Tentang kesabaran yang besar

Java Tivi
0
Pekerjaan ini menyelamatkan pikiranku dari kelamnya bayangan masa lalu. Masih tertinggal beberapa pertanyaan tentang ‘mengapa’, hidup yang begitu berbeda dengan orang-orang seumuranku. Setelah bulan Maret bertarung dengan para pembenci itu, bulan April ini datang aturan  administratif yang lebih ketat untuk guru-guru swasta. Pertama, bantuan honor guru swasta yang dihentikan oleh pemerintah kota. Bantuan dari pusat, kini hanya boleh 20-30% dari total yang diberikan untuk sekolah. Gila, kasian benar para guru swasta itu.

Tapi, sebagai kepala, aku tak akan mengurangi honor mereka, apapun yang terjadi. Ini tentang kesabaran yang besar. Pertama, telah ku berikan honorku untuk mereka. Kedua, operasional kepala sekolah aku tak mengambil dana dari sekolah, tapi aku gunakan  dari honor mengajarku di SMK. Terakhir, aku harus membuat laporan sesuai peraturan, tanpa mengurangi honor guru seperti bulan-bulan sebelumnya. Bagaimana caranya? Meski mungkin aku bukan orang bermental kuat, hanya orang lemah saja yang melimpahkan  beratnya persoalan pada orang lain. Entah dengan cara bagaimana, akan ku atasi permasalahan ini. aku selalu berpikir, bagaimana agar guru dan siswa berangkat dengan rasa bahagia. Hidup dengan kesadaran yang tinggi. Impian seperti ini – hidup dengan kesadaran, mungkin terdengar mustahil. Tapi, semua yang aku lakukan untuk mencapai mimpi ini. saat orang bekerja dengan kesadaran, tak perlu diperintah pun mereka akan bekerja sesuai tugasnya. Tapi tanpa kesadaran, diingatkan pun akan terus membela diri beralasan. Ini tentang seberapa besar kesabaran seorang pemimpin.

Tadi pagi, jalan sehat kepala sekolah sekecamatan. Aku jalan paling belakang, melihat badan dan bahu mereka yang besar. Aku bertanya, apakah aku kelak akan seperti mereka? Emm.. apa mereka pernah mengalami kisah muda semacam yang aku alami? Seperti roman-roman picisan di tv-tv. Yang aku perhatikan, hidup mereka begitu normal. Tak menggebu, atau terjadi friksi yang rumit tentang perang kepentingan atau  tentang cinta saat mereka muda.
Tadi malam aku mimpi berkelahi lagi. dikeroyok, seperti biasa. Babak belur, tapi masih bisa tersenyum dan berkata tak apa-apa pada orang yang bertanya. Sekitar dua bulan aku tunggu mimpi seperti ini, tak datang-datang. Mimpi bertarung aku artikan dengan konflik antara aku melawan para pembenci sekolah. Aku ‘berhitung’, kelanjutan dari bulan Maret kemarin, ada kemungkinan akan terjadi pertempuran yang lebih besar, dan ku pastikan ini terakhir. Jangan bertanya mengapa seakan aku tak lelah berurusan dengan masalah ini. mengapa seakan keras kepala mengurusi orang-orang seperti itu. ini tentang seberapa besar kesabaran. Mereka, para pembenci itu, adalah orang-orang yang sangat sabar menunggu celah yang bagus untuk memukul. Mereka juga orang-orang muda yang kompak. Mereka orang-orang muda yang keras kepala menyerang sampai aku bersama orang-orangku yang tak mau menyerang, kalah dan hancur. Barangkali ini alasan mengapa kehidupan menghadapkanku dengan mereka. Dan ini juga yang menjadi isyarat mimpiku tentang perkelahian dengan banyak orang. Apakah aku tak takut? Takut. Aku takut sekali, sungguh. Tak ada malam-malam yang aku lewati tanpa rasa takut yang besar akan hari esok. Kau akan mengerti seperti apa ketakutan seseorang yang diberikan tanggung jawab besar, ketika kau mengalaminya. Dan motivasi dari orang yang sok pintar akan terdengar basi. Tak lebih bermakna dari ocehan anak kecil yang baru belajar bicara. Rasanya seperti duduk di pojok lapangan dunia, berteman sepi, berbicara sendiri.

Dari keadaanku saat ini, terkadang dunia terlihat begitu tak berarti. Tak ada yang lebih menyenangkan selain bermain dengan pikiran sendiri. sudah menjadi kebiasaanku, sepulang sekolah aku mengurung diri di kamar – bersemedi. Tak pernah lagi aku bertanya kapan semua ini berakhir. Tak pernah lagi aku berharap, hidupku ini berjalan begitu saja tanpa benturan. Terkadang aku tengok lemari buku di kamarku, apakah mereka – buku-buku – itu sudah tak berguna lagi?Mudahnya, aku tak tahu lagi apa yang aku inginkan dalam hidup ini. dan jika hidupmu sudah tak berkeinginan, mengapa kau harus melakukan hal ‘ini’ dan ‘itu’? kesenangan tak bersumber lagi dari keterpenuhan apa yang kita inginan, melainkan kekosongan pikiran. Kedamaian jiwa yang bersih dari hasrat. Sampai ini, aku tak tahu apakah yang seperti itu masih bisa disebut hidup.

Jumat, 24 April 2015

Bacaan selanjutnya

 Anak kecil kesayangan Tuhan                                               
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)