Jika aku
terus hidup dengan karakter yang seperti ini, dalam pemahamanku saat ini ada
tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, aku akan mati muda. Kedua, aku
akan sakit jiwa / hilang kewarasan. Ketiga, jika Tuhan memberiku umur panjang,
suatu saat akan datang waktu ketika aku benar-benar dimusuhi banyak orang. Bukan
karena jabatan atau kekayaan, tapi karena aku melawan dogma – keyakinan kolot –
masyarakat, dan melawan pemikiran mapan yang masyarakat pahami selama ini.
Tadi pagi orangtua siswa datang, mereka suami istri, ke kantor
ruanganku. Anaknya, yang pindahan dari sekolah tetangga, semakin tak
terkendali. Melawan pada mereka, berani berbicara jorok dan tak sopan. Semua orang
sudah angkat tangan untuk mengurusi anak tersebut. Jangankan belajar ilmu umum
/ mengaji, mendekati anak tetangga saja dia tak boleh. Di pemahaman para
tetangganya, dia anak yang membawa sial, emm... atau semacam kutukan.
Saat umur lima tahun, dia kecelakaan. Kata dokter, ada gangguan di
kepalanya. Selain karena fatwa dokter tersebut, si anak dianggap sebagai cobaan untuk orangtua tersebut karena
dulu bapaknya bermain klenik.
Paling tidak, ada tiga siswa pindahan yang memiliki kasus hampir sama.
Dua anak di kelas 4, satu anak di kelas tiga. Mereka dianggap kemasukan jin,
diguna-guna, bahkan ingin dirukyah – dua anak di antaranya sudah dirukyah. Tapi,
pengobatan apapun, termasuk rukyah, sama saja tak bisa menyembuhkan watak
ketiga anak tersebut. Mungkin orang akan berkata, hebat benar jin yang berada dalam diri anak itu?
Tapi, aku tak sepakat dengan mereka. Perkembangan otak manusia akan
tumbuh pesat paling tidak sampai usia 25 tahun. Tiga anak tersebut, dua anak
setelah pindah sekolah ke kami, mereka berangsur pulih. Dengan metode
pendidikan yang kami, aku, buat di sekolah itu. Tentu, ini semua berkah Tuhan. Bisa
apa aku tanpa kehendak-Nya. Dua anak yang berangsur sembuh itu, orangtuanya aku
sarankan untuk melakukan metode penyembuhan
jiwa yang aku buat. Bukan doa atau dzikir, melainkan kepedulian dalam
sehari-hari. Setiap Sabtu sore, sekolah kami mengadakan pengajian orangtua
siswa dan guru. Di sana, aku pahamkan bagaimana mendidik anak yang seharusnya,
tentu, secara perlahan. Aku sadar, itu tindakan yang munafik. Aku sendiri belum
memiliki anak, tapi sudah menceramahi ibu-ibu bagaimana mendidik anak yang
baik. Konyol sekali.
Salah satu guru kami, tetangga orangtua yang datang itu. Beliau banyak
cerita, tentang watak keras orangtua tersebut. Kata para guru, itu mungkin menurun pada anaknya. Sangat mungkin,
bukan karena menurun secara genetis atau pengaruh jin, melainkan, anak kecil itu ibarat mesin
foto kopi. Apa yang dilihat, didengar, dirasakan, akan cepat terrekam. Berbeda dengan
orangtua yang lebih banyak mengeluarkan gelombang otak Beta – teori gelombang
otak, anak kecil mengeluarkan gelombang Alfa, gelombang otak yang menjadikan
mereka cepat menyerap pengetahuan apapun di sekitarnya.
Anak orangtua itu tak bisa menulis, membaca, menghitung, sekalipun
usianya sudah 12 tahun. Tak mau membantu pekerjaan orangtua, suka memaksa kalau
meminta uang, jika tak dituruti akan mengamuk dan berbicara kotor / kasar ke
orangtuanya. Mudah mengeluh, hidup seenaknya sendiri, mudah dendam, tak mau
mengerjakan PR, dan sifat negatif semacamnya. Orangtua itu sebenarnya merasakan
perubahan yang sangat drastis dari saat dia di sekolah tetangga, dengan saat di
sekolah kami. Tapi, lama kelamaan dia memberontak di kelas. Tak mau mengerjakan
PR, tak mau dihukum, menolak diberikan tanggung jawab, sampai teman-teman
sekelasnya jenuh dan mengasingkan dia. Bagaimana dia bisa mengimbangi belajar
teman-temannya yang kelas 4 itu, sedang mengenal huruf saja dia tak bisa? Menghitung,
menulis, bahkan membedakan satu jari dengan empat jari saja dia tak bisa,
bagimana dia tak memberontak?
