Akan Ayah buktikan, meskipun bibir kamu tak sempurna, kamu bisa menikah
dengan wanita yang lebih cantik dari ibu. Dan mendapat pekerjaan yang lebih
keren dari pekerjaan ayah.
M. Jon, ayahnya memberi nama. Ia dilahirkan
dalam keadaan bibir yang tak sempurna. Saat Ibu Bidan mengeluarkannya dari
rahim ibunya, ia menyarankan untuk mengikuti program operasi bibir sumbing. Orangtua
Jon hanya perlu menandatangani berkas-berkas, yang nantinya akan dicairkan uang
warga miskin dari pemerintah kota.
“Kalau umur 6 tahun, masih telat
ndak, Bi, buat anak saya?” tanya ayah Jon. Ia bekerja sebagai supir truk sampah
dinas kebersihan kota. Meski tak terpelajar, ayah Jon cukup terdidik, terutama
dari kehidupan masa mudanya.
“Kok nunggu umur 6 tahun? Sekarang-sekarang
saja, biar sekalian. Nanti saya bantu administrasinya,” kata bu bidan.
“Saya pengin nanya dulu, bi, sama
anaknya. Dia mau dioperasi atau ndak,”
Bu bidan menghela nafas panjang.
“Koe iki dasar bandel. Yo wes,
terserah.” Ucap bu bidan lagi. Ia adalah bibi dari ayah Jon. “Pokoknya nanti tinggal bilang saja ya, kalau
sudah siap di usia 6 tahun?” bu bidan menggelengkan kepalanya. Tangannya mencatat
apa saja resep yang mesti dibeli untuk istrinya.
Jon tumbuh normal, hanya bibirnya
saja yang memang tak normal dari bayi. Tapi, itu tak menghentikan dia untuk
jadi anak yang gesit, bandel seperti ayahnya, dan, meski sering pulang murung,
dia cepat riang kembali. Terkadang ia pulang dengan wajah sedih. Satu saat tak
dibolehkan main ke rumah teman perempuan seperti teman laki-laki lainnya. Katanya,
anak yang bibirnya sumbing itu tukang mengintip orang mandi. Ibunya tertawa
saat diceritakan kisahnya ini. terkadang juga, karena mendapat ejekan dari
kakak kelas, atau anak-anak dari sekolah lain yang kebetulan bertemu saat
pulang.
“Tuh, Yah, kasih wejangan. Habis
sudah nasehat ibu buat Jon. Ada saja yang bikin dia sedih,” kata ibunya di
suatu sore.
“Sini, sini, kenapa lagi sih?”
ayah Jon bersantai di teras rumah, sedang ibunya menyapu halaman.
“Tadi siang, si Roni bilang anak
sumbing itu waktu lahir diludahin setan,” ucap Jon pelan. Tangannya bermain
pelapah pisang.
“Hahaha,” ayah Jon tergelak. Jon
sudah terbiasa dengan tawa ayahnya. Ia tak tersinggung, karena biasanya setelah
itu ada kata-kata keren yang keluar. “Gimana buktiinnya ditubuh kamu ada ludah
setan? Wong waktu lahir tubuh kamu berlumuran darah kok,”
“Darah itu bukan ludahnya setan,
Yah?”
“Hahaha,” ayah Jon tertawa lagi.
Bukan apa-apa, karena sambil melirik ibunya yang sedang menyapu, ibu Jon
melempar kulit pisang ke arah ayah Jon. “Kalau darah itu ludahnya setan, tuh,
yang lagi nyapu setannya, setan yang sangat cantik,”
Jon tersenyum. Sedang ibunya
tersipu malu.
“Kamu kan sudah yakin, ndak mau
operasi waktu mau sekolah SD,” sambung ayah Jon.
“Iya. Tapi kan ayah belum buktiin
ucapan ayah,” Jon menanggapi.
“Lha ya nanti toh, kamu kan baru
kelas lima SD,” kata Ayah. “Ke depannya, seperti kata ayah dulu, kamu akan
mengalami kejadian lebih sedih daripada ini. Cara satu-satunya kamu menjalani
itu, ikuti panduan ayah,”
Jon mengangguk.
Dulu, saat menjelang bersekolah,
terjadi dialog yang cukup hangat antara orangtua Jon dan dirinya. Mereka berdebat
tentang masa depan anaknya yang mungkin saja suram gara-gara bibirnya. Orangtua
mana yang tak takut anaknya hidup menderita?
“Kalau kamu operasi, bekas
lukanya ndak bakal hilang. Kamu bakal jadi orang yang senang dengan kepalsuan,”
kata ayah Jon saat itu setelah diceritakan kisahnya saat pertama kali
dilahirkan dulu. “Akan Ayah buktikan, meskipun bibir kamu tak sempurna, kamu
bisa menikah dengan wanita yang lebih cantik dari ibu. Dan mendapat pekerjaan
yang lebih keren dari pekerjaan ayah.”
“Ayah ini gimana toh, Jon belum
bisa mikir sudah dikasih pilihan begitu?” Ibu Jon menyergah. “Sudah, besok
Senin sama ibu di antar ke bu bidan,”
“Dia mengerti, Cuma ndak punya
bahasa seperti kita bagaimana mengungkapkannya,” sanggah ayah Jon, seakan ia jago
mendeteksi kejiwaan anak.
