Kau kira aku tak pernah menangis lagi? Manusia mampu menutupi
kebenaran meskipun itu pahit, tapi tangisan tak selalu mampu kita tahan. Ada perasaan
yang, kita tahu itu berlebihan, tapi kita tak tahu mengapa itu membuat air mata
kita mengalir. Dalam tiap kata tulisanku, adalah air mata yang menetes tanpa
teriakan tangis yang mampu terdengar. Tak akan mampu terdengar, bahkan oleh
mereka yang sangat menikmati kata-kata itu.
Saat kuliah dulu, Jon bersama teman seperjuangannya – seperti anak
muda pada umumnya, memiliki banyak mimpi. Mereka tahu itu mimpi konyol –
mengubah tatanan dunia, tapi jika tak pernah mencobanya mereka tak akan pernah
tahu. Saat itu Jon telah menyadari, pada akhirnya ia akan terbawa oleh waktu
menuju masa yang jauh dari saat itu. Ia akan terbawa oleh waktu, menuju kondisi
yang sangat mungkin menjadikan mereka tak mampu saling bantu. Bukan tak bisa,
tapi memang keadaan sudah sangat berbeda, berubah.
Pada perjalanannya, sekelompok manusia tak selalu mampu untuk terus
bertahan dalam perjuangan yang seakan tak memiliki ujung jalan. Ia mengerti,
itu konsekuensi. Bahwa seseorang yang konsisten dalam perjuangan untuk kaum
yang lemah, akan tertinggal oleh satu persatu sahabatnya. Dan ia juga memahami, sekalipun itu pahit,
bahwa ia tak bisa selalu menghubungi sahabat-sahabatnya hanya untuk – lagi-lagi
– meminta bantuan yang sulit mereka kabulkan. Itu konsekuensi sebagai seorang
petarung, tak ada seorang petarung yang menjadi kuat jika ia selalu dilindungi
orang lain. Ia harus mengambil takdirnya sendiri, pahit atau manis, ia harus
menghadapi rasa takutnya sendiri. Dan mungkin itu yang paling menyedihkan dari
hidupnya.
Kesadarannya semakin meningkat, ketika ia mengerti, seseorang yang
terlalu lama berperang – dan ia tak menerima kenyataan dengan lapang dada, tiap
hari akan ia anggap sebagai medan pertempuran. Dunianya menjadi sangat
emosional, dan terkadang kehidupan menjadi sangat menjengkelkan, yang
menjadikannya selalu marah dan ingin bertempur dengan siapa atau apa saja yang
tak menyenangkan dalam hidupnya. Pada akhirnya, manusia harus mengerti, seperti
apapun luka yang dunia berikan, ia tak bisa menyalahkannya. Seseorang tidak
bisa menyembuhkan luka yang ia derita, dengan cara melukai orang lain. Ia harus
menerima, sesakit apapun itu, bahwa dirinya memang tak selalu kuat.
Akan selalu ada rahasia yang Jon simpan dari banyak orang. Ia tak
mudah dipahami, tak mudah disayang, dan mungkin itu yang menjadikan orang-orang
menjaga jarak. Pada akhirnya, ia hanya meminta pada orang-orang yang menganggap
mampu untuk memahami dan menyayanginya, agar mereka memahami dan menyayangi
diri mereka sendiri. Tak ada tangan yang mampu menggapai langit, karena langit
hanyalah udara khayal. Seperti tak ada yang bisa memeluk bumi, manusia selalu
terlalu kecil untuk itu. Tapi jiwa, cinta yang tulus, nampaknya selalu lebih
besar dari semua itu. seseorang yang ingin memahami Jon, ia harus memahami apa
yang sedang ia hadapi. Seseorang yang ingin menyayanginya, harus menyayangi
siapa atau apa yang disayangi olehnya. Dan itu poin yang banyak orang tak
sanggup melakukannya.
Dari luar, Jon hanya seorang anak muda pemurung yang terlihat
kesepian, dan cengeng. Tapi dari dalam, sampai saat itu nyatanya belum ada
seseorang yang mampu meraihnya, menggenggam tangannya, lalu berbisik di
telinganya : akan aku temani engkau apapun yang terjadi. Pada akhirnya, nyaris
selalu Jon yang harus melakukan itu. meraih, menggenggam cinta, dan
memberikannya pada semua yang membutuhkannya. Ada ruang kosong yang begitu
besar dalam hati Jon, yang ia abaikan, bahwa ia memiliki kebutuhan yang sangat
mendasar – cinta personal, yang ia anggap remeh. Seperti nasehat siang lalu : Manusia mampu menutupi kebenaran meskipun
itu pahit, tapi tangisan tak selalu mampu kita tahan. Ada perasaan yang, kita
tahu itu berlebihan, tapi kita tak tahu mengapa itu membuat air mata kita
mengalir.