Maju saja! Jangan
takut akibatnya. Jika bukan untuk bertarung demi kebenaran, untuk apa seorang
ksatria dilahirkan? Jatuh tersungkur berkali-kali pun akan terus bangkit
kembali. Jangan berani hidup, jika kau tak bisa memenuhi takdirmu sebagai
seorang pejuang.
Kau tahu, manusia memiliki naluri untuk menindas.
Dan itu dikendalikan di batang otak kepalanya. Tiap mereka merasa berkuasa dan
melihat orang lain nampak lemah, maka dengan sendirinya naluri itu akan muncul.
Membuka penutup diri, menunjukan sisi gelap manusia yang sebenarnya. Lincoln
pernah berpesan, jika kau ingin tahu watak seseorang yang sebenarnya, jadikan ia seorang pemimpin. Dan aku sudah mengatakan
itu pada guru-guru sekolah itu. aku tak peduli dengan penilaian orang lain,
yang aku pedulikan adalah bagaimana agar aku selalu mampu mengerjakan tugasku
sesuai sebagaimana mestinya. Membahagiakan mereka, jika bisa semua orang yang
berada di dekatku. Yah, kembali ke asumsi tadi, bahwa kesenangan seseorang
terkadang adalah hasil dari ketertindasan orang lain di dekatnya. Maka,
berbahagialah mereka yang telah meletakan naluri di urutan terbelakang. Mereka yang
‘mokhsa’, melampaui anak-anak tangga logika, rasa, dan mencapai ‘arupadhatu’ :
kondisi jiwa tanpa ‘label’.
Pulang bekerja, aku berbincang dengan bapak. Tentang
agenda tutup tahun di sekolah. Phewh, akan ada persoalan pelik yang sedang kami
tuju. Dan aku tahu, mungkin ini tak bisa dihindari. Kau tahu, aku lebih memilih
perang ketika konsekuensi telah ku ‘hitung’, meski keadaan telah terasa damai, daripada memasukan
orang-orang perusak ke dalam keluarga kita. Tiap ku bayangkan wajah-wajah orang
yang menghina bapakku dan menyebarkan fitnah itu, seperti ada semacam kemarahan
yang tertahan, bahwa suatu saat akan datang waktu ketika aku atau kami memukul
mereka secara telak. Aku tak berharap waktu itu kan datang sebentar lagi.
terkadang, di satu sisi aku merasa muak dengan kondisi ini. tapi di sisi lain,
waktu yang bergerak perlahan ini benar-benar melatih kami untuk kuat. Coba kau
lihat, jika kita menatap masa depan, waktu terasa berjalan sangat lamban. Tapi
jika kau tatap ke belakang, masa lalu, ah, berapa umur kita saat ini? Terasa
sungguh kencang arus waktu menghanyutkan kita. Dalam waktu, aku pun menunggu. Ketika
saatnya tiba, tak peduli berapa kali pun aku terjatuh hina, akan ku muliakan
orangtua dan mereka yang berjuang bersamaku. Kau, apa yang kan kau pilih? Berlumur
luka bersamaku, atau bersembunyi dalam gelap ketakutanmu?
Sampai ini, aku harap kita kan selalu melihat. Dalam
sebuah pertempuran manusia, seringkali kemenangan tak berada di tangan kita. Aku
harap, penindasan yang mereka lakukan pada kami, tak akan berbalik pada mereka.
Meski kehidupan tak sebatas kalah dan menang, tapi terkadang kemenangan itu
perlu. Bukan hanya tentang bebasnya kami dari penganiayaan, tetapi juga
kemenangan dari setan, yang mengikuti jalan kami dari belakang. Kami akan
berjuang, dan akan menang tanpa menjatuh-hinakan mereka, meski mereka menindas
dan menjadikan kami hina. Jika, suatu saat kami jaya, lalu gegap gempitanya
membuat kami lupa – diri, menyerang mereka yang dulu memerangi kita, setan akan
bertepuk tangan gembira. Kau tahu, aku bukan orang yang dekat dengan kesenangan,
terlebih lagi bersama setan.
Terakhir, ayo, kita tunjukan pada dunia – kita sendiri,
suatu saat kita kan mampu seperti Yusuf. Ketika kesabarannya yang begitu
tangguh, dengan cinta yang mesra menuntun orangtuanya duduk di atas
singgasananya. Kau dan aku, sekuat tenaga, seumur hidup ini, harus memberi kado
besar sebelum ajal memisahkan kita, dan bertemu berkumpul kembali dalam jannah. Hadiah yang kelak seperti hujan
yang menyegarkan tanah gersang, dan membuktikan bahwa hinaan dan fitnah yang
selama ini orang tujukan tidaklah benar. Maju saja! Jangan pernah takut
akibatnya! Karena berapa kali pun kau jatuh, selama kau masih hidup kau akan
terus kembali bangkit.