Mungkin memang sudah takdirnya, aku akan menerima bagian cuci piring, mendapatkan tugas yang
susah-susah, anak itu belajar privat di ruanganku. Aku sediakan minuman,
makanan ringan, istirahat tiap 15 menit belajar. Para guru tak ada yang
memiliki basic psikologis yang cukup, untuk mengenali berbagai kasus
perkembangan jiwa anak. Dan tak mungkin aku sebagai kepala, sekali bicara untuk
memahamkan seperti apa ilmu psikologi itu. Seringkali aku bingung, mengapa
Tuhan menempatkan aku yang masih muda ini untuk memahamkan orang-orang yang
lebih dewasa? Mengapa aku harus merasa pantas menuntun mereka?
Ke depan, tugasku bertambah. Menyelesaikan tugas administratif sebagai
kepala, menghadiri rapat-rapat, mengajar di SMK, mencari dana bantuan, membina
guru, memahamkan masyarakat, juga mendidik privat anak itu.
Sebelum pulang, ibu anak itu bercerita tentang kakakku yang
menyarankannya membaca dzikir tertentu dengan jumlah tertentu agar anaknya
membaik. Tentu, aku agak kaget. Aku termasuk orang yang tak percaya dzikir
mampu menyelesaikan segala masalah, terlebih lagi dengan dzikir tertentu dengan
jumlah tertentu yang tak ada sunnahnya. Aku orang yang percaya dengan
spiritualitas, tapi aku juga senang dengan ilmu pengetahuan. Dzikir dan doa
hanya untuk orang-orang beriman lemah. Ada satu hadits yang mengatakan : Ubahlah keburukan dengan tindakan, jika tak
mampu ubahlah dengan ucapan, jika tak mampu ubahlah dengan doa dan itulah
selemah-lemahnya iman. Bagiku, di sana tersembunyi apa yang sebenarnya
ingin disampaikan sang rasul, bahwa dzikir dan doa itu upaya awal dan akhir,
sedang di tengah-tengahnya adalah segala upaya yang kita lakukan berdasarkan
ilmu/pemahaman akal sehat.
Dzikir atau doa tertentu dengan jumlah tertentu, dalam dunia keagamaan
disebut ilmu hikmah. Paling tidak,
ada dua tokoh yang tercatat memiliki hikmah.
Lukman Al Hakim, yang namanya diabadikan dalam qur’an, dan Ibn Abbas, anak
paman rasulullah. Tapi, mereka, khususnya Ibn Abbas, mendapatkan hikmah dengan
cara menuntut ilmu secara konsisten. Ia mendatangi semua ulama di jamannya, selain
karena doa rasul, untuk menyerap semua ilmu mereka. Bahkan, ada sahabat yang
kewalahan dengan lapar dan hausnya beliau pada ilmu dan pemahaman. Dia pernah
tidur di depan rumah seorang ulama, karena saat ia kesana ia melihat ulama itu
sedang tertidur, dan tak mau mengganggu tidurnya. Ulama itu sampai malu
sendiri, Ibn Abbas keponakan rasul, kok sampai begitu. Toh, Ibn Abbas tak
memberi doa atau dzikir tertentu dengan jumlah tertentu untuk menyelesaikan
semua masalahnya. Beliau mengajarkan Fiqh, tafsir, Qiyas, tanya jawab ilmu-ilmu
yang mencerahkan dan mencerdaskan setiap orang yang menemuinya. Wawasan ilmu
dan pemahamannya sangat luas dan beragam. Yang pada intinya, Hikmah adalah
kehendak Tuhan. Seseorang tak bisa mendapatkannya sekalipun berusaha sekuat
tenaga. Hikmah layaknya hidayah untuk mereka yang tersesat. Itu tak dicari,
tapi diberi, ketika memang telah siap. Tapi, tentu saja, aku tak bisa
memastikan, barangkali memang Tuhan berkehendak memberikan Hikmah-Nya pada seseorang,
sekalipun tak setangguh Ibn Abbas.
Ada anak-anak yang harus aku buatkan sistem, agar mereka tak menjadi
sebodoh para pendahulunya. Ada guru-guru yang harus aku sampaikan pemahaman
yang ada di kepalaku, meski sebenarnya aku lebih senang diam – seringkali aku dipaksa menyampaikan apa yang sebenarnya
tak ingin ku katakan. Ada masyarakat yang harus aku bersihkan pemahamannya,
dengan resiko pertempuran keyakinan
dan pemikiran. Anak muda dengan isi kepala sepertiku ini, ada tiga kemungkinan di
masa depan. Pertama, mati muda. Karena tak tahan dengan apa yang terjadi, lalu
memilih menyerah dan tak mau bertempur mengubah itu. Kedua, gila. Putus asa
melihat kenyataan yang tak seperti apa yang dipahami, lalu memilih lari dari
pertempuran, tapi juga tak mau mati dulu. Ketiga, jika aku berumur panjang, aku
akan menjadi orang yang paling banyak memanen
hinaan, ejekan, fitnah, dari masyarakat yang menganggap aku belagu, sok
tahu, gila atau sesat.
Tapi, sekuat apapun seseorang berlari, ia tak akan lolos dari
takdirnya, bukan? What i have to do? Wallahu a’lam.