Ada saatnya kita justru tak
boleh apa-apa. Seperti terkurung dalam ruang kedap udara, bahkan bicara
saja akan menghabiskan jatah udara lebih cepat habis. Bukankah terkadang bicara
hanya menambah kerumitan, ketika berada di tengah-tengah kemarahan?
"Gimana ya, suami mba lagi susah diajak kerja sama. Kalo ada
sedikit kesalahan, semua ucapan keluar – kasar, marah. Tapi kalo dirinya
sendiri salah, tak mau disalahkan, bahkan tak mau mendengar komentar apalagi
saran. Kalo minta kebutuhan, harus
dilayani. Mba takut dosa kalo menolak itu,
"
Aku mendengarkan dengan setengah sabar.
"Di rumah suami nggak ada kerjaan, jadi mba agak susah cari
kesibukan. Mau baca buku, semua buku kamu kan di rumah ibu. Tiap jalan-jalan,
kadang aku mau beli buku atau majalah, tapi suami menolak. Belinya malah baju,
atau barang lain semacamnya. Kalo minta maunya dituruti, tapi kalo mba minta,
jarang sekali dikabulkan, "
Ia mengerti tak mungkin marah atau protes. Dengan sangat menyesal,
ya, ya, laki-laki itu 2-3 kali membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dewasa
daripada seorang perempuan. Tentu saja, selalu ada pengecualian. Dalam kasus
ini, dia tak bisa protes, emm, tak enaknya hidup di tengah-tengah orang
kampung, kita di kelilingi manusia-manusia berpikiran/berjiwa kerdil. Dia tak
bisa protes, karena alasan sepele, dia
menikah dengan suami yang berumur 4 tahun lebih muda. Dia berumur 29 tahun. Jika
sedikit saja emosi, jiwa kerdil seorang lelaki muda pun sangat mungkin akan
keluar, "Kalo nggak terima, cari laki-laki lain saja, " dan itu akan
sangat menyakitkan.
Aku memang seorang pria, mungkin juga jiwaku kerdil. Tapi tak akan
ku lakukan seperti itu pada istriku
kelak. Aku selalu punya cara.
Rasanya susah memahamkan pada para istri, bahwa mereka boleh melawan suaminya. Umar bin Khottob
pernah dimarahi istrinya habis-habisan, sampai seorang sahabat nyaris tak jadi
main ke rumahnya. Bahkan rasulullah, dengan beberapa istrinya sering berdebat,
beberapa ada yang sampai malam emosi mereka berdua belum mereda. Bukan berarti
kisah-kisah yang disembunyikan para ulama pria ini merendahkan rasulullah. Justru
sebaliknya, ini membuktikan bahwa ada saat-saat tertentu ketika rasulullah menjadi manusia biasa. Di sanalah
ketepatan musyawarah, dialog dewasa, logis, tanpa membawa-bawa amarah/emosi.
Kemarin aku berkumpul dengan dua teman SMA. Kumpul di Angkringan
Jahe Susu, bicara banyak hal. Hanya satu orang yang sudah menikah di antara
kami bertiga. Dan dia banyak cerita tentang berkeluarga, khususnya komunikasi
dengan istri.
"Sering benar, aku pengin keluar dari rumah itu. nggak
enaknya menumpang di mertua tuh begitu. Nggak boleh salah sedikit, mesti
perfect. Ada adik istri yang manjanya minta ampun. Sudah mahasiswa tapi cuci
baju saja nggak mau, padahal ada mesin cuci. Mau jadi istri macam apa dia
nanti. Minta henpon, minta laptop, minta duit jutaan buat foya-foya sama
teman-temannya. Kalo dinasehati, eh, malah aku sama istri yang dimarahin. Aku sih
penginnya istri kerja di rumah, bikin karya tangan apa gitu. Biar aku saja yang
kerja, kasian anak, masih kecil. buktinya kan, anak ngambek sedikit saja dia
marah. Bukan karena tak bisa diatur, tapi karena memang chemistry antara ibu dan anak terasa kering, lemah. Kadang istri
belanja apa, aku minta buat hemat, dia malah jawab duit sendiri, mau dipake
buat apa juga terserah dia. Kalo diminta berhenti kerja, pasti di rumah ribut
terus, karena penghasilanku nggak tetap, "
Kami berdua mendengarkan.
Malam ini hujan. Rumah ini kebanjiran. Bukan, bukan kebanjiran
dari luar, tapi dari dalam. Rumah ini sudah cukup tua, bukan bocor atapnya,
tapi memang kehujanan, di ruang tengah. Sejenak aku merenung, rumah ini mungkin
seperti jiwa kekeluargaan kami. Di luar nampak kokoh, besar, tapi di dalamnya
rapuh. Masih ada beberapa sudut yang mudah bocor, lemah, seperti beberapa
anggota keluarga yang... ya, mungkin rapuh. Kita memang tak selalu kuat, bukan?
Ada saat-saat tertentu yang memang bisa membuat kita lemah, rapuh. Tapi, apapun
yang terjadi. Tak mungkin kita membiarkan itu mengalahkan kita. Tapi,
demikianlah hidup – mengapa mengeluh?
"Kalo renovasi nyampe berapa, Ma? " tanyaku.
"Hehe, rumah tua begini, paling nggak hitungan 50 – juta, "
Fyuuuhh.... renovasi atap saja sampai 50?
*Ditulis di kamar, salah satu ruang yang tak bocor di rumah ini.