Perpisahan

Java Tivi
0
Hari ke-6, Selasa 23 Juni 2015

Perpisahan akan datang, biasanya jauh sebelum kita menyadarinya – itu akan datang.

Tentang kesadaran, mata dan telinga kita selalu membatasi pemahaman. Di luar sana – kau tahu, ada kesedihan yang lebih besar dari yang kau rasakan. Seseorang tak bisa mengelak dari rasa sakit, karena rasa sakit memaksa kita untuk merasakannya. Kita hanya tak tahu lebih awal, bahwa di luar sana, di suatu tempat yang sama nyatanya dengan kehidupanmu, orang-orang tenggelam dalam kesedihan yang lebih menyakitkan. Kita tak sendiri, hanya mata dan telinga ini membatasi.

Jika Tuhan adalah dalih paling menguatkan, percayalah, Ia tak hanya memiliki satu jalan kebaikan. Tak ada yang Esa, kecuali Dia. Di tangan kita, ada kebahagiaan yang sebaiknya kita berikan untuk seseorang. Hidup sendiri, hanya dilakukan oleh Tuhan. Karena tak ada satupun yang menyamai-Nya, tak satu pun sekuat Ia. Mungkin kita memiliki cinta yang lebih tinggi. Ketika kita merelakan seseorang yang kita cinta, mencintai seseorang yang ia cintai : dan itu bukan kita. Tapi hidup ini harus terus berjalan, seperti yang aku katakan tadi, Tuhan tak hanya memberikan satu jalan. Sekali lagi, mata dan telinga kita inilah yang membatasi. Lampauilah itu.

Beberapa hari lalu, aku dikejar beberapa pekerjaan yang mendesak. Tentang sekolah, tentang pengunduran guru, hutang, komplain orangtua siswa yang tak naik kelas, juga kemungkinan aku mengundurkan diri dari tempat mengajarku di SMK. Dua guru mengundurkan diri. Salah satunya, kakak iparku sendiri, istri kakakku. Di malam sebelumnya, satu guru lain yang mengundurkan diri aku ceritakan tentang konsekuensi menjadi seorang pemimpin. Seperti ketika aku bicara pada hampir semua orang disini tentang ‘pemahaman’. Seakan aku bicara sendiri, berkata-kata pada diriku sendiri. Karena orang yang mendengarkan, mereka paham, tapi tak tahu harus menanggapi bagaimana ucapan-ucapanku itu.

“Menang itu dari pikiran kita lebih dulu,” kataku. Ia dilema, antara memilih sekolahku atau sekolah SMK tempat baru yang menerimanya. Belum lagi, ia sudah berkeluarga, memiliki bayi, sebuah toko yang tiap pagi harus disiapkan, tanpa pembantu dan orangtua. Dia sudah memiliki rumah sendiri, bersama istri dan satu bayinya.

“Betul, terkadang kita harus takut dengan apa yang akan kita lakukan, jika itu urusan pelanggaran moral. Tapi jika itu urusan mendesak tentang pilihan dua atau tiga hal yang sulit, paling tidak kita harus mengungkapkannya,”

“Aku punya kisah tentang Lebai Malang, ini kisah yang sampai saat ini aku ingat, kisah dongeng waktu aku masih SD. Ada seorang Lebai (Lebe, wakil pemerintah di masyarakat desa kecil), yang diundang di dua acara besar. Di tempat yang pertama, dia akan mendapatkan banyak jeroan daging kambing. Sedang di tempat kedua, dia akan mendapatkan banyak daging kerbau. Dia hampir sampai ke undangan daging kerbau, ketika ia berpikir ulang, ‘Eh, di undangan daging kambing aku akan mendapatkan jeroan, aku akan putar balik,’ ia pun membalik arah perahu kecilnya. Di tengah-tengah perjalanan, ia berpikir ulang lagi, ‘Di undangan daging kerbau, aku pasti dapat banyak, mengapa tak kesana saja?’ di akhir cerita, Lebai itu tak mendapatkan apa-apa. Di undangan kerbau ia terlambat, di undangan kambing pun sama,”

