan kuming
(impoten), manusia atau setan juga gak ada yang doyan keleus," tambah
Lizar.
"K*nyuk lu. Mau gede-gedean? Wahaha," balas gue
nggak mau kalah.
"Shuutt! Masjid inih, jaga
kata-katanya," kata Shofa.
Hahahahaha.....
Ternyata, gila itu memang penyakit yang susah sembuh.hehe
Kami istirahat di selasar masjid
dekat rumah calon istri Rizky. Happy family, brader.... :D