“Ndak mau ah,” ucap Jon polos. “Aku
ikut ayah saja,” mungkin itu kata hatinya.
Apa yang dikatakan ayahnya
terbukti. Jon mendapat perlakuan keras ketika
memasuki jenjang SMP dan SMA. Para guru banyak yang bangga padanya, karena
cerdas dan suka membantu teman yang kesulitan belajar. Di rumahnya, banyak
buku-buku bekas yang ayahnya dapat dari tempat-tempat sampah. Ia suka membacai
itu dan jika ada yang tak dimengertinya, ia akan bertanya pada ayahnya sepulang
kerja. Tapi, memang sudah takdirnya, meski ia suka menolong, teman-temannya tak
sesenang dia ketika menolongnya.
Suatu saat ia dipalak kakak
tingkat, saat SMP. Jon sok berani dengan menggantikan teman kelasnya yang
sedang di kelilingi seniornya.
“Saya saja kak, biarkan dia,”
kata Jon sok berani. “Dia sih orang ndak mampu, uang sakunya juga sedikit,”
pintar juga ini anak bersilat lidah.
Saat para senior mengerubunginya,
Jon ganti jurus lagi.
“Bibir sumbing itu menular. Bukan
saat ini, tapi nanti ke anak-anak kakak,” kata Jon tanpa ekspresi. Alhasil,
duit tak dapat – mereka lari, ketakutan membayangi mereka.
Dari kecil Jon sudah suka
mengorbankan dirinya. Kata ayahnya, “Apa yang tersisa dari diri kita jika bukan
kebaikan? Jadilah orang baik,”
Saat SMA, Jon masih sama, menjadi
salah satu siswa cerdas di sekolahnya. Bahkan juara pertama, seorang siswi anak
pejabat pemerintah, merasa sangat terpukul karena siswa yang mengejar nilainya
siswa macam Jon – bibir sumbing. Tentu, Jon tak kegeeran. Dia orang yang suka
menyendiri. Lebih banyak di perpustakaan, atau bercanda dengan teman kelas di
luar sekolah.
Masuk kuliah, ia masih tetap
sama, menjadi orang yang memanen hinaan. Sebagian menjadi teman akrab, karena
Jon orangnya tak pemarah. Sebagian membencinya tanpa ampun. Mengapa ada orang
cemerlang macam dia?
Dia lulus setelah kuliah empat
tahun dengan gelar Sarjana Tata Kota. Satu tahun membantu ayahnya bongkar muat
sampah. Ia tak peduli dengan titelnya. Toh ayahnya sendiri tak menuntut
apa-apa. Sedang ibunya, gaji ayah sudah cukup untuk makan mereka di rumah,
bersama adik Jon yang berusia 10 tahun.
Tapi, ayah Jon tak lupa dengan
janjinya. Bahwa dia akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dari ayahnya,
bahkan menikah dengan gadis yang lebih cantik dari ibunya.
“Ini, ada informasi pendaftaran
CPNS,” kata ayah Jon suatu sore. “Coba sana, mudah-mudahan rezeki kamu,”
Dua hari Jon merapikan
berkas-berkas yang harus disiapkan. Dia bersama tiga temannya ikut serta dalam
tes CPNS tahun itu. Sudah pembawaannya, Jon sudah menjadi orang yang tahan
malu. Ia dihina karena bibir sumbing dan ayahnya bekerja sebagai supir truk
sampah, itu sudah biasa. Hinaan dan pujian bernilai sama di telinganya. Begitupun
ketika tes CPNS, bisik-bisik ejekan terdengar lirih.
Tiga bulan Jon menunggu sambil
bekerja lagi membantu ayahnya. Ketika suatu pagi ia diajak tiga temannya untuk melihat
pengumuman CPNS di balai kota. Tiga temannya itu mendaftar sebagai PNS guru,
sedang Jon mendaftar di dinas kebersihan kota. Tiga temannya keluar pendopo
dengan wajah murung. Jon menghampiri mereka, berniat menghibur.
“Mungkin lain kali ya, Jon,” ucap
temannya, mengira Jon juga tak lulus.
“Sabar saja lah, kita masih muda
kan?” kata satu temannya lagi, berusaha menyemangati diri sendiri.
“Weh,” Jon menegur. “Aku berwajah
begini bukan karena sedih,”
“Lah, terus?”
“Yak emang dari lahir aku begini –
kampret,”
Mereka tertawa.
“Jadi, kamu lulus?”
“Iya.”
Tuiiinggg.....
Mereka serentak memandangi Jon.
“Di dinas kebersihan kota. Aku mau
angkat derajat ayahku,” Jon tersenyum bangga. “Doa orang sumbing itu cepat didengar
Tuhan. Soalnya suaranya beda, Tuhan tahu itu doa dariku,”
Mereka tertawa lagi.
Assalamu'alaikum...mas afa, boleh saya copas cerpen bibir sumbing ini utk kom saya di g+?
ReplyDeleteBoleh banget. Monggo mba.. Ituh jg ada buku2 kumpulan esaiku, bisa didonlod geratis.. 😁terima kasih udah mampir ☕ ya.. 🙏🙏
ReplyDeleteMakasihhh banyakkkk....😊😊😊
Delete