Kita harus berani
mengambil resiko untuk bahagia. Jika kau menginginkan sekuntum mawar, kau harus
membersihkan durinya.
Mata ini sebenarnya
sudah cukup mengantuk. Kemarin ada yang komentar, kisah si Jon itu membosankan.
Persoalannya bukan bosan atau tidak, temanku. Jika ku ceritakan kisah manusia
di balik si Jon, meski ia hanyalah pemuda kampungan, kau akan semakin tak
percaya. Tapi baiklah, kali ini aku tak mengajaknya – Jon. Ini cerita tentang
teman Jon, salah satu sahabat perempuannya.
"Untuk sekedar
kenalan aku siap, tapi kalau harus ke arah berumah tangga, aku mungkin akan
mundur teratur, " kata teman pria sahabat Jon itu.
Rasanya ingin ku pukul
(kalau ada) lelaki macam itu. Sudah cukup umur, bekerja, matang, tapi Cuma berani
kenalan tanpa membuat komitmen. Mungkin wajar kalau si pria baru berkenalan
dengan wanita itu, tapi ini sudah cukup lama, tahunan. Cerita dia sampai pada
asumsi, bahwa si pria ingin PDKT lebih lama – pacaran, dan jika suatu saat
ternyata tak cocok, dia bisa meninggalkannya begitu saja. Kampret.
Paling tidak, ada dua
kemungkinan ketika sepasang manusia muda berkomunikasi intim tanpa komitmen. Pertama,
akan muncul harapan, yang lebih sering harapan itu menguap. Kedua, semakin lama
kau berhubungan dengan seseorang yang kau suka, akan semakin kecil kemungkinan
orang lain bisa masuk ke sana – perasaanmu. Kau akan terjebak, di satu sisi kau
tak bisa memaksanya menjadi milikmu, di sisi lain kau tak mampu membuka hati
untuk orang lain. Para playboy yang belajar sejarah, terutama dari Cassanova,
pasti paham ini. Berikan harapan pada wanita – bagaimanapun caranya sekalipun
dengan janji komitmen, tapi jangan sampai menikahinya.
Laki-laki setengah
impoten, kalau pakai bahasaku. Kontradiksinya adalah, sebagian besar wanita tak
mau dicerdaskan. Sebagian besar wanita tak mau menjadi mulia, atau terhormat. Mengapa?
Karena mereka lebih senang dengan merendahkan dirinya, dengan cara memberikan dirinya pada orang yang tak
berani mengikat komitmen, mendatangi orangtuanya. Fitrahnya, ketika seorang
perempuan telah membuka hati pada lelaki yang menyukainya, lelaki itu tak boleh
menolak ketika ditanya tentang komitmen. Mengapa? Karena belum tentu ada perempuan
lain yang membuka hati seperti dia. Jika suka, mengapa tak mau janji dan
mengenalkan diri pada keluarganya? Jika tak mau janji, untuk apa berkenalan
lebih dalam? Sebaliknya, sebuah kebodohan – dari pengalaman – ketika seorang
pria mengejar-ngejar perempuan. Dari SMA aku belajar tentang ini. Ada seorang
teman yang dimarahi oleh guru mengaji kami, karena dia mau menghabiskan seluruh
hartanya demi seorang wanita. Mengapa mengejar ia yang bahkan diberikan 500
juta tak mau, sedangkan menolak banyak perempuan yang cukup menerima ia sebagai
santri yang taat? Aku tak senang dengan konsep ta-aruf. Konsep itu untuk
orang-orang penakut. Jika pun taaruf, apa intinya jika bukan sebuah komitmen? Buat
ikatan jelas lebih dulu, baru taaruf. Bukan malah sebaliknya, taaruf dulu (yang
sebenarnya adalah pacaran), lalu komitmennya lihat nanti saja. Bahkan seorang
pelacur pun berani pasang tarif dulu sebelum dibeli. Sedangkan di luar sana, begitu banyak wanita yang merasa
terhormat dengan perasaan saling cinta tanpa keberanian pria menyatakan janji
setia – pernikahan.
Lalu, seperti yang Jon
ajarkan padaku tentang cara doa malaikat,
aku pun mengajarkannya.
Tenangkan dirimu. Rasakan kedamaian paling dalam dari dalam diri. Dalam kedamaian
itu, tak ada rasa takut, kesedihan, keraguan, kecemasan, keinginan. Engkau benar-benar
damai. Kedamaian yang bahkan kau tak sadar bahwa yang bicara di dalam dirimu
itu adalah engkau sendiri. Berdoalah. Apapun, dengan bahasa atau kata-kata
apapun. Ketika kau telah sampai pada kondisi ini, tak ada doa yang tak
terjawab.
Saat kau berada dalam
kondisi itu, hijab takdir akan disingkapkan. Tapi, bukan malah kau senang, kau
akan tertawa dan menganggap bahwa kerja keras adalah kehidupan itu sendiri.
Bahwa doa yang seperti itu memang
menyenangkan, tapi bukan yang menjadikan kita benar-benar hidup.
Seperti yang pernah
aku dan Jon ceritakan, takdir kita dalam tema jodoh seperti serabut otak. Cabang
yang merupakan kemungkinan kita akan tertakdir dengan siapa, sama banyaknya
dengan bintang-bintang di langit. Jangan takut karena tak punya uang, belum
siap mental, lahir-batin, lalu menolak seseorang yang sebenarnya kau sukai. Tuhan
tak bermain dadu di atas sana. Jangan mengira bahwa kau yang belum siap mental
dan lain-lain itu, lalu hidupmu akan berantakan. Kalaupun Tuhan bisa berpikir,
Ia tak mungkin berpikir sebodoh itu (jangan ambil resiko kalau tak siap, karena
Aku akan meninggalkanmu sendirian!).
Sahabat kami itu juga
bertanya padaku, kapan menikah. Aku jawab, mungkin awal 2016. Bukan belum siap
atau alasan sepele lainnya. Ini tentang izin ibuku. Beliau belum mengizinkan,
bahkan dengan seorang wanita yang tak terlalu jauh dari rumahnya.