Letters for myself 2

Java Tivi
0
Maju saja! Jangan takut akibatnya. Jika bukan untuk bertarung demi kebenaran, untuk apa seorang ksatria dilahirkan? Jatuh tersungkur berkali-kali pun akan terus bangkit kembali. Jangan berani hidup, jika kau tak bisa memenuhi takdirmu sebagai seorang pejuang.

Kau tahu, manusia memiliki naluri untuk menindas. Dan itu dikendalikan di batang otak kepalanya. Tiap mereka merasa berkuasa dan melihat orang lain nampak lemah, maka dengan sendirinya naluri itu akan muncul. Membuka penutup diri, menunjukan sisi gelap manusia yang sebenarnya. Lincoln pernah berpesan, jika kau ingin tahu watak seseorang yang sebenarnya, jadikan  ia seorang pemimpin. Dan aku sudah mengatakan itu pada guru-guru sekolah itu. aku tak peduli dengan penilaian orang lain, yang aku pedulikan adalah bagaimana agar aku selalu mampu mengerjakan tugasku sesuai sebagaimana mestinya. Membahagiakan mereka, jika bisa semua orang yang berada di dekatku. Yah, kembali ke asumsi tadi, bahwa kesenangan seseorang terkadang adalah hasil dari ketertindasan orang lain di dekatnya. Maka, berbahagialah mereka yang telah meletakan naluri di urutan terbelakang. Mereka yang ‘mokhsa’, melampaui anak-anak tangga logika, rasa, dan mencapai ‘arupadhatu’ : kondisi jiwa tanpa ‘label’.

Pulang bekerja, aku berbincang dengan bapak. Tentang agenda tutup tahun di sekolah. Phewh, akan ada persoalan pelik yang sedang kami tuju. Dan aku tahu, mungkin ini tak bisa dihindari. Kau tahu, aku lebih memilih perang ketika konsekuensi telah ku ‘hitung’, meski keadaan  telah terasa damai, daripada memasukan orang-orang perusak ke dalam keluarga kita. Tiap ku bayangkan wajah-wajah orang yang menghina bapakku dan menyebarkan fitnah itu, seperti ada semacam kemarahan yang tertahan, bahwa suatu saat akan datang waktu ketika aku atau kami memukul mereka secara telak. Aku tak berharap waktu itu kan datang sebentar lagi. terkadang, di satu sisi aku merasa muak dengan kondisi ini. tapi di sisi lain, waktu yang bergerak perlahan ini benar-benar melatih kami untuk kuat. Coba kau lihat, jika kita menatap masa depan, waktu terasa berjalan sangat lamban. Tapi jika kau tatap ke belakang, masa lalu, ah, berapa umur kita saat ini? Terasa sungguh kencang arus waktu menghanyutkan kita. Dalam waktu, aku pun menunggu. Ketika saatnya tiba, tak peduli berapa kali pun aku terjatuh hina, akan ku muliakan orangtua dan mereka yang berjuang bersamaku. Kau, apa yang kan kau pilih? Berlumur luka bersamaku, atau bersembunyi dalam gelap ketakutanmu?

Sampai ini, aku harap kita kan selalu melihat. Dalam sebuah pertempuran manusia, seringkali kemenangan tak berada di tangan kita. Aku harap, penindasan yang mereka lakukan pada kami, tak akan berbalik pada mereka. Meski kehidupan tak sebatas kalah dan menang, tapi terkadang kemenangan itu perlu. Bukan hanya tentang bebasnya kami dari penganiayaan, tetapi juga kemenangan dari setan, yang mengikuti jalan kami dari belakang. Kami akan berjuang, dan akan menang tanpa menjatuh-hinakan mereka, meski mereka menindas dan menjadikan kami hina. Jika, suatu saat kami jaya, lalu gegap gempitanya membuat kami lupa – diri, menyerang mereka yang dulu memerangi kita, setan akan bertepuk tangan gembira. Kau tahu, aku bukan orang yang dekat dengan kesenangan, terlebih lagi bersama setan.


Terakhir, ayo, kita tunjukan pada dunia – kita sendiri, suatu saat kita kan mampu seperti Yusuf. Ketika kesabarannya yang begitu tangguh, dengan cinta yang mesra menuntun orangtuanya duduk di atas singgasananya. Kau dan aku, sekuat tenaga, seumur hidup ini, harus memberi kado besar sebelum ajal memisahkan kita, dan bertemu berkumpul kembali dalam jannah. Hadiah yang kelak seperti hujan yang menyegarkan tanah gersang, dan membuktikan bahwa hinaan dan fitnah yang selama ini orang tujukan tidaklah benar. Maju saja! Jangan pernah takut akibatnya! Karena berapa kali pun kau jatuh, selama kau masih hidup kau akan terus kembali bangkit.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)