Pengakuan

Java Tivi
0
Bahkan hati yang saling percaya terlupa entah di mana
Mengapa orang-orang mengejar kebahagiaan yang telah berlalu
Pejamkan matamu perlahan dan singkapkan jendela hatimu
Raih tanganku dan usaplah air matamu._Kokoro no tomo_

Malam itu aku bernostalgia lagi ke masa lalu. Menengok mereka yang dulu pernah ku cinta – personal. Satu persatu ku buka, ku baca catatan di buku itu. Aku merasa bahagia dengan tercukupinya hidup mereka. Tapi, tiba-tiba seperti ada yang tak menerima. Seperti ada bagian dari diri ini yang belum mampu menerima kenyataan hidup saat ini. Muncul, hilang, muncul, hilang, dan muncul lagi. Lalu aku memejamkan mata, aku bertanya pada jiwa dalam diri ini yang damai dalam kesunyiannya.



“Wahai Tuhan, tunjukan bagian dari diri ini yang masih merasa terluka oleh dunia,”

Apakah ada kemarahan?

Ia diam.

Apakah dendam?

Ia pun terdiam.

Apakah ada kebencian yang masih tertinggal?

Ia masih terdiam.

Tiba-tiba muncul sesosok gelap bermata api. Aku tak takut, dan menanyainya.

“Kau siapa?” tanyaku.

“Aku Iblis,” jawabnya.

“Mengapa kau ada di sini – dalam diriku? Apakah memang ini tempat persembunyianmu?”

“Karena aku adalah bagian dirimu,” jawabnya lagi. “Benar, di dalam sini, manusia tak akan menyadari bahwa aku turut mengendalikan dirinya,”

“Apakah aku sedang tersesat?” tanyaku lagi.

“Tidak untuk saat ini,” katanya. “Sesuai namaku, Iblis, ablasa – tertolak, aku adalah bagian dari diri manusia yang tertolak,”

“Mengapa aku tak tersesat?” tanyaku lagi.

“Karena ilmumu,”

“Mengapa kau tak menggunakan ilmuku untuk menyesatkanku?” tanyaku.

“Karena imanmu,”

“Bukankah kau paling mahir menggoda iman dan menipu orang berilmu?” tanyaku lagi.

“Menyatunya ilmu dan imanmu, melahirkan kasih (rahman) dan sayang (rahim) – cinta. Aku pandai menipu orang yang jatuh cinta, tapi tidak dengan ia yang merasa tak memiliki apa-apa, meski dalam hatinya bersatu tiga hal itu,”

“Jika kau lebih dekat pada Tuhan, apakah aku boleh berburuk sangka padamu, bahwa kata-katamu itu sebenarnya cara untuk menggodaku?”

“Itu sifat wara’, kau sangat berhati-hati,” katanya. “Ilmu dan imanmu, meski masih banyak yang harus kau pelajari, telah melahirkan sifat itu. Pada mereka yang wara’ aku selalu kehabisan cara,”

“Kapan kau akan berhenti menggoda manusia?”

“Ketika datang hari keterjagaan – kiamat,” jawabnya. Kiamat, dari kata ‘Qum’, bangkit, bangun, terjaga. “Seperti janjiku dulu pada Tuhan – dan Ia juga meridoi, akan aku sesatkan manusia dari sini (dalam diri manusia sendiri), semuanya, sampai ia mati dan tibalah hari keputusan. Jika dalam hidupnya ia tak mengenalku, menganggap bahwa yang biasa menyemangati hidup di dalam diri adalah dirinya sendiri – sedang sebenarnya adalah aku, maka ia akan ku bawa ke dalam nar, kegelisahan, penderitaan abadi, bersatu bersamaku. Tapi bagi ia yang belajar mengenalku, menelanjangi aku hingga aku benar-benar kesulitan mencari cara menggodanya, ia akan berjalan pada Tuhan menuju Jannah, taman kedamaian,”

“Itu yang diceritakan dalam qur’an, bahwa kau tak mampu menyentuh mereka yang ikhlas?” tanyaku.

“Benar,”

“Tapi, apakah itu termasuk keikhlasannya tergoda olehmu, karena kau diridoi Tuhan untuk menyesatkan manusia, dan manusia yang baik bukan ia yang terus menerus benar, melainkan selalu memperbaiki diri setelah salah?”

Ia terdiam.


Renunganku kembali ke permukaan. Tentang dunia, tentang kebutuhan jasad. Terlepas dari orang-orang yang melihatku tak normal, aneh, tak masuk akal, kenyataannya aku menjalani hidup biasa saja. Banyak orang mengira hidupku seperti pendeta, atau seorang sufi yang tak menikah. Tentu itu salah. Aku rasa mengapa orang-orang mengukur rata spiritualitas seseorang? Saatnya tiba, jika memang beberapa persoalan pelik telah ku redakan, aku akan memenuhi takdir itu.

Barangkali, seperti kata iblis tadi – aku memaafkan diriku tiap kali disesatkan olehnya, ilmu membuat manusia berbeda pandangan. Satu memandang menggunakan petunjuk Tuhan – dari kitab-kitab para utusan, satu golongan lagi memandang dengan bisikan iblis yang tersembunyi di balik pikiran. Nafsu menjadi kendaraan. Ia yang mengendalikannya akan menuju Tuhan. Dan ia yang menyerahkan nafsunya untuk tertunggangi iblis, akan kesulitan menemukan jalan Tuhan. 

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)