Cerdas, bahkan sangat cerdas, tak akan pernah cukup. Kecerdasan dan
perjuangan yang tanpa henti, pun tak cukup. Kecerdasan, perjuangan keras, dan
kesabaran menanti momen, akan menjadi serangan yang mematikan bagi mereka yang
menggunakan kekuasaan untuk berbuat curang.
Ada tiga persoalan besar di awal tahun itu. Keponakan perempuan Jon yang
kabur bersama pacarnya, kakak laki-laki Jon yang semakin tendensius, dan
bagaimana menaklukan para pembenci perjuangan ayahnya. Dua persoalan selesai,
Jon membujuk sekolah yang dulu mendidiknya, agar keponakannya itu bisa
dipindahkan kesana, juga persoalan dengan kakak laki-lakinya yang berakhir
dilematis. Kakak Jon itu akhirnya melepaskan diri dari keterlibatannya pada
sekolah dan perjuangan Jon. Di satu sisi, Jon ingin kakaknya tetap membantu
dalam hal link atau jaringan orang-orang yang mampu membantu perjuangannya. Tapi
di sisi lain, selain ia cenderung pamrih, Jon ingin kakaknya fokus kembali
bangkit dari keterpurukannya tahun lalu. Seseorang yang terjatuh, tak mungkin
memikirkan untuk menolong orang lain. Ia harus bangkit terlebih dulu, lalu
kebangkitan itu akan menolong banyak orang dengan sendirinya. Dalam arti
sederhana, Jon harus melanjutkan perjuangan itu sendiri.
Jon bercerita pada kakak perempuannya, ia kakak ke-3. Beliau yang
masih terhitung cukup bijak, dan agaknya lebih mendengar penjelasan Jon yang
logis, sistematis dan realistis, daripada penjelasan dari kakak laki-laki Jon
yang ‘melangit’. Beberapa minggu lalu, Jon berkata di tengah keluarganya, bahwa
ia memiliki cara – dan tak akan pernah mau kehabisan cara, untuk memukul balik
orang-orang yang ingin menjatuhkan ayahnya.
“Tapi, aku minta, jika pun tak percaya pada apa yang aku lakukan,
tolong jangan menghalangiku untuk menyelesaikannya. Suatu saat yang tepat, akan
aku jelaskan semuanya mengapa aku ‘begini’ dan ‘begitu’. Apapun yang terjadi,
akan aku tanggungjawabi sendiri,” kata Jon dengan mata lelah, ia mengerti benar
apa konsekuensi terburuk dari jalan yang ia pilih.
Setelah keadaan rekonsiliasi muslihat Jon selesai, ia menjelaskan
runtut apa yang akan dikerjakannya ke depan, pada ayahnya.
Ia mengerti, akan datang waktu yang menjadikan Jon dan para pembenci
kembali memanas. Ia tak akan menyangkal, bahwa harinya akan datang, saat
muslihat yang ia skenariokan dari awal bulan lalu terbuka kedoknya. Takut,
pasti. Tak ada seorang pun yang mampu benar-benar menghilangkan rasa takut
dalam dirinya. Terlebih lagi, hanya seorang pemuda yang berjuang sendirian. Orang
bisa saja memberi nasehat tentang perjuangan, tentang optimisme, dan banyak
hal, tapi, apakah mereka mengalami persoalan semacam yang Jon alami? Apakah,
dunia sebelah mana yang sedang ia perbaiki, menenangkan sekelompok manusia
primitif yang ganas, sekaligus menciptakan generasi yang lebih baik dari
mereka? Tugas seperti itu tak mungkin dilakukan oleh Jon sendiri.
Ia teringat dengan ayat Tuhan, la
yukalifullahu nafsan illa wuz’aha, ayat yang diartikan bahwa seseorang tak
akan diberikan ujian selain kapasitasnya, ia maknakan seorang ksatria hanya dibebankan tugas yang berat. Persoalannya,
sudut pandang apa yang ia pakai? Berat ringan tergantung ketinggian pikiran
seseorang. Bukankah, bisa jadi tugas yang ia anggap berat itu sebenarnya tugas
yang sangat remeh, dan hanya manusia remeh semacam Jon-lah yang memang pantas
menerimanya?
Siang lalu, Jon mengajar di SMK. Di sekolah yang di sana ia hanya
menjadi guru biasa, rasanya begitu bebas – jiwanya. Tak ada ketertekanan, bayangan
ketakutan, meski honornya cukup kecil. Siapa yang akan memilih gaji besar tapi
dengan resiko ketertekanan jiwa? Kebebasan, seperti kehormatan dan hal-hal
tinggi lainnya, tak pernah bisa terbayarkan dengan uang. Tapi, di sekolah yang
ia pimpin – oh, betapa menyedihkan takdirnya, uang tak dapat, jiwa pun
bertarung antara keterikatan dan membebaskan diri.
Tapi, mungkin itu yang memang manusia seperti Jon sebenarnya butuhkan.
Pertarungan, memberontak kenyamanan hidup, menikmati ketertindasan, dan ‘berjudi
sampai mabuk’ dengan Tuhan. Seperti seorang kstria yang nampak putus asa karena
tuannya telah tiada. Serasa tak ada lagi sesuatu yang bisa memuaskannya. Tapi,
hidup harus terus berjalan. Dengan atau tanpa penilaian orang bagaimana mereka
melihatnya. Ia harus terus belajar, mencerdaskan diri disertai kerendahan hati.
Berjuang tanpa henti, dan membesarkan kesabaran, tenang, dalam tiap melihat
momen untuk terus memperpanjang muslihatnya, sampai para pembenci itu
mendapatkan apa yang memang pantas Tuhan berikan pada mereka.