Hari pertama, Kamis, 18 Juni 2015
Waktu menunjukan pukul tiga sore, lebih lima puluh tiga
menit. Aku terbangun dari tidur, mendengar seorang sisiwaku melantunkan
ayat-ayat Tuhan melalui speaker mushola terdekat. Suaranya sendu, atau mungkin
perasaanku saja yang sedang merasa terpenjara dalam kesunyian. Sholat ashar aku
tunda, ada semacam perasaan melankolis yang begitu kuat. Sebelum menulis ini,
aku kira aku telah kalah sebelum bertempur. Aku ingin menulis – mungkin satu-satunya
keinginan yang masih ku miliki, tapi pikiranku kalah. Terus menahanku untuk
mengungkapkan isi pikiran dan perasaanku. Nafsu dan setan begitu kejam, mereka
membenamkan keinginan pada pikiran untuk terbang. Membuat jiwaku merasa lelah,
karena kenyataannya aku hanya mampu melangkah. Mereka menyerang sisi-sisi
terlemah dari diri ini. Tapi, aku tak kuasa melawan mereka, membunuh mereka,
karena mereka adalah bagian dari diriku sendiri.
Aku melihat mereka – nafsu dan setan, yang mengendalikan dan
bersembunyi di kedalaman jiwa. Pikiran dan perasaan menjadi kacau tak karuan,
ketika mereka mulai menggoda dengan perantara dunia. Rasa takut – kehilangan – ditanamkan
mereka di dalam pikiran dan perasaan, membuatku kembali sekerdil dulu. Aku tak
setangguh dulu, ketika dunia hanya melekat pada tubuhku, tak sampai mereka
memasuki jiwaku. Sempat aku berpikir, mengapa aku jadikan sebuah masalah
sesuatu yang bukan sebuah masalah. Tapi, apa itu ‘masalah’? Ingatanku meluncur
ke masa lalu, saat masih tenggelam dalam rasa senang masa muda. Aku baca buku
yang berhubungan dengan mata kuliah yang aku pelajari, bahwa masalah adalah ketidaksesuaian antara keinginan/harapan
dengan kenyataan. Kenyataan yang bertolak belakang dengan keinginan atau
kenyataan, itulah masalah. Ah, teksbook benar aku ini.
Tapi, bukankah hati ini telah mampu membersihkan diri dari
keinginan dan harapan, bahkan pada Tuhan? Tapi mengapa masih bisa tersakiti? Jawaban
muncul dari dalam jiwa : bahwa tanda hati seseorang masih hidup, adalah ketika
ia masih mampu merasa sakit, dan kecewa. Sekalipun telah berhenti berkeinginan
dan berharap? Pertanyaan baru pun keluar, mana yang lebih utama, tak berhasrat
dan tetap bekerja keras, atau berani menghadapi kenyataan meski tak sesuai
dengan keinginan atau harapan? Boom!!!
Sehari sebelum ramadan datang, aku terbangun di pagi hari
dengan seorang ‘teman’. Seseorang dari dalam diri, yang berkata sangat jelas :
Aku tak mau engkau menjadi buruk, aku tak mau engkau berbohong pada dirimu
lagi. Apa? Berbohong apa? Keburukan apa? Oh, baiklah, seperti ramadan-ramadan
tahun sebelumnya, kali ini pun aku memasuki pintu bulan suci itu dengan jiwa
yang sedang jatuh cinta. Bukan, bukan cinta besar seperti yang aku jalani
setiap hari. Ini tentang cinta personal, seperti ketika tahun 2010, 2011, 2012,
2013, dan 2014, yang entah mengapa tak pernah aku anggup menyelesaikan dengan ‘penyatuan’.
Lalu, pertanyaan seorang siswa remaja pun terdengar begitu ‘tajam’ : Jika kau
memang seorang pria yang jujur dan tulus mencintai, mengapa kau selalu gagal?
Boom!!!