Sara,
this life is not perfect!
Kakak perempuanku mengetuk pintu
kamar, nada suaranya sendu. Ia akan pulang ke rumah suaminya. "Temani ibu,
ya?" katanya. "Oke," jawabku pendek. Aku fokus menonton film Sweet November yang baru tadi siang aku
download.
Di rumah, kini tinggal tiga
orang. Ada dua kamar kosong, kalau kakak perempuanku itu ikut suaminya. Suasananya
sepi, jadi mungkin wajar beliau merasa haru ketika akan meninggalkan kami. Kemesraan
berkeluarga memang menyenangkan, indah, nikmat. Tapi, tak ada sesuatu pun di
dunia ini yang bertahan lama. Tak akan pernah ada.
Jadi, apa yang kita keluhkan
sebenarnya?
Di luar, sedang ada perayaan hari raya anak yatim, 10 Muharam. Suara ceramah
seorang kyai sayup-sayup terdengar. Tapi, aku tak bisa kemana-mana. Maksudku,
tubuhku tak bisa kemana-mana, hanya pikiran dan imajinasi. Semenjak kakakku
menikah, aku semakin jarang keluar rumah, terlebih lagi malam hari. Bahkan,
akhir-akhir ini aku sering merenung, bagaimana caranya membuat suatu alat yang
sekali tekan, aku tahu yang menekannya sedang berada di mana. Alat itu untuk
ibu dan bapak. Beliau tak biasa memegang handphone. Jadi, semisal ibu belanja,
atau bapak yang masih bekerja ikut kontraktor membangun, mendesain jalan atau jembatan,
aku bisa tahu beliau dimana dan aku segera menjemputnya. Terdengar seperti
seorang pahlawan yak? (hehe)
Pernah aku katakan pada seorang
siswi yang bertanya mengapa sampai saat ini aku belum menikah, bahkan pacar pun
tak punya. Aku tak tertarik dengan kecantikan. Aku menghargai kecantikan,
bahkan ingin selalu menggoda wanita-wanita cantik. Tapi bukan itu yang
membuatku tertarik. Bukan juga keturunan, kecerdasan, gelar pendidikan, bukan
juga keshalihan. Ketertarikanku muncul dari hati, ketika itu tak terjelaskan,
maka itu cinta. Aku akan menikah dengan ia yang siap mengikutiku di sini. Dan rasanya masih ada waktu sekitar satu tahun lagi untuk memikirkan itu. Mungkin.
Seperti dalam film Sweet November itu. Aku paham bagaimana
rasa keputusasaan seseorang yang sakit dan menatap ajal lebih jelas daripada
orang lain. Satu kisah yang jarang aku ceritakan di sini adalah tentang ia, seorang perempuan istimewa saat
masih SMA. Seseorang yang membawaku memasuki pintu tragedi kehidupan, sekaligus menyadarkanku, bahwa tak ada
satupun hal di dunia ini yang kekal, abadi, sempurna. Selalu ada kelemahan
dalam setiap hal, manusia, yang tak jarang orang lain tak boleh mengetahuinya. Sesuatu
yang kita sembunyikan dari orang yang sangat kita cintai, karena kita tak ingin
ia menderita ketika tahu rahasia itu.
Tapi, bukankah kehidupan ini
memang tak sempurna? Mengapa kita mencari kesempurnaan, sedangkan kita paham
mencari itu di dunia ini hanyalah utopia?
Kau ingin seorang pria yang
tampan, baik hati, cerdas, berdarah priyayi, apakah dengan itu masalah tak akan
datang? Apakah dengan itu hidupmu cukup? Kebenarannya adalah, semakin istimewa
apa yang kita miliki, maka semakin besar kekhawatiran kita untuk menjaganya. Adakah
jaminan itu tak akan meninggalkan kita, atau sebaliknya, kita akan
meninggalkannya? Apa yang sebenarnya manusia cari di dunia ini?
Lalu, Sara pun meninggalkan
Nelson dalam keterlepasan total menerima bahwa ia tak ingin ajal menjemputnya,
di depan orang yang mencintainya, dan dicintainya. Dan seperti November, hanya
selisih satu bulan menuju akhir. Seperti kehidupan, tak ada satu pun manusia
yang mampu memastikan, mungkin saja hidupnya menjelang keberakhiran : waktu,
jabatan, rasa sehat, etc. Mengapa kita tak menerimanya dengan senang hati?