Barangkali itu
arti isyarat mimpimu. Engkau dikelilingi persoalan yang siap menyerang. Membangun
peradaban, menyebarkan pengetahuan, dan yang lebih berat dari itu, mungkin...
cinta. Ssaat semua sudut menarik dirimu, maka fokuskan kesadaran pada dirimu
sendiri. Kumpulkan kekuatan, lalu hadapi mereka satu per satu.
Ada siswa yang bertanya, “Pak, apa pentingnya
belajar sejarah?”pertanyaan ini, sebenarnya sudah sering ku bahas. Terdengar sepele,
tapi kau juga tahu, bukan, hal-hal yang terdengar sederhana seringkali
membutuhkan jawaban yang cukup merepotkan. Mungkin kau tak akan kebingungan,
tapi jujur, aku bingung menjawabnya. Tak bisa aku menghubungkan dengan
peristiwa seputar proklamasi, karena sejarah bangsa ini tak membuat mereka
tertarik mempelajarinya. Aku harus masuk ke tema-tema kehidupan mereka, belajar
dari diri mereka sendiri, dari hal-hal yang mereka ingin dan senang pelajari.
“Sejarah itu apa sih menurut kalian? Jangan menurut
buku, tutup buku itu, sobek juga nggak apa-apa – haha, gunakan pikiran kalian
sendiri,” tanyaku pada mereka.
Serentak mereka hanya menjawab, “Masa lalu, pak,”
Aku tak bisa menyalahkan mereka, sungguh, sistem
pendidikan bangsa ini masih saja memaksa generasi kita untuk menjaga
kebodohannya. Bagaimana bisa kita belajar dari apa yang guru berikan? Belajar itu
dari diri sendiri, bukan begitu yang kita pelajari bersama? Mana mungkin kita
bisa merasakan manisnya madu dari lidah orang lain? Bagaimana bisa kita
menghirup harum bunga mawar dari hidung orang lain? Belajar atas dasar
pemaksaan hanya akan menghasilkan ‘kepintaran egosentris’. Menganggap diri
paling pintar, menganggap diri paling benar.
Lalu aku jelaskan ‘tentang masa lalu yang penting
dalam hidup mereka’ (itu yang seharusnya mereka sebut ‘sejarah’, dan wajib
mereka pelajari). Aku terus terang, sebenarnya aku akan buatkan untuk mereka
lembar kerja siswa (LKS) racikan ku sendiri. semua rangkuman, tugas, games,
atau pilihan ganda dan esainya, berkaitan dengan kehidupan personal siswa
masing-masing.
Aku contohkan – tentang ‘masa lalu yang penting’,
dengan menganalogikan pacaran (menurutmu, apa yang lebih menarik dari tema itu
bagi anak-anak remaja?). Lalu aku pun berceloteh sampai pada penjelasan tentang
‘teori serabut takdir’ yang aku kutip dari renunganmu sendiri.
Tiba-tiba ada siswa yang bertanya, tentang
temannya yang dijodohkan oleh orangtuanya – usianya 16 tahun., dengan seorang
ustadz tajir.
“Tapi, si anak nggak suka, Pak. Apa yang mesti
dilakuin anak itu, Pak?”
Untuk beberapa detik, aku termenung. Kau tahu,
tiba-tiba aku teringat dengan seseorang di tahun 2005 yang nyaris sama
takdirnya dengan anak itu. sampai aku menulis ini, serasa ada kegelisahan yang
begitu gelap mengetuk-ketuk kedamaian jiwa. Menggetarkan dada, melemahkan
kekuatan raga. Kenangan itu muncul kembali ke permukaan. Tapi, untuk kisahku
itu, akulah yang nampaknya menjadi ‘penghalang’. Untuknya. Saat ia telah
berkata telah dijodohkan dengan seorang calon insinyur ITB, ketika pikiran
sedang kacau-kacaunya, aku berkunjung ke guru mengajiku. Mengharap pencerahan,
dari apa yang aku rasakan. Dan seperti biasa, beliau lagi-lagi menyejukan
kesadaranku, meski dengan logika yang begitu pedih untuk aku terima. Dari rasa
sakit itu, kita sesama lelaki jalanan mengerti, itu membuatku dewasa (bijak)
jauh sebelum masanya.
“Orangtuanya telah membesarkan dia. Ibunya telah
mengandungnya selama 9 bulan, mereka telah mendidiknya dengan penuh
pengorbanan. Jika itu untuk membahagiakan ibu-bapaknya, kapan lagi ada
kesempatan itu?” kata guruku.
Logis, nasuk akal, tapi kok rasanya benar-benar
menyayat di dada? Di waktu itu pula pertama kalinya aku tersadar, mengerti tentang
penerimaan kenyataan yang begitu menyakitkan. Bagiku, itu ‘check mate’. Mereka dari keluarga ‘berpunya’, tak layak
sama sekali denganku yang kau tahu benar bagaimana keadaan finansialku.
Terkadang ada rasa minder saat kekayaan menjadi
perbandingan hidup. Tentu, aku tak berpikir mampu membantu anak itu. aku bukan ‘kelasnya’,
dan yang menjadikan sebagian wanita menjauhiku, mungkin tak seperti engkau, aku
tak mau menjadi kaya. Doa agar Tuhan membantuku cepat kaya tak pernah aku
ucapkan. Aku hanya berdoa, agar Tuhan berkenan mencukupkanku, dan semua orang
yang kelak menjadi tangungganku. Beberapa wanita berkata akan sanggup hidup
sederhana, iya, aku juga percaya, tapi paling lama hanya dua tiga tahun saja. Tahun
–tahun selanjutnya mereka akan menuntut, iri dan cemburu dengan keberlimpahan
teman dan tetangga. Sampai saat ini, aku belum bertemu dengan wanita yang
benar-benar jujur, hidup sederhana, dan memanfaatkan bakat yang diberikan Tuhan
untuk melayani umat manusia. Kau jangan mengira aku tak bekerja, dan tak
berpikir maju. Aku kepala sekolah, aku guru, dan jika persoalan pelik yang ku
hadapi berkurang, akan ada bisnis yang akan ku jalankan.tapi, tidak aku niatkan
untuk menumpuk kekayaan. Melainkan kesejahteraan orang-orang yang ada dalam penjagaanku.