Hari kedua jadi pengawas UN, dapat tawaran mengajar di SMK negeri.
Tahun 2016-2017 katanya akan ada pensiun PNS massal, dan apa yang aku
khawatirkan kemungkinan besar terjadi. Seseorang yang terpilih, seringkali
bertemu dengan takdirnya pada jalan yang ia hindari – pepatah. Di tahun itu,
perdebatan dengan bapak dan kakak mungkin akan terulang lagi. Mereka ingin aku
menjadi PNS, sedang aku sama sekali tak tertarik. Status itu bagiku penjara. Kurungan
yang di dalamnya memang menjaminkan kemapanan, tapi dengan konsekuensi
kebebasan yang terjual. Ada dua pilihan berat dalam takdir yang ‘kulihat’. Pertama,
tentang sekolah itu yang bisa saja menjadi awal perubahan generasi, selama aku
yang mengomandani. Tapi, berjuang untuk sekolah itu, berarti mengorbankan
kemapanan dan segala karir yang bisa mengangkat derajatku di masyarakat. Tapi jika
kesempatan itu terlewat, maka tak ada kemungkinan apa yang sebenarnya mampu aku
lakukan untuk sekolah itu, sama sekali akan hilang. Kedua, jika aku mengambil
kemungkinan menjadi ‘budak negara’ di tahun-tahun depan, itu akan mengangkat
kemiskinan dan membersihkan hutang, tapi dengan konsekuensi sebuah generasi
masa depan yang ‘terjaga’ hanya tinggal kenangan. Dalam ‘penglihatanku’, ada
kemungkinan ketiga, yaitu ketika aku mengambil opsi kedua, lalu separuh tahun
aku akan hidup dalam kemapanan yang akhirnya bosan, dan kembali menjatuhkan
diri lagi dalam perjuangan kemanusiaan – sepele – itu. ah, rumit benar cara
pikirku. Satu yang pasti, hanya orang mati yang boleh berhenti bekerja keras
dan diam. Pembelajaran yang kini sedang
aku lakukan adalah, bahwa kehidupan manusia tergantung dari pikiran dan
perasaannya. Selama dua hal itu terbawa, ia akan tetap hidup. Katanya, jiwa
orang mati akan terus mengembara selama pikiran dan perasaan selama ia hidup
belum terpuaskan. Jadi, aku belajar untuk melampaui itu. Akan kemana jiwaku
ini, jika saat hidup pun aku sudah mampu melepaskan diri dari pikiran dan
perasaanku sendiri.
Di hadapan
dunia aku tak punya apa-apa
Dunia ini
jijik melihatku
Dan aku pun
sama
Menilainya begitu
rendah
Di hadapan
Tuhan
Bahkan aku
lebih kaya dari-Nya
Aku bisa
tersenyum dan tertawa
Bercanda mesra
denganmu menghabiskan waktu senja
Tuhan
mungkin iri dari atas sana
Melihat kita
yang selalu merasa bahagia
Ia tak bisa
berbincang dengan siapa-siapa
Karena malaikat-Nya
pun tak tahu Ia di mana
Ketika Tuhan
terpenjara dalam singgasana-Nya
Di tangan-Nya
tergenggam jagad raya
Dan Ia pun
hidup untuk selamanya
Tapi tak
bisa menikmati apa-apa
Tidakkah kau
pernah bertanya
Untuk apa
memiliki segalanya
Jika kita
tak mampu menikmati
Segala sesuatu
yang kita punyai
Tapi apa
yang benar-benar manusia miliki
Kerabat dan
anak-anak akan tertinggalkan
Begitu pun
dunia yang sepenuh hati kita kejar
Lalu, akan
kemana kita selanjutnya
Sampai ini
aku tak mengerti
Apa yang
membuat Tuhan terlupakan
Sedang
segala sesuatu akan kembali
Berjalan
tunduk pada Ia yang mengawali
Mengapa kau
memutuskan kasih sayang
Mengapa kau
menomorsatukan kekayaan
Mengapa kau
menutup pikiran
Sedang Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya begitu
penyayang