Seperti air
telaga yang menggenang. Sebutir batu yang jatuh ke dalamnya, mengusik
ketenangan. Aku jadi berubah pikiran, surga yang konon tempat kedamaian,
semakin terasa tak cocok untukku yang ingin terus berjalan, mengalir. Dalam air
yang mengalir, di sana ada kegunaan. Dalam air yang mengalir, sebongkah batu
pun tak akan mengganggu perjalanan. Ia akan hancur, terbawa arus yang terus
bergerak menggerus.
Banyak orang yang mengira tanggung jawab yang
Tuhan berikan pada Jon itu sebuah prestasi. Banyak orang merasa bangga, dengan
jabatan yang ia punya. Sedang bagi Jon, itu tak lebih daripada seragam. Kapan saja
ia bisa menanggalkannya, dan menjadi diri yang sama sekali berbeda dari ini.
Banyak orang tak menyangka Jon yang idiot dan
berandalan itu menjadi seorang kepala sekolah. Misalnya seorang kepala TK saat
Jon bermain ke sana, untuk mempromosikan sekolahnya.
“Kamu Jon Quixote yang dulu TK di sini? Masya Allah...
sekarang mengajar di mana?” tanyanya.
“Saya diamanahi jadi kepala sekolah ‘anu’, bu,”
jawab Jon pelan.
“Ya ampun... nggak nyangka ya...” beliau tak akan
menyangka anak kecil autis yang dulu sekolah di sana kini telah dewasa dan ‘mengasuh’
banyak anak.
Begitupun reaksi beberapa guru sekolah negeri,
saat mereka melihat Jon ikut dalam rapat kepala sekolah.
“Ya ampun, dulu murid, sekarang ibu mesti panggil
pak kepala, ya? Hehe,” canda mereka.
“Panggil Jon saja, bu,” si Jon merendah.
“Hus, ya nggak sopan lah,” canda beliau lagi.
Mungkin tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang guru atau orangtua,
daripada melihat murid atau anaknya sukses. Tapi bagi Jon, dia tak mengerti,
atau bahkan tak peduli apa makna sukses yang banyak dikejar-kejar orang itu.
Siang itu, ada saudara Jon yang bertanya, mengapa
jika diperhatikan, mata sebelah kiri Jon sering belekan. Apa si Jon jarang mandi pagi?
“Lagi sakit, ya?” tanya saudara Jon.
“Sakit sih enggak, Cuma rada capek aja,”
“Banyak kerjaan, ya? Bukannya jadi kepala sekolah
itu enak? Hehe,” tanya ia lagi.
“Iya, banyak kerjaan. Tapi kayaknya gara-gara
banyak baca buku akhir-akhir ini,” kata Jon lagi. “Minggu-minggu ini aku banyak
baca buku lagi. nggak tahu kenapa, tapi kalau nggak baca buku atau menulis,
pikiran rasanya nggak tenang.
Hidup enak kan gimana kita mensyukurinya, ya. Lagipula,
aku ini buruhnya Allah, mas. Allah pengin aku mulung atau ngamen, ya itu yang
aku lakukan. Allah pengin aku jadi penggembala sapi, ya itu yang aku kerjakan. Kali
ini Dia pengin aku pimpin sekolah, maka itulah yang aku jalani sebaik-baiknya. Dan
kalau besok Allah pengin menempatkanku di tempat lain, maka itulah yang akan
aku tepati,” kata Jon.
Dunia ini tak pernah menyerah untuk menjatuhkan
manusia ke derajat terrendah. Pada akhirnya, manusia harus memilih, menjadi
manusia yang hanya mencukupi dirinya sendiri, atau menjadi buruh Tuhan yang
lebih sering terjauhi oleh isi dunia : harta, tahta, wanita. Manusia boleh
menyusun rencana, tapi pada akhirnya Tuhan-lah yang akan memutuskan. Layaknya sebuah
perahu, sang nahkoda tak akan mampu mengendalikan angin. Ia hanya mampu
mengendalikan perahunya, agar tak salah jalan seperti yang angin arahkan. Maka berhentilah
berharap jika itu melemahkanmu, teruslah bekerja keras, dan tetaplah miliki
mimpi-mimpimu. Jika kerja keras itu tak berbuah, maka paling tidak kita pernah
memimpikannya. Kita pernah bahagia oleh mimpi-mimpi kita.