Kau takut aku (hatimu)
tersakiti oleh dunia, atau kau memang tak berani melawan rasa takut itu?
Hari ke-13 Ramadan, Selasa 30 Juni 2015
Hari ketiga belas, nampaknya aku semakin malas. Dua atau
tiga tarawih aku lewatkan, tahajud dan duha lupa, perenungan tak menghasilkan
apa-apa. Phewh.
Minggu pagi kemarin, pagi jam 8-an ada sms dari orangtua
siswaku. Ah, ya ampun, andai aku lebih cepat tanggap. Mereka pendatang di kota
ini, asal Cilacap. Kabar sebelum penerimaan rapot, dua anaknya yang sekolah di
sekolahku itu, katanya mau pindah sekolah. Aku tak menyangka kejadiannya akan
traumatis seperti ini. Malam dini hari sebelum penerimaan rapot, mereka satu
keluarga pergi (orang menyebutnya kabur), dari kontrakannya di dekat terminal
yang hanya berdinding kardus dan kayu bambu. Orangtuanya bekerja sebagai, maaf,
tukang rongsok. Beberapa hari sebelum itu, kabarnya bapak siswaku itu ditahan
polisi, sebagai jaminan (mungkin) penipuan yang dilakukan bos pengepul barang
rongsokannya. Dan hari Minggu pagi itu, sang ibunda sms. Aku pikir, tak mungkin
beliau sms jika tak percaya pada kami. Karena di akhir kami saling berbalas
pesan, beliau bilang, “Tolong jangan bilang siapa-siapa ya, Pak. Rahasiakan nomor
ini dan di mana sekarang kami tinggal,” serasa ada yang menusuk di jiwaku. Satu
keluarga dengan banyak anak yang masih kecil, dihantui oleh bayangan ketakutan,
bukan hanya sebagai orang asing yang kelaparan, tapi juga takut tertangkap
polisi. Ya ampun, seperti kisah sinetron saja hidup kami ini.
Aku terbangun dari tiduranku waktu itu. Berpikir kapan aku
bisa main ke sana, sekedar membantu beras beberapa kilo, mungkin. Tapi,
lamunanku pecah, saat aku menyadari bulan ini aku benar-benar krisis, tak punya pegangan uang (hehe). Hati
berucap pelan, “Tuhan, apa petunjuk-Mu kali ini?” sekitar 3-5 menit, satu sms
datang dari Hongkong. Ya ampun, aku punya teman dari Hongkong. Ha-ha, bermimpi
pun aku tak bisa, memiliki teman dari luar negeri. Kampung, kota ini
benar-benar bersemangat mengerdilkan jiwa para pemudanya. Temanku ini,
berkenalan lewat Facebook. Mengikuti banyak catatan dan tulisan yang aku buat,
sampai hatinya oleh Tuhan lebih dilembutkan untuk membantu sekolahku itu.
semoga Tuhan memberikan umur panjang, kesehatan, dan jodoh (lagi) tentunya.
(hehe).
“Aku transfer nih lewat WU (Western Union) biar cepet. Ini Nomor
MTCN-nya,” sms beliau.
Aku menggelengkan kepala, tersadar dengan bersitan hati
beberapa menit sebelumnya. Ada yang bilang, hati yang bersih memiliki kecepatan
cahaya dalam terkabulnya doa. Tapi, entahlah. Memang akhir-akhir ini, rasanya
begitu mudah menghafal qur’an. Banyak ulama yang bilang, qur’an mudah
dihafalkan kalau hati kita bersih. Ahaha, hati bersih. Pe-De.
Pelajaran :
Apapun masalah yang kita hadapi, tunggulah petunjuk-Nya lebih dulu. Aku mencari
petunjuk-Nya lebih dulu. Ia memberikan petunjuk, selalu, hanya mata hati kita terbutakan dunia.
Aku punya rencana, memberikan sebagain pemberian temanku itu
untuk siswaku yang sedang dalam pelarian itu.
Sangat tak menyenangkan, hidup sebagai orang asing. Aku pernah merasakannya,
dan itu benar-benar menyesakkan. Ketika teman kita satu-satunya adalah
kesepian.
Kisah selanjutnya yang
aku alami hari-hari ini adalah tentang nasib siswa-siswaku di SMK. UU No. 36 tahun 2014 dan
keputusan dinas pendidikan kota, pertama, sekolah Farmasi akan diganti
(hilang?) dengan jurusan lain : entah apa. Kedua, kejelasan tentang sertifikat
profesi/kompetensi yang tak bisa mereka pakai untuk bekerja sebagai assisten
apoteker (seperti impian kebanyakan
mereka), karena undang-undang baru itu. Dan ketiga, ini yang paling aku sesali –
karena aku sepertinya tak bisa berbuat banyak, mereka, pihak sekolah tak
memberikan pencerahan tentang undang-undang tersebut baik pada siswa ataupun
orangtua siswa yang sudah mempercayakan anaknya dididik di sekolah itu.
Sertifikat profesi dan/kompetensi hanya bisa didapatkan setelah mereka melewati
jenjang minimal D-3. Lalu, apa solusi dari sekolah, jika, pertama, mereka
sekolah di SMK justru karena mereka berharap bisa bekerja sesuai jurusan itu
bagi mereka yang tak cukup mampu berkuliah, kedua, apakah tak merasa bersalah
membiarkan anak-anak itu tak tahu tentang nasib mereka yang dipersulit oleh
aturan baru itu, sedangkan fungsi sekolah adalah mencerdaskan anak bangsa?
Terkadang aku merasa kaku
tiap melihat sekolah-sekolah yang konyol dalam menyelenggarakan pendidikan.
Siswa sekolah bukan hanya untuk mendapat ijasah, pintar, tapi juga cerdas –
kondisi ketika siswa bisa mempertanyakan apa yang dipelajarinya. Tapi, ketika
siswa cerdas, justru menjadi sasaran pelampiasan guru. Guru senang dengan siswa
yang pintar (akademik, culun, IQ sentris), tapi tak cukup senang dengan siswa
yang cerdas, yang bisa membuat bingung para guru dengan
pertanyaan-pertanyaannya. Dan jika guru tak mampu menjawab, siswa itu justru
mendapat kemarahan guru. Melukai keberaniannya berpendapat, berpikir.
Alasan di atas, menjadi beberapa alasan yang kuat untukku mengundurkan diri tahun ini, selain alasan lain yang belum bisa aku ceritakan saat ini. Kasian mereka – anak-anakku, membayar mahal untuk suatu kebohongan. Apa petunjuk-Mu kali ini, Tuhan?
Barangkali, itu tugas hidupku. Kau, apa tugas hidupmu untuk dunia ini?