Apapun resikonya, kita harus memilih. Atau, kehidupan yang akan memilih kita, memutuskan apa yang seharusnya kita berani untuk menentukan takdir kita sendiri. Hidup ini tak akan tenang, jika kita terus menerus mengikuti apa yang dikatakan orang lain tentang kita. Terlebih lagi, jika kita terus menerus mengikuti apa yang dikatakan pikiran kita. Dengarkanlah kata hati kita. Bungkam suara-suara yang keluar dari pikiran kita. Sudah sewajarnya, seorang pemimpin akan mengalami rasa sakit yang lebih parah, daripada orang-orang yang dipimpinnya. Ia harus memilih, mengorbankan orang-orang yang dipimpinnya, atau mengorbankan dirinya sendiri, ketika orang-orang yang dipimpinnya begitu lamban digerakkan untuk maju. Seorang pemimpin harus memandang seperti langit yang luas membentang. Ia harus terus berhembus seperti angin yang tak mudah tertahan. Dan ia harus tetap tegak kuat, seperti langit yang tanpa tiang. Jangan memikirkan masa depan, nikmati hari ini dan persiapkan saja apa yang dibutuhkan hari esok. Masa depan urusan Tuhan, pikiran kita goyah ketika memasuki ke sana. Masa depan membuat pikiran kacau. Untuk apa kita memikirkan sesuatu yang tak kita ketahui? Itu hanya akan melelahkan jiwa.

Untuk kakak iparku sendiri, aku lebih senang ia mengajar di sana. Entah apa yang harus aku lakukan lagi, sekolah itu juga memiliki sisi gelap, salah satunya tentang hubunganku dengan kakakku sendiri, yang tak seharmonis dulu. Hidup di desa yang orang-orangnya sudah berhenti belajar tentang luasnya ilmu pengetahuan, pencerahan, membuatku kebingungan. Membiarkan diri ini menjadi seperti mereka, atau tetap tumbuh dengan konsekuensi melawan. Barangkali ia tak menyadari, aku banyak belajar darinya. Aku banyak belajar tentang rasa sakit, tentang kesepian, tentang perjuangan yang gagal. Tapi siapa yang ingin mendengarku? Doa-ku pada Tuhan pun kini aku sadar, itu hanya mengalir pada kesunyian dan membalik pada diriku sendiri. Aku seperti seorang manusia yang berjalan tertatih, jatuh-bangkit di sebuah jembatan. Ketika langkahku yang terus bergerak sampai pada pertengahan jalan, jembatan itu putus di tengah-tengah. Lalu aku melihat ke belakang, betapa indah kenangan di belakang sana. Perpaduan antara kesedihan yang menyakitkan dan kebahagiaan batin yang mendamaikan. Dan aku sadar, sambungan jembatan itu hanyalah bayangan. Sambungan jembatan di depanku hanyalah cermin, dari jembatan yang aku injak itu. Seakan aku telah sampai ujung, dan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan setelah itu. Ke mana lagi aku akan melangkah?

Ketika aku melihat kakakku berdiri, dari belakang aku membayangkan betapa berat beban yang dia hadapi saat ini. Tapi, sekali lagi, bagiku menang adalah lebih dulu dari dalam diri sendiri. Satu yang aku pegang, ketika dunia seakan menyerang kita ramai-ramai, bahwa hari ini pasti berlalu. Sepanjang apapun perjalanan hari ini, semua akan terlewati. Tak boleh menyalahkan orang lain. Tak bisa membiarkan diri lemah, juga tak boleh mengeraskan sifat.

Ada kemungkinan aku juga keluar dari tempat mengajarku di SMK. Ramadan ini, beberapa hari ini, aku mengajari anak-anak teater untuk membuat film kecil. Bagaimana mengambil gambar, ekspresi dialog, mengolah kata-kata, dan sebagainya. Jika jadi aku mengundurkan diri, paling tidak sedikit pengalamanku membuat film sudah mereka alami, meski sedikit.

Hari ini, ada orangtua siswa yang protes karena anaknya tinggal kelas. Ia ingin meminta keadilan, karena tahun kemarin ada siswa kelas dua yang mengancam tak akan sekolah kalau tinggal kelas. Dan akhirnya, dengan terpaksa aku mengganti keterangan di rapotnya. Aku tahu, ini akan seperti efek bola salju. Tapi, akan aku tanggung resikonya. Kali ini, aku tak mengizinkannya. Belum lagi, ada saja yang menganggap sekolah kami ‘bank’ baik hati yang mudah meminjamkan uang (berhutang). Ada wali murid yang ingin meminjam uang untuk pekerjaannya. Seringkali aku dilema jika harus juga memikirkan persoalan sebagian orangtua siswa. Aku kepala sekolah – di sekolah itu, bukan lurah desa. Sudah tak mengambil honor, harus mencari tambahan untuk income sekolah itu, juga ikut membantu kesusahan orangtua siswa dalam hal finansial. Barangkali mudah, jika sekolah itu, atau aku sendiri, memiliki cadangan tabungan. Keadaan masih krisis, datang hamba Tuhan meminta pertolongan.

Tapi, aku mengerti. Semua itu adalah pelajaran. Di dinding kamarku, tertulis Kesedihan ada, tapi mengapa aku harus memikirkannya? Aku berpikir ulang, bahwa apa saja yang menimpa kita, kesenangan atau kesedihan, kita membutuhkannya. Kita membutuhkan kesedihan, kegagalan, rasa sakit, selama ini aku mengira itu untuk menguatkan mental dan kesadaran hidup. Tapi, ternyata itu seperti arus sungai, yang akan membawa kita pada tujuan yang lebih besar : keikhlasan.

Sepertinya aku mulai paham, mengapa Tuhan memberiku kesempatan hampir tiap ramadan, dengan pengalaman tentang keterlepasan. Enam tahun ini, aku membagi pada tiga fase. Pertama, pelepasan diri dari ‘siapa aku’. Ketika di tahun 2011-2012 menjadi penggembala sapi, kehidupan memberiku ujian yang begitu dekat dan aku mampu untuk menjangkau, juga menyelesaikannya. Em, rasanya aku mulai tak peduli dengan imbalan. Asumsi, bahwa hari ini, selelah apapun itu pasti terlewati, aku rasa tak cukup seperti itu. Bukan hanya terlewati saja, tetapi juga tuntas, selesai. Aku menyebutnya, masa tersulit  yang mampu ku jangkau karena kedekatan jarak. Tahun 2013-2014, ini fase kedua tentang perpisahannya pemahamanku tentang diri. Fase kedua, untuk menguatkan ujian di fase pertama. Jika dulu tentang sebuah aktivitas hidup – kerja, maka di tahun itu adalah tentang pelepasan bahwa aku merasa pantas untuk seseorang. Pemahaman ini sensitif, karena aku tak sungguh-sungguh yakin, bahwa Tuhan-lah yang akan menunjukan jalan, secara langsung, ketika aku memang telah siap berumah tangga. Dan petualangan cinta di tahun-tahun yang lalu, itu sebagai pembuktianku saja, bahwa aku bukan seorang pecundang. Aku seorang petualang. Seorang petarung – melawan ketakutan diri. Fase ini ke sebut persoalan yang berjarak jauh, tapi mampu ku jangkau. Lalu semua itu bertemu dengan fase ketiga ini, semacam kesimpulan, bahwa Tuhan akan memberikan petunjuk seperti biasa ketika aku sedang menyelesaikan tugas-tugas hamba-Nya. Fase ketiga ini, aku sebut persoalan dekat yang tak mampu ku jangkau. Ada beberapa perempuan yang akan ku dekati, tapi, seperti tadi aku katakan, aku belum mampu menjangkaunya. Mungkin – ya mungkin, karena memang Tuhan belum memberikan jalan-Nya. Sedang tanganku tak sanggup ‘membuat jalan itu’, karena tanganku sedang mengerjakan ‘jalan lain’ yang lebih besar. Dalam masalah seperti ini, keikhlasan, semangat keterlepasan benar-benar diuji. Karena tak ada cara lain, mungkin, selain aku ‘menaiki’ waktu, dan biarkan waktu mengalir ke saat yang tepat – baik ataupun buruk. Apa resikonya? Berjalan dengan rasa sakit. Seperti pengibaratan jembatan putus di atas. Tapi, bagaimanapun, tiap orang tumbuh dengan rasa sakitnya masing-masing. Tiap orang berjalan dengan luka masing-masing yang ia bawa. Dan dunia, cukup mampu untuk sejenak melupakan rasa sakit dan luka itu.

Sampai saat ini, kegelisahanku bukan tentang takdir, jodoh – itu membuatku geli, tapi tentang cinta yang aku miliki. Apakah itu cinta yang benar? Aku tak memikirkan keharusan waktu untuk melepas masa lajang. Selama Tuhan belum menunjukan jalan-Nya, maka itu memang sudah sewajarnya aku mefokuskan diri pada pengabdian, dan tetap berpetualang. Di akhir petualangan itu, seperti rasa nyaman ketika terlalu lama bermain, barangkali sebentar lagi saat itu datang, ketika hati terasa berat untuk meninggalkan petualangan sendirian. Ketika jalan yang aku lalui ini, harus membawa teman. Harus membagi kebahagiaan yang berada di tanganku, untuk seseorang yang telah ditunjuk oleh Tuhan. 

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)