Bahwa hidup ini sangat berharga, dan 'takdir' dapat diubah
selama itu belum terjadi._Jon Q_
Aku intip si Jon di teras rumahnya. Diam, fokus dengan
pena dan kertas. Serius benar ini orang, lagi merumus togel ya?
"Serius amat. Lagi apa sih?" tanyaku kepo.
"Akhirnya, aku berhasil menguak 'rahasia' Tuhan tentang
takdir," katanya menggumam.
"Takdir? Bukannya itu harus diimani saja, tak boleh
diketahui? Dan orang yg mengetahui apa yg seharusnya diimani adalah
sesat?" tanyaku lagi.
"Katakanlah aku tersesat," ucapnya. "Tapi,
apa kau tak tertarik dengan apa yg aku temukan ini?"
Aku terdiam sejenak.
"Emm.. I.. Ya, deh," paling omong kosong lagi,
batinku berkata.
"Ini persamaannya, 1+1'=2',"
"Persamaan? Sejak kapan kau bisa matematika?" aku
tertawa.
Tapi, si Jon tak berekspresi. Air mukanya datar.
"Angka 1= Kebaikanku, 1'(aksen)= Kebaikanmu, dan 2' =
Konstanta Equilibrium, keseimbangan tetap," ceramahnya lagi. Aku mulai
bingung, tak paham.
"Dalam qur'an, ada begitu banyak ayat 'La tufsiydu fil
ardli', janganlah berbuat kerusakan di bumi,"
"Apa hubungannya dengan rumus anehmu itu?" tanyaku
tak sabar.
"Jika 1+0, dan 0 adalah kekosongan/keburukan
(katakanlah begitu), maka tak mungkin menghasilkan 'keseimbangan tetap' hukum
alam / = 2'. Maksudku, hukum alam yg meliputi kita akan timpang, dan itu akan
mengakibatkan adanya bencana, musibah, untuk mengembalikan angka 1' kita -
sesama manusia, agar tercipta kembali konstanta equilibrium,"
"Dapat darimana orang gila ini rumus itu?" aku
membatin. "Teruskan, Jon,"
"Maka, kerusakan di bumi yg dimaksud qur'an dapat kita
asumsikan sebagai keburukan yg kita ciptakan : pikiran, ucapan, tindakan. Lalu
berlanjut pada keburukan merusak alam, dan sesama manusia," celotehnya.
Aku semakin puyeng pala babi, eh, berbie. "Persamaan (rumus) itu bukan
cuma berlaku pada tindakan keluar diri kita, tapi juga di dalam diri kita
sendiri,"
"Di dalam diri kita? Maksudnya?"
"Misal, ibadah ritual itu angka 1, dan ilmu
(pengetahuan) itu angka 1', maka akan tercipta apa yang dikatakan dalam qur'an
sebagai 'jannah' (kedamaian) atau = 2'. Jika dibalik, ibadah ritual tanpa ilmu
(pengetahuan), maka tercipta ketidakseimbangan jiwa. Begitupun sebaliknya, ilmu
(pengetahuan) tanpa ibadah ritual, akibatnya sama, ketidakseimbangan jiwa. Maka
jika aku asumsikan, seseorang yang ingin mendapatkan 'jannah' (kedamaian
konstan), harus beribadah dengan ilmu, atau, seseorang beribadah justru karena
ia berilmu,"
"Tapi, itu 'kan asumsi. Bukan kebenaran?"
sanggahku, meremehkan.
"Ada asumsi yang lebih mencengangkan. Kau mau
tahu?" Jon tak menanggapi sanggahanku, kurang asem.
"Apa?"
"Bahwa keburukan takdir yang menimpa seseorang, itu seakan
acak. Maksudku, itu bisa saja mengenai kita, bukan mereka. Ini menjawab
pertanyaanku, mengapa seakan bencana atau musibah menimpa seseorang seakan
tanpa alasan logis,"
"Aduh, tambah puyeng aku, Jon,"
"Begini," katanya, tak menghiraukan ucapanku.
"Semisal si Fulan, seseorang di jalan mengalami kecelakaan. Bahwa
kecelakaan di hari itu, di saat itu, memang harus terjadi. Itu pertama. Kedua,
Kejadian itu bisa diubah, jika ia, si Fulan, melengkapi angka 1 dalam persamaan
tadi (1+1'=2'). Maksudku, seseorang yang tertimpa musibah, jika ditarik ke
waktu sebelumnya, entah satu atau dua hari, bahkan satu tahun sebelum itu,
terus melakukan kebaikan, di dalam diri sendiri dan ke luar diri (orang
lain/alam), tidak melanggar ayat qur'an la tufsiydu fil ardli, maka
sangat mungkin kejadian itu akan menimpa orang lain yang tak melengkapi angka 1
dalam persamaan di atas, atau bahkan hilang (tidak ada kecelakaan di saat
itu),"
"Lanjutkan, Jon, lanjutkan," padahal aku benar-benar
tak paham.
"Tapi, bagaimana kita tahu bahwa kita selalu memiliki
angka 1 (kebaikan) itu? Jawabannya, dalam ayat tadi, la tufsiydu fil
ardli, janganlah berbuat kerusakan pada dirimu sendiri (pikiran, ucapan,
tindakan) dan pada orang lain atau alam. Kedua..." Jon belum selesai
bicara.
"Tapi, bagaimana jika kita telah berusaha berbuat baik
tapi tetap saja kena musibah?"
"Maka itu tanda, bahwa kita telah kehilangan angka 1
kita, dan musibah itu memungkinkan angka 1 kita kembali lagi,"
"Yang kedua apa, tadi?"
"Kedua, dari persamaan di atas, kita mengerti, bahwa
hidup ini sangat berarti, sangat berharga, karena kapan saja kita bisa
kehilangannya,"
"Sebentar, sebentar," aku rasanya teringat dengan
satu ayat qur'an. "Itu mengapa Tuhan tak akan menghukum suatu kaum selama
di sana masih ada yang berbuat kebaikan (angka 1 dan 1')? Wa ma kaana
robbuka liyuhlikal quroo bidzulmin wa ahluha mushlihin... Dan orang yang
biasanya selamat dari bencana besar, adalah orang yang terus memiliki angka 1
itu?"
Jon menjawabnya dengan senyuman lebar, seakan berkata :
Syukurlah, hanya semalam aku berhasil menyesatkan satu orang.
Kampr**tttt si Jon memang.