Keinginan (nafsu) itu rumit, sedang kebutuhan itu
sederhana. Manusia menjadikan kerumitan sebagai bagian penting dari dirinya,
ketika seseorang hidup hanya dengan memenuhi kebutuhannya yang sederhana, ia
akan teranggap sebagai orang rumit. Orang-orang akan berkata kepadanya, “Nenek
moyang kami melakukan ini (kerumitan) dari dulu. Kami melihatmu sebagai orang
aneh, orang gila,” kata-kata yang diucapkan pada para nabi dan rasul._Jon Q_
Selepas melakukan tugasnya mendoakan para
wisudawan dan wisudawati tempatnya mengajar, Jon bergegas pulang. Di tengah
perjalanan, ia mengirim sms padaku.
“Ada waktu luang?”
“Ada, sampai jam 12,” balasku, saat itu waktu
menunjukan pukul 11 kurang.
“Main ke ruangan kerjaku, ya, kita ngopi,” smsnya
lagi.
“Oke, siap,” firasatku berkata, ada hal penting
yang akan ia ceritakan padaku. Tanpa pikir panjang, akupun meluncur ke
sekolahnya.
“Kok cepat benar? Bukannya ada acara santai?”
tanyaku sesampainya di ruangan Jon.
“Iya,” jawabnya pendek. Ia diam sejenak, seakan
mengatur kata-kata agar aku mampu memahami ucapannya setelah itu. “Aku mendapat
tanda lagi,”
Aku memandanginya. Lama. Terbersit pikiran,
apakah, entah kejeniusan atau kegilaannya kambuh lagi? Dua hal itu terkadang
sulit dibedakan.
“Tanda? Tanda apa?” sudah ku duga sebelumnya.
“Aku mendapatkan pemahaman baru lagi, tentang apa
yang bisa aku hitung tentang masa
depan,”
Aku mendengarkan, mencoba memahami kalimatnya
yang berat.
“Bahwa kita akan tertolak di tempat-tempat dan
waktu-waktu yang kita inginkan, ketika kita diharuskan fokus pada apa yang
ditugaskan pada kita,” lanjut Jon. Secangkir kopi hitam terhidang di depanku.
“Ditugaskan pada kita? Tempat-tempat dan
waktu-waktu?” aku berpikir keras. Aku tahu, jika jiwa Jon diibaratkan kain, dan
hal-hal tak menyenangkan diibaratkan pisau, mungkin jiwa Jon sudah seperti kain
yang penuh dengan bekas rusak di sana sini. Mungkin itu yang menjadikannya
seringkali terlihat unik, berbeda, atau lebih tepatnya, aneh.
“Kita semua memiliki tugas hidup masing-masing. Kita
hidup karena Tuhan, sedang peruntukannya tergantung kebesaran jiwa kita,”
Seperti biasa, aku semakin tak mengerti. Aku minum
kopi di depanku, agar tak terlihat tak mengerti. Meski panas, tetap saja aku
minum. Kampret, panas benar kopi ini!!!
“Semakin besar jiwanya, semakin besar pula ruang
lingkup peruntukan hidupnya. Ia yang berjiwa kerdil, tak akan sanggup memberi
kehidupannya untuk umat manusia. Tapi kita tak bisa menyalahkan mereka, karena
kesadaran kita berbeda,” lanjut Jon.
“Sebentar, Jon, sebentar,” aku menyela, daripada
semakin tak paham dengan ucapannya. “Pertama, apa tugas masing-masing dari
kita? Kedua, apa yang kau maksud dengan tempat-tempat dan waktu-waktu yang
menolak itu? Dan ketiga, kau mendapat pemahaman ini saat berada di sana (acara
pelepasan siswanya) atau saat kau keluar dari sana?” aku menyerangnya balik
dengan beberapa pertanyaan.
“Tentang tugas kehidupan yang diberikan Tuhan,
ini tentang apa yang tak kau inginkan, tapi kau mendapat tanggung jawab itu. Semakin
kau mampu menanggung tugas itu, semakin meningkat pemahamanmu, semakin menyusut
ambisi kepemilikan terhadap dunia dari dalam dirimu,” ia membalikan
pertanyaanku. Kini, aku semakin dibuatnya berpikir keras. “Sedang tempat dan
waktu yang menolak kita, adalah saat-saat ketika kita tak bisa beranjak dari
tempat kita di sini, meski kita ingin berada di sana atau dalam waktu itu,” pertanyaan
kedua, semakin membuatku mabuk. “Aku
mendapatkannya di sana,”
“Itu mengapa kau cepat-cepat pulang?” tanyaku,
tak mau menanggapi celotehannya yang membingungkan.
“Iya,”
“Karena kau ingin menceritakan ini padaku?”
tanyaku lagi.
“Bukan,” ia meminum kopinya. “Al Inshiroh ayat
tujuh – fa idza faroghta fanshob, aku
hidup untuk melakukan tugas yang diberikan padaku. Sebelum itu selesai, aku tak
bisa beranjak kemana pun aku ingin.”
Ah! Aku agak paham dengan jawabannya kali ini.
“Tapi, bukankah justru akan terlihat aneh,
mungkin terlihat kolot, saat kau meninggalkan perayaan itu?” tanyaku lagi.
“Manusia terbiasa dibuat rumit oleh keinginannya.
Ketika seseorang hanya hidup dengan kebutuhannya yang sederhana, ia harus
mengambil konsekuensi teranggap aneh, kolot, atau apapun itu.”
“Kau tak ingin bernyanyi dan bersenang-senang di
sana?”
“Itu sudah aku puaskan saat SMA dulu. Aku sudah
sangat puas. Kini saatnya aku melemparkan diri pada kepentingan banyak orang
yang membutuhkan,” ia menatap ke jendela. Pandangannya kosong, seakan sedang
menerawang sekolahnya. “Ujian manusia pertama adalah penglihatannya. Apakah ia
melihat ayat-ayat Tuhan yang harus ia
baca. Kedua, pendengarannya, karena pikiran kita diatur untuk mengingat lebih
lama apa yang kita dengar daripada apa yang kita lihat. Terakhir, hati,
perasaan kita. Tingkatan terakhir ini hanya untuk orang-orang yang tak
terpenjara hasil penglihatan dan pendengarannya. Orang-orang yang hidup hanya
dengan memenuhi kebutuhannya, dan sedikit keinginan yang tak berlebihan. Bagaimana
mungkin mereka – orang-orang yang telah sampai pada maqamat hati, tak terlihat aneh atau gila? Kita melihat permukaan
dan buta akan kedalaman, sedang mereka melihat kedua-duanya. Dulu, Muhammad Ibn
Abdullah ingin memperlihatkan betapa cantiknya Zainab binti Jahsy, saat mereka
menikah. Keinginannya, meski terlihat tak berlebihan, menjadikan sebuah ayat tentang
hijab turun. Bahwa kebutuhan itu sederhana, sedang keinginan itu menuntut
banyak hal. Tapi, manusia memang selalu tak berdaya pada keinginan yang
menjerat jiwanya,”