Guru : Teman dan Sang Penuntun

Java Tivi
0
“Apa yang akan aku ajarkan pada mereka, guru?” tanya Jon pada gurunya.

“Apa saja yang ingin mereka pelajari,” jawab sang guru.

“Jika begitu, apakah aku harus mempelajari segala sesuatu?”

“Bukan, bukan begitu maksudku, nak,” kata sang guru lagi. “Ajarkan apa yang mereka senangi, dan pelajarilah apa saja yang memang seharusnya kau pelajari, sekalipun kau tak menginginkannya,”

“Mengapa aku harus mempelajari sesuatu yang tak aku inginkan, guru?” tanya Jon lagi.

“Itulah perbedaan engkau dengan muridmu,” sang guru menjelaskan. “Di sana kau memberikan apa yang mereka senangi, sedang di masyarakat kau mempelajari apa yang masyarakat butuhkan, meski tak kau senangi,”

“Tapi, bukankah di masyarakat sudah banyak orang pintar bergelar?” tanya Jon.

“Maka, jadilah orang bodoh, meski dalam jiwamu bersemayam ilmu. Rendah hati-lah, dan jika ada persoalan pelik, baru kau tunjukan kemampuanmu yang sebenarnya. Jaman ini telah melahirkan manusia-manusia yang merasa dirinya pintar. Meski kau telah menjadi sarjana, pura-pura-lah bodoh. Karena sekarang susah mencari orang bodoh, semua orang bodoh merasa dirinya pintar. Dan saat ada persoalan pelik, cepat-cepatlah kau selesaikan,”
***

Ada perbedaan antara sebutan ‘guru’ (sansekerta), ‘mursyid’ (arab), dan ‘empu’ (jawa). Dalam tradisi Hindu, seorang guru adalah manusia di tingkatan tertinggi. Lanjutan atau turunan dari ‘Bathara Guru’, mahadewa yang merajai dewa-dewa. Dalam tradisi Hindu, tingkatan tersebut dinamakan ‘kasta’, dan semua orang di bawah ‘kasta guru’, harus taat pada semua ajaran atau perintah sang guru. Sedikit berbeda dengan konsep Mursyid, tradisi arab yang tanpa kasta, menjadikan komunikasi antara guru dan siswa (mursyid dan murid) nyaris setara. Mereka berdialog, saling menanggapi dan menyanggah. Konsep sahabat sebenarnya lebih ‘mesra’, ketika konsep itu digunakan rasulullah untuk memanggil para pengikutnya yang setia. Sahabat, teman, tidak ada yang lebih tinggi, juga tidak ada yang lebih rendah. Konsep ‘empu’, berbeda lagi. dalam tradisi Jawa yang ‘keras’, bahkan seorang guru boleh diprotes, atau semisal tragedi yang pernah menimpa Empu Gandring, sang murid yaitu Ken Arok membunuh gurunya sendiri. Tentu, untuk contoh kasus Ken Arok tak boleh sedikitpun ditiru. Maka ada singkatan, ‘Guru’, digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani). Tak perlu bertanya, ‘Guru yang bagaimana?’ atau ‘Guru siapa?’ yang layak dipercaya dan diteladani, karena sebenarnya kita tak mencontoh orang, tapi sifat. Seperti ketika kita dibolehkan membenci, kita boleh membenci sifat, tapi tak boleh membenci orang. Bisa saja sifat yang kita benci itu ternyata kita juga diam-diam memilikinya.

Di Kultum rapat evaluasi guru yang rutin dilakukan, pernah saya jelaskan tentang dasar/sumber tindakan seseorang. Seorang guru sebaiknya paham, apa saja yang sebenarnya menjadi landasan orang-orang bertindak. Semisal tentang batang otak – otak reptil, bukan hanya binatang, manusia juga ketika merasa dirinya terancam, tak nyaman, ia akan lari menyelamatkan diri atau melawan. Bukan hanya anak-anak saja, tetapi juga orang tua/dewasa. Ketika kesadaran belum matang, orang dewasa yang disalahkan akan melawan, menyalahkan orang lain, atau mengelak lari dari tanggung jawab. Batang otak ini bisa diibaratkan dengan tingkatan ‘Kamadhatu’ dalam Candi Borobudur. Tingkatan berpikir yang masih primitif, hanya mementingkan kebutuhan dasar atau keinginan personal.

Naik ke tingkatan selanjutnya, ‘Arupadhatu’, bisa diibaratkan dengan otak kiri. Wilayah berpikir, atau mengolah pengetahuan. Sampai di otak ini saja orang banyak yang ‘tersesat’. Karena kemampuan berpikir manusia dipengaruhi oleh apa yang indera tangkap. Sedang kemampuan indera yang dimiliki manusia, cenderung terbatas dan mudah ditipu. Dalam otak manusia ada organ yang bernama ‘Limbik’. Organ otak yang disebut sebagai ‘sistem setan’, karena memproses semua perilaku buruk : benci, iri, dendam, marah, prasangka buruk, dll. Seseorang yang telah lulus dari tahapan batang otak, otak kiri dengan Limbiknya, maka akan naik ke tingkatan selanjutnya : otak kanan (Rupadhatu).

Ada yang mengatakan, rasulullah terkena skizofrenia, penyakit yang tak bisa membedakan mana kenyataan dan mana khayalan. Anggapan para orientalis ini dibuktikan dengan penelitian-penelitian ilmiah pada banyak pasien sakit jiwa. Tapi mereka mungkin tak jeli, bahwa kemampuan berpikir rasulullah yang telah melampaui batas kenormalan, mampu mencapai ‘alam lain’. Pembuktiannya terlihat ketika beliau mendapatkan wahyu. Suaranya menjadi lebih indah dari suara yang biasanya – bukan suara diri sendiri. Dan bobot tubuhnya bertambah 2-3 kali lipat. Pernah suatu saat rasulullah mendapat wahyu ketika sedang berkumpul dengan para sahabatnya. Ia terjatuh di paha sahabat yang duduk di sampingnya, dan sahabat tersebut berteriak kesakitan karena bobot rasulullah yang tiba-tiba menjadi begitu berat. Atau di kesempatan lain, saat beliau mendapatkan wahyu ketika mengendarai unta, binatang tersebut sampai terduduk setelah kakinya terpelosok masuk ke pasir.


Bukan berarti seorang guru harus mampu mencapai pemikiran seperti yang rasul Muhammad capai. Melainkan tentang keteladanan, bahwa beliau adalah guru yang paling ideal. Melewati fase ‘kamadhatu’, sampai ‘rupadhatu’, dan melampaui batas normal pemikiran manusia. Dan bukan hanya itu, ia sampaikan dengan bahasa kaumnya (ia terjemahkan bahasa langit itu), apa yang wahyu ajarkan padanya. Ia tak mengenal tingkatan, kasta, karena semua boleh belajar padanya. Ia tak memilih siapa saja yang ingin mendapat pengajaran darinya. Meski pernah ditegur lewat surah ‘Abasa, rasul menyampaikan ajaran Tuhan pada semua manusia. Ia menjadi guru sekaligus sahabat/teman yang menuntun siapa yang yang mengikutinya. Tak ada paksaan dalam ajarannya, juga tak merasa berkuasa sekalipun ia adalah seorang rasul. Ia tak memiliki gelar kependidikan, namun berilmu. Ia memiliki kesempatan untuk memperkaya diri, tapi memilih hidup sederhana. Seperti itulah seharusnya seorang guru memilih jalan hidup.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)