Setiap
keberuntungan yang diterima seseorang pastilah berpijak di atas
ketidakberuntungan orang lain.
Itu kata-kata dari
seorang adik tingkatku. Ia sudah lulus, tapi baru akan wisuda Desember nanti. Dia
bertanya begitu, dan memintaku untuk meyanggah pendapatnya itu. Temanku yang
satu ini, mungkin satu-satunya teman yang selalu mampu menyanggah, bahkan
menentang argumentasiku dengan teori atau hipotesis dari berbagai tokoh besar
sejarah. Tapi, tentu saja, sekalipun mampu menyanggah, ia tak benar-benar mampu
untuk menyangkal bahwa pernyataan yang aku sampaikan itu salah. Aku tak
berkata, kecuali telah berpengalaman dalam hal itu.
Selasa
sore, kami berbincang hampir satu jam setengah. Banyak hal kami bahas, adu
argumentasi, berdebat, tertawa puas tiap kali menemukan sanggahan-sanggahan
yang kuat.
Ahh..
ente mah tulisannya monoton. Lagi-lagi masalah cewek, merit, punya anak, etc. Yang
lain dong, servis henpon kek, motor kek, resep makanan gitu. Kata dia.
Ya
ampun, blog tentang itu udah banyak keleus. Tapi blog tentang pemikiran
orisinil itu jarang. Kalaupun ada, lebih sering membosankan daripada
mengaduk-aduk kemapanan berpikir pembacanya. Kata saya.
Lah,
blog pemikiran mah gak laku. Gak ada yang baca. Kata dia lagi.
Ya
ampun, bray, lu nulis karena pengin dibaca orang yak? Wahaha, cemen banget. Kalo
kita bikin makanan terus ga ada yang makan bukan karena ga enak/bayar, itu
bukan salah kita. Lebih jelas lapar makanan kan daripada lapar ilmu? Padahal
kita tahu hasil yang dikeluarkan otak sama perut itu beda banget. Kata saya.
Yak
jangan merit mulu lah, apa kek yang rada berat. Kata dia.
Justru,
lu tuh anak tunggal, ibu lu pasti pengin banget ngegendong cucu. Lu-nya aja
nih, jadi anak tak bertanggung jawab, wahaha. Candaku.
Susah
tauk. Lagian, gua lagi nikmatin hidup nih, kemana-mana sendirian. Merasa berpetualang
banget. Kata dia.
Aduuuh,
bray, kagak ada tuh petualangan yang lebih menegangkan daripada kenalan sama
cewek en cinta. Haha. Kata
saya lagi.
Ya
ente, kenapa belum merit? Umur kan udah 26, udah tua lu. Wahaha. Kata dia.
Kampret nih anak.
Kalo
gua emang lagi ada misi besar. Kalo merit deket-deket inih, kasian dia, bakal
sering gua tinggalin. Kata
saya.
Yak
sama kali, gua juga ada misi hidup. Kata
dia.
Wahaha,
misi apaan???
Cari
kerja, kenalan sama cewek.
Wkwkwkwk,
Sampai hampir setengah enam kami
mengobrol. Aku senang, dia mulai fokus untuk membumi, tidak seperti saat awal kami berkenalan, pemikirannya
begitu melangit.
Sebenarnya, aku bisa menjawab
saat itu juga dengan membalas sms-nya. Tapi, jika itu terjadi, tulisan ini tak
akan ada. Masa depan selalu memberikan segala kemungkinan.
Apa yang kita sebut sebagai
keberuntungan, seperti kebanyakan hal, adalah rekayasa perasaan. Bahasa lebaynya,
konspirasi hati (haha). Segala sesuatu menuju kerusakan, kecuali cinta. Seseorang
yang bangga, merasa beruntung mendapatkan wanita/pria yang berwajah menawan,
kaya, alim, dsb, tidak ada kepastian bahwa di tengah perjalanan hidup mereka
akan aman. Aku sempat juga cerita
pada temanku itu tentang kata-kata Epicuros, bahwa seorang suami yang mencium
kening istrinya, dalam kesadaran akan memunculkan dua perasaan yang
bertentangan. Pertama rasa sayang/cinta, kedua perasaan berat bahwa suatu saat
mereka akan saling meninggalkan. Paradoks hidup. Yap, waktu, semua mengalir di
dalamnya, menuju kemusnahan. Kecuali, cinta. Mereka yang telah tenggelam di
dalamnya akan abadi. Karena cinta bukan tentang memiliki (have), tapi menjadi
(being). Tak ada perpisahan, tak ada kehilangan, tak ada perasaan buruk apapun,
ketika seseorang telah tenggelam dalam cinta.
Apa yang disebut keberuntungan,
kebaikan, belum tentu itu bertahan lama. Berapa banyak kisah sejarah yang
mengisahkan ini.
Kita mulai dari Adam. Ia mendapatkan
Hawa, teman hidup, kebaikan yang menyertai hidupnya. Apakah itu keberuntungan? Justru,
jika kita senang menyalahkan orang -
lain, Hawa yang menjadikan manusia harus hidup di dunia. Oke, aku tak sedang
membahas surga yang sebenarnya.
Qobil (Kain, dalam Injil), merasa
beruntung dengan tubuhnya yang besar. Ia merasa beruntung dapat mengorbankan
darah dan daging untuk Tuhan, sedangkan Habil hanya hasil tani. Tapi,
ternyata sebaliknya, Habil-lah yang
terpilih. Apakah Habil beruntung? Justru kemenangannya
berakhir kematian, bahkan terbunuh oleh kakaknya sendiri. Apakah Qobil
merasa beruntung telah membunuh adiknya? Justru, ia menyesal, dan
menguburkannya mencontoh burung gagak yang ia lihat.
Musa, mendapatkan kesempatan
belajar dengan Khidir. Apakah itu keberuntungannya? Bahkan Musa, karena Khidir
terlalu membingungkan, itu menjadi kesialannya, tak bisa memegang kata-katanya
sendiri. Akan banyak sekali kisah-kisah seperti ini jika kita menengok panggung
sejarah yang telah lewat.
Kita lihat dari diri kita sendiri.
oke, oke, karena aku tak mau mengambil contoh orang lain, aku ambil diri
sendiri.
Tentang jodoh, misalnya. Jikapun aku
berkali-kali, katakanlah, gagal, apakah itu suatu ketidakberuntungan? Tentang kekayaan,
pekerjaan keren yang aku tolak dengan sopan, wanita-wanita yang aku hindari
justru ketika mereka ingin dekat, apakah itu suatu ketidakberuntungan? Terkadang,
dunia ini bagaimana atau darimana sisi kita melihatnya. Seringkali, kita tak
mau mengerti, bahwa keinginan cenderung meminta pengorbanan, yang tak jarang
itu besar. Kita selalu mampu untuk berkeinginan – besar, tapi lebih sering
menolak ketika pengorbanan besar dibutuhkan untuk mendapatkannya. Kita takut,
dan menolak untuk disebut penakut. Sedangkan hidup ini proses, segala hal,
termasuk berdamai dengan rasa takut yang terasa mengancam. Aku tak takut untuk
mendekati wanita manapun. Tapi aku takut untuk mengorbankan banyak orang,
meninggalkan banyak orang yang membutuhkan. Seorang penglima perang menolak
untuk bertempur bukan karena ia takut mati, tapi tak mau mengambil resiko pada
prajuritnya yang kelelahan dan rakyat yang ada dalam penjagaannya.
Beruntung atau tidak beruntung
seringkali sebatas utopia pikiran. Dan tentang regenerasi (pernikahan), justru
karena kita tahu kita tak abadi, kita sebaiknya melakukannya.