Refleksi sebulan ramadan

Java Tivi
0
Kamis, 1 Syawal 1436 Hijriyah, 16 Juli 2015

Kegagalan adalah pembelajaran paling manis. Tapi kita merasakannya saat ‘lidah hati’ kita sedang sakit. Maka rasa manis itu terasa pahit, bahkan sangat pahit. Innaha tadzkiroh, sesungguhnya itu adalah pembelajaran. Mengapa manusia harus diajari? Mengapa manusia harus diajari berkali-kali, sedang yang lain enggan mengambil pelajaran (takut gagal)? Siapakah yang beruntung, ia yang belajar berkali-kali, atau mereka yang tak diberi kesempatan belajar berulang kali?

Aku bertanya pada ibuku, “Ma, ini hari Rabu ‘kan? Besok masih ramadan sehari lagi ‘kan?” aku benar-benar tak tahu ini hari apa dan tanggal berapa. Serasa seperti habis berkunjung ke dimensi lain. (hehe)

“Rabu apaan? Ini hari Kamis, malam Jumat. Besok lebaran,”

Ya ampun!

Ramadan kali ini sungguh luar biasa dari tahun-tahun sebelumnya. Dan memang mungkin sudah seharusnya seperti itu. Karena bertambahnya usia, kita memang dituntut untuk semakin tinggi pencapaian derajat di hadapan Tuhan. Atau, tentang peningkatan kehidupan secara duniawi, selama itu tak membuat jarak antara kita dengan-Nya.

Ramadan kali ini, aku seperti seorang tawanan yang diburu para penangkap. Dikejar-kejar target, tanggung jawab, permasalahan-permasalahan banyak orang, yang sebenarnya tak yakin aku bisa menyelesaikannya – jika Tuhan tak ‘menunjukan’ diri-Nya dalam ramadan ini. sekedar untuk refleksi sebulan ramadan ini, beberapa persoalan ini akan menjadi rujukan utama suatu saat nanti aku dihadapkan dengan begitu banyak persoalan lagi :

  1. Tertolak cinta untuk kesekian kalinya (ini benar-benar memalukan!haha)
  2. Deadline hutang sekolah, yang hanya diberikan jangka waktu tiga hari (dan gue sama sekali tak punya fuluz! Gila!haha_)
  3. Dua guru mengundurkan diri, mencari guru dan membinanya lagi dari awal (ya ampun).
  4. Membagi pengalaman membuat film pendek pada siswa-siswaku di SMK.
  5. Rencana pengunduran diri dari SMK.
  6. Protes orangtua siswa yang anaknya tinggal kelas.
  7. Menolong siswa yang kena psikopath dan ibunya kena gangguan jin ( -_-‘, gue guru atau dukun seh?hehe)
  8. Orangtua siswa yang ingin meminjam uang dari sekolah (ya ampun, pa, ini sekolah, bukan koperasi -_- )
  9. Membantu orangtua siswa yang bapaknya ditahan polisi.
  10. Administrasi tahun ajaran baru, honor dan THR guru (God must be crazy, i dont have money saperak-perak acan!haha) and the last happiness is....
  11. Keluarga baru, anak dari kakak terakhir gue. Lahir ba’da ashar, Kamis ini. kita, iya, aku dan kamu, kapan mau punya bayinya??wkwk
Pertama tentang cinta. Seperti Gie* yang berkata, “Tak ada pembicaraan yang lebih puitis dari cinta dan kebenaran,” ramadan tahun ini, aku buka dengan kejatuhan cintaku untuk yang ke sekian kali. Jatuh cinta dan mengungkapkannya ibarat mendaki gunung dan menuruni sekaligus. Ada yang sekali mendaki langsung puas, dan mereka tetap di ujung gunung. Tapi, tak jarang orang harus berkali-kali mendaki dan turun untuk berkali-kali. Berkali-kali? Tidakkah melelahkan? Tentu. Bicara tentang rasa lelah, apa yang tak melelahkan dalam hidup ini? semuanya capek. Tapi, mengapa seakan aku tak menunggu saja, atau = kata sebagaian teman dekat, jangan terus kau berpura-pura tertolak, karena sebenarnya aku merekayasa kisah tentang penolakan semacam ini. mengapa? Mengapa kau tak jujur saja sih, Fa, berapa perempuan yang menunggumu di pojok-pojok pengharapan hati mereka?

Tapi, temanku, inilah kenyataannya. Ada sisi gelap – atau mungkin terang, yang aku miliki dalam hal cinta. Tentang pendakian yang belum mampu aku hentikan. Sebagian teman berkata, bukan aku yang menyesal ketika cinta itu tertolak. Tapi, terkadang cinta bukan hanya tentang penerimaan atau ketertolakan. Tapi lebih pada pencerahan hati dan pikiran tentang cinta yang sebenarnya. Seperti pendakian di atas, tiap kali aku terjatuh, turun, karena aku sama sekali tak merasa bersalah atas cintaku itu, aku mampu mendaki lagi dengan wajah penuh kebanggaan. Aku berani tetapo menunjukan wajahku, bahwa kejatuhanku tak berpengaruh apa-apa selain kekuatan jiwa yang semakin bertambah. Cinta yang tak pernah berkurang dalam hati, dan pintu yang tak pernah tertutup di depannya : hati. Nikmatilah kejatuhan tertolak, karena selama bukan engkau yang salah, kau harus menunjukan wajahmu dengan bangga untuk mendaki lagi : jatuh cinta lagi berkali-kali.

Apa saja hikmah yang ku dapatkan dari kerikil kecil di awal ramadan itu?

Aku melihat pelakunya – nafsu dan setan, yang bersembunyi di kedalaman jiwa. Mengendalikan pikiran dan perasaan dengan perantara dunia : aku melihat mereka!

Ini pembelajaran berharga bagiku. Selain tentang persepsi dalam diri yang masih saja beranggapan aku begitu istimewa – aku telah menghapus itu, juga tentang keharusan seorang berjiwa besar terjatuh karena hal kecil. mengapa? Mengapa seorang yang begitu kuat, harus kalah dengan cobaan yang sepele? Karena, terkadang saking kuatnya kita, kesadaran kita tak tahu bahwa sudah saatnya kita memelankan langkah. Ketika jiwa yang telah begitu lelah terus melangkahkan kakinya, itu akan berakibat fatal. Maka didatangkanlah kerikil kecil untuk menjatuhkannya. Dan dalam kejatuhan itu, ia akan mengumpulkan kekuatan kembali. Untuk bangkit, dan melanjutkan perjalanan dengan kekuatan yang terisi lagi.

Nafsu menjadikan candu apa saja yang dilakukan seseorang. Pikiran yang tak ditenangkan akan selalu menyesatkan, membuat jalan yang tak seharusnya ada. Dan perasaan yang tak dipahamkan hanya akan melemahkan jiwa. Pikiran akan membantu nafsu untuk selalu melawan keadaan, memberikan pembelaan, memberontak, terus bergerak ketika seharusnya kita diam sejenak. Ketika aku merenungkan ini – ah, aku memergoki jiwaku yang tak selalu mampu mengendalikan nafsu dan rasa takut. Aku tak selalu menang melawan diriku sendiri : pikiran, dkk.

Ketika pemahaman datang, bahwa seseorang yang kita cintai lebih besar sisi gelapnya daripada sisi terang yang dimiliki, pikiran cerdasku membela : Bagaimana aku bisa mencintainya dengan sepnuh hati, jika aku tak tahu sisi gelap yang ia miliki dan menerima itu sebagai bagian dari diriku? Aku mencintainya.

Pertempuran batin terus terjadi dalam jiwaku. Si antitesis melawan pikiran, “Kenyataan tak selalu seperti yang kau katakan, hei pikiran!” bahwa kenyataan tak selalu seperti apa yang kita pikirkan, yang kita takutkan. Benar, bahwa di dalam hati kita ada cinta – yang mungkin begitu besar, dan di tangan kita ada kebahagiaan yang sebaiknya kita bagikan. Tapi tak harus itu dengan seseorang yang telah menutup hatinya untuk kita. Relakanlah, seperti pembelajaran di tahun-tahun yang lalu, tiap orang dalam kebahagiaannya masing-masing. Ikhlaskan, tiap orang berada dalam kebahagiaannya masing-masing. Teruslah berjalan, teruslah mendaki dengan riang.

Ada orang-orang yang tertakdir bodoh lebih dulu. Ada orang-orang yang tertakdir berjalan begitu lambat pada awalnya. Tapi, bukan masa lalu yang menjadikan kita siapa diri kita di saat ini. Tapi, saat inilah yang menentukan, apa yang berani kita putuskan tentang diri kita, akankah tetap menjadi orang baