Mengejar pemikiran Tuhan

Java Tivi
0
Ada yang mengandalkan kereta kuda, ada juga yang hanya mengandalkan kudanya, tapi aku hanya mengandalkan-Mu, Tuhan. Aku tak memiliki sesuatu pun selain Engkau untuk ku harapkan. Dari kedalaman hati, aku berteriak memanggil-Mu. Aku berteriak menangis memanggil-Mu, Tuhan._Injil_

Pagi hari itu, Jon mengawali hari dengan rasa kantuk yang berat. Permasalahan yang dihadapinya kali ini menjadikan ia agak depresi, terbangun tiba-tiba di tengah malam. Jiwa mudanya masih belum begitu matang untuk menggapai permasalahan-permasalahan pelik masyarakat. Siapa yang menyangka, Jon yang begitu ringkih diberikan amanah begitu besar.  Dulu ataupun kini, teman-temannya tetap tak bisa mengukur, seperti apa kedalaman berpikir teman uniknya ini.

Di sekolah, empat guru izin. Ia yang rencananya akan menghadiri undangan istigotsah di SMK tempat mengajarnya, nyaris batal. Dengan pertimbangan yang agak ragu, ia menitipkan satu kelas yang gurunya izin di hari itu. ia berjanji, jam sepuluh akan selesai urusannya di sana. Karena tiap Sabtu siang, ada jadwal pembinaan guru/bincang pekanan. Seorang rekan gurunya di SMK pernah bercanda, jika di SMK dia hanya seorang guru biasa, di sekolahnya itu Jon menjadi ‘atasan’, yang memberikan pembinaan. Tapi, ia menolak untuk dibedakan, atasan-bawahan, ia tipe seorang yang ‘liberal’, orang yang tak senang dengan hierarkis/tingkatan.

Sesuai janjinya, jam sepuluh istigotsah untuk kelas 12 yang akan UN itu selesai, Jon langsung meluncur ke sekolahnya. Di perjalanan, ia mengingat lagi ketika berdoa di istigotsah di sana. Bayangan tentang sekolah yang tengah di pimpinnya, siswa-siswi dari keluarga kurang mampu, tentang masyarakat yang ia temani, tentang keluarganya yang sedang ‘lemah’, juga tentang sebagian kecil masyarakat yang membenci perjuangannya.

“Apalagi yang harus aku persembahkan pada-Mu, Tuhan? Aku sudah tak punya apa-apa, tinggal tubuhku yang ringkih ini, dan itupun milik-Mu. Ke mana aku harus berlari? Ke mana aku harus berharap jika bukan pada-Mu?” rintih doa Jon dalam hati.

Dalam pembinaan, Jon bertanya apa harapan para guru pada sekolah itu. tentang keinginan yang sangat besar untuk hijrah, memiliki bangungan sendiri, itu menjadi harapan terbesar. Kedua, tentang ketiadaan konflik lagi.

Umumnya, seseorang mendapatkan, katakanlah, ujian besar, jika di masa lalu ia melakukan suatu kesalahan fatal/besar. Ambil kisah-kisah seperti Buddha, Ashoka, Ibrahim bin Adam, mereka orang-orang kaya yang telah puas dengan hidup, yang akhirnya memutuskan untuk mengabdikan diri pada umat manusia. Tapi, dosa besar atau kepuasan apa yang telah Jon lakukan di masa lalu? Mengingat dari dulu sampai sekarang ia masih menjadi pemuda kere kerempeng yang menyedihkan? Di sana kejanggalan besar dipertanyakan.

Sorenya, ada kabar dari seorang warga sekolah, bahwa orang-orang yang tak senang dengan perjuangannya sedang membuat stempel. Informasinya kurang jelas, stempel untuk apa? Jon mulai khawatir. Mengingat sebelumnya, mereka berani memalsukan tanda tangan dan stempel ketua pengurus sekolahnya. Jangan-jangan mereka akan memalsukan SK? Lalu melanjutkan ke SK penggantian kepala sekolah? Jon ketakutan, tak logis.

Sorenya, saat ia mengisi pengajian sekolah, ia benar-benar tak fokus. Ia ketakutan. Bukan karena dia akan kehilangan jabatan, Jon bukan orang tipe itu. ia ketakutan, jika ayahnya yang telah berusaha keras berjuang demi pendidikan, dihancurkan oleh orang yang tak amanah. Selain tentang ayahnya, ia juga ketakutan jika siswa dan orangtua mereka harus menanggung beban persoalan ini. benar-benar pelik masalah yang kini ia hadapi.

Menjelang maghrib, ia mengirim sms pada seorang rekan kepala sekolah senior. Ia ingin banyak bertanya, selain tentang administrasi yang semakin rumit, juga tentang permasalahan itu.
Jam delapan malam mereka janjian, bertemu di rumah rekan kepala sekolah itu. di sana Jon Curhat, betapa sulit keadaannya saat ini. tapi yang paling ingin ditanyakan adalah, tentang kemungkinan pemalsuan SK.

“Itu bisa dipidana, pak,” kata rekan kepala sekolah Jon.

“Oh gitu ya, pak?” Jon baru tahu.

“Iya,” katanya lagi. “Anda jangan takut jika itu dipalsukan, ancam saja dengan pidana, bahwa itu bukan tanda tangan dan stempel yang seharusnya. Mereka itu apa-apaan sih, dikiranya jadi kepala sekolah itu gampang ya? Mereka apa sih gelarnya? Intinya, pak, jika memang permasalahan ini ternyata semakin panas, anda ikhlaskan saja, dan daftar segera jadi PNS. Selesaikan persoalan keluarga dari sana. Bujuk ayah anda biar jangan dendam. Di dunia mungkin kita kalah, tapi di akhirat mereka akan mendapat balasnya. Tapi anda jangan berhenti berjuang, terus berpikir dan bertindak. Pendidikan itu urusan besar dan berat, jika dipegang orang yang tak mengerti, Cuma menginginkan prestise saja, bisa hancur itu sekolah,”

Jon agak tenang. Ia terpikir lagi dengan ‘hitung-hitungannya’ tentang kemungkinan yang akan terjadi setelah ia mengecoh pihak para pembenci itu. ia teringat lagi dengan Prinsip Heissenberg, prinsip ketidakpastian quantum. Apa hubungannya?


Seakan Jon bersikeras ‘mengejar pemikiran Tuhan’. Prinsip ketidakpastian quantum berasumsi begitu : semakin akurat menentukan letak posisi partikel, semakin sulit partikel itu dipastikan keberadaannya. Hubungannya dalam ‘menghitung’ banyaknya kemungkinan yang akan terjadi dengan persoalan yang Jon hadapi. Ia seakan tak mau luput dari sedikit saja informasi baru, ia seakan terus ‘mengejar pemikiran Tuhan’, akan kemana Dia mengarahkan permasalahan ini. Satu yang akhir-akhir ini ia takutkan, ia terkena Skizofrenia. Ketika pikiran mengambil alih kesadarannya. Di satu sisi, sebagai manusia ia harus menyempurnakan upaya – ikhtiar, tapi di sisi lainnya ia harus tawakal pada Tuhan. Seakan itu kontradiktif. Ia harus berpikir dan berusaha maksimal – salah satunya dengan seakan-akan ia terus ‘mengejar pemikiran Tuhan’,  tapi di sisi lainnya ia harus pasrah. Di mana letak kepasrahan harus ditempatkan, dan kapankah itu? Dan si Jon pun terus, terus, dan terus berpikir.

Bacaan selanjutnya

'Ngonjoki' Tuhan                                                                                     Tuhanku berhala  

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)