Muslihat

Java Tivi
0
Cerdas, bahkan sangat cerdas, tak akan pernah cukup. Kecerdasan dan perjuangan yang tanpa henti, pun tak cukup. Kecerdasan, perjuangan keras, dan kesabaran menanti momen, akan menjadi serangan yang mematikan bagi mereka yang menggunakan kekuasaan untuk berbuat curang.

Ada tiga persoalan besar di awal tahun itu. Keponakan perempuan Jon yang kabur bersama pacarnya, kakak laki-laki Jon yang semakin tendensius, dan bagaimana menaklukan para pembenci perjuangan ayahnya. Dua persoalan selesai, Jon membujuk sekolah yang dulu mendidiknya, agar keponakannya itu bisa dipindahkan kesana, juga persoalan dengan kakak laki-lakinya yang berakhir dilematis. Kakak Jon itu akhirnya melepaskan diri dari keterlibatannya pada sekolah dan perjuangan Jon. Di satu sisi, Jon ingin kakaknya tetap membantu dalam hal link atau jaringan orang-orang yang mampu membantu perjuangannya. Tapi di sisi lain, selain ia cenderung pamrih, Jon ingin kakaknya fokus kembali bangkit dari keterpurukannya tahun lalu. Seseorang yang terjatuh, tak mungkin memikirkan untuk menolong orang lain. Ia harus bangkit terlebih dulu, lalu kebangkitan itu akan menolong banyak orang dengan sendirinya. Dalam arti sederhana, Jon harus melanjutkan perjuangan itu sendiri.

Jon bercerita pada kakak perempuannya, ia kakak ke-3. Beliau yang masih terhitung cukup bijak, dan agaknya lebih mendengar penjelasan Jon yang logis, sistematis dan realistis, daripada penjelasan dari kakak laki-laki Jon yang ‘melangit’. Beberapa minggu lalu, Jon berkata di tengah keluarganya, bahwa ia memiliki cara – dan tak akan pernah mau kehabisan cara, untuk memukul balik orang-orang yang ingin menjatuhkan ayahnya.

“Tapi, aku minta, jika pun tak percaya pada apa yang aku lakukan, tolong jangan menghalangiku untuk menyelesaikannya. Suatu saat yang tepat, akan aku jelaskan semuanya mengapa aku ‘begini’ dan ‘begitu’. Apapun yang terjadi, akan aku tanggungjawabi sendiri,” kata Jon dengan mata lelah, ia mengerti benar apa konsekuensi terburuk dari jalan yang ia pilih.

Setelah keadaan rekonsiliasi muslihat Jon selesai, ia menjelaskan runtut apa yang akan dikerjakannya ke depan, pada ayahnya.

Ia mengerti, akan datang waktu yang menjadikan Jon dan para pembenci kembali memanas. Ia tak akan menyangkal, bahwa harinya akan datang, saat muslihat yang ia skenariokan dari awal bulan lalu terbuka kedoknya. Takut, pasti. Tak ada seorang pun yang mampu benar-benar menghilangkan rasa takut dalam dirinya. Terlebih lagi, hanya seorang pemuda yang berjuang sendirian. Orang bisa saja memberi nasehat tentang perjuangan, tentang optimisme, dan banyak hal, tapi, apakah mereka mengalami persoalan semacam yang Jon alami? Apakah, dunia sebelah mana yang sedang ia perbaiki, menenangkan sekelompok manusia primitif yang ganas, sekaligus menciptakan generasi yang lebih baik dari mereka? Tugas seperti itu tak mungkin dilakukan oleh Jon sendiri.

Ia teringat dengan ayat Tuhan, la yukalifullahu nafsan illa wuz’aha, ayat yang diartikan bahwa seseorang tak akan diberikan ujian selain kapasitasnya, ia maknakan seorang ksatria hanya dibebankan tugas yang berat. Persoalannya, sudut pandang apa yang ia pakai? Berat ringan tergantung ketinggian pikiran seseorang. Bukankah, bisa jadi tugas yang ia anggap berat itu sebenarnya tugas yang sangat remeh, dan hanya manusia remeh semacam Jon-lah yang memang pantas menerimanya?

Siang lalu, Jon mengajar di SMK. Di sekolah yang di sana ia hanya menjadi guru biasa, rasanya begitu bebas – jiwanya. Tak ada ketertekanan, bayangan ketakutan, meski honornya cukup kecil. Siapa yang akan memilih gaji besar tapi dengan resiko ketertekanan jiwa? Kebebasan, seperti kehormatan dan hal-hal tinggi lainnya, tak pernah bisa terbayarkan dengan uang. Tapi, di sekolah yang ia pimpin – oh, betapa menyedihkan takdirnya, uang tak dapat, jiwa pun bertarung antara keterikatan dan membebaskan diri.


Tapi, mungkin itu yang memang manusia seperti Jon sebenarnya butuhkan. Pertarungan, memberontak kenyamanan hidup, menikmati ketertindasan, dan ‘berjudi sampai mabuk’ dengan Tuhan. Seperti seorang kstria yang nampak putus asa karena tuannya telah tiada. Serasa tak ada lagi sesuatu yang bisa memuaskannya. Tapi, hidup harus terus berjalan. Dengan atau tanpa penilaian orang bagaimana mereka melihatnya. Ia harus terus belajar, mencerdaskan diri disertai kerendahan hati. Berjuang tanpa henti, dan membesarkan kesabaran, tenang, dalam tiap melihat momen untuk terus memperpanjang muslihatnya, sampai para pembenci itu mendapatkan apa yang memang pantas Tuhan berikan pada mereka.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)