Letters for myself 3

Java Tivi
0
Barangkali itu arti isyarat mimpimu. Engkau dikelilingi persoalan yang siap menyerang. Membangun peradaban, menyebarkan pengetahuan, dan yang lebih berat dari itu, mungkin... cinta. Ssaat semua sudut menarik dirimu, maka fokuskan kesadaran pada dirimu sendiri. Kumpulkan kekuatan, lalu hadapi mereka satu per satu.

Ada siswa yang bertanya, “Pak, apa pentingnya belajar sejarah?”pertanyaan ini, sebenarnya sudah sering ku bahas. Terdengar sepele, tapi kau juga tahu, bukan, hal-hal yang terdengar sederhana seringkali membutuhkan jawaban yang cukup merepotkan. Mungkin kau tak akan kebingungan, tapi jujur, aku bingung menjawabnya. Tak bisa aku menghubungkan dengan peristiwa seputar proklamasi, karena sejarah bangsa ini tak membuat mereka tertarik mempelajarinya. Aku harus masuk ke tema-tema kehidupan mereka, belajar dari diri mereka sendiri, dari hal-hal yang mereka ingin dan senang pelajari.

“Sejarah itu apa sih menurut kalian? Jangan menurut buku, tutup buku itu, sobek juga nggak apa-apa – haha, gunakan pikiran kalian sendiri,” tanyaku pada mereka.
Serentak mereka hanya menjawab, “Masa lalu, pak,”

Aku tak bisa menyalahkan mereka, sungguh, sistem pendidikan bangsa ini masih saja memaksa generasi kita untuk menjaga kebodohannya. Bagaimana bisa kita belajar dari apa yang guru berikan? Belajar itu dari diri sendiri, bukan begitu yang kita pelajari bersama? Mana mungkin kita bisa merasakan manisnya madu dari lidah orang lain? Bagaimana bisa kita menghirup harum bunga mawar dari hidung orang lain? Belajar atas dasar pemaksaan hanya akan menghasilkan ‘kepintaran egosentris’. Menganggap diri paling pintar, menganggap diri paling benar.

Lalu aku jelaskan ‘tentang masa lalu yang penting dalam hidup mereka’ (itu yang seharusnya mereka sebut ‘sejarah’, dan wajib mereka pelajari). Aku terus terang, sebenarnya aku akan buatkan untuk mereka lembar kerja siswa (LKS) racikan ku sendiri. semua rangkuman, tugas, games, atau pilihan ganda dan esainya, berkaitan dengan kehidupan personal siswa masing-masing.

Aku contohkan – tentang ‘masa lalu yang penting’, dengan menganalogikan pacaran (menurutmu, apa yang lebih menarik dari tema itu bagi anak-anak remaja?). Lalu aku pun berceloteh sampai pada penjelasan tentang ‘teori serabut takdir’ yang aku kutip dari renunganmu sendiri.

Tiba-tiba ada siswa yang bertanya, tentang temannya yang dijodohkan oleh orangtuanya – usianya 16 tahun., dengan seorang ustadz tajir.
“Tapi, si anak nggak suka, Pak. Apa yang mesti dilakuin anak itu, Pak?”
Untuk beberapa detik, aku termenung. Kau tahu, tiba-tiba aku teringat dengan seseorang di tahun 2005 yang nyaris sama takdirnya dengan anak itu. sampai aku menulis ini, serasa ada kegelisahan yang begitu gelap mengetuk-ketuk kedamaian jiwa. Menggetarkan dada, melemahkan kekuatan raga. Kenangan itu muncul kembali ke permukaan. Tapi, untuk kisahku itu, akulah yang nampaknya menjadi ‘penghalang’. Untuknya. Saat ia telah berkata telah dijodohkan dengan seorang calon insinyur ITB, ketika pikiran sedang kacau-kacaunya, aku berkunjung ke guru mengajiku. Mengharap pencerahan, dari apa yang aku rasakan. Dan seperti biasa, beliau lagi-lagi menyejukan kesadaranku, meski dengan logika yang begitu pedih untuk aku terima. Dari rasa sakit itu, kita sesama lelaki jalanan mengerti, itu membuatku dewasa (bijak) jauh sebelum masanya.

“Orangtuanya telah membesarkan dia. Ibunya telah mengandungnya selama 9 bulan, mereka telah mendidiknya dengan penuh pengorbanan. Jika itu untuk membahagiakan ibu-bapaknya, kapan lagi ada kesempatan itu?” kata guruku.

Logis, nasuk akal, tapi kok rasanya benar-benar menyayat di dada? Di waktu itu pula pertama kalinya aku tersadar, mengerti tentang penerimaan kenyataan yang begitu menyakitkan. Bagiku, itu ‘check mate’.  Mereka dari keluarga ‘berpunya’, tak layak sama sekali denganku yang kau tahu benar bagaimana keadaan finansialku.

Terkadang ada rasa minder saat kekayaan menjadi perbandingan hidup. Tentu, aku tak berpikir mampu membantu anak itu. aku bukan ‘kelasnya’, dan yang menjadikan sebagian wanita menjauhiku, mungkin tak seperti engkau, aku tak mau menjadi kaya. Doa agar Tuhan membantuku cepat kaya tak pernah aku ucapkan. Aku hanya berdoa, agar Tuhan berkenan mencukupkanku, dan semua orang yang kelak menjadi tangungganku. Beberapa wanita berkata akan sanggup hidup sederhana, iya, aku juga percaya, tapi paling lama hanya dua tiga tahun saja. Tahun –tahun selanjutnya mereka akan menuntut, iri dan cemburu dengan keberlimpahan teman dan tetangga. Sampai saat ini, aku belum bertemu dengan wanita yang benar-benar jujur, hidup sederhana, dan memanfaatkan bakat yang diberikan Tuhan untuk melayani umat manusia. Kau jangan mengira aku tak bekerja, dan tak berpikir maju. Aku kepala sekolah, aku guru, dan jika persoalan pelik yang ku hadapi berkurang, akan ada bisnis yang akan ku jalankan.tapi, tidak aku niatkan untuk menumpuk kekayaan. Melainkan kesejahteraan orang-orang yang ada dalam penjagaanku.

Bulan kemarin aku bilang pada teman-teman, aku akan menikah akhir tahun ini. calonnya, aku ceritakan pada ibu bapakku. Ibu setuju, dan memang beliau yang ingin aku segera mengakhiri masa lajang. Tapi, bapak menjawab agak satire, “Ada calon yang lain?” banyak! Tapi aku tak bisa menjamin, dia akan sabar hidup sederhana bersamaku di rumah kecil ini, dengan kehidupanku yang agak’gila’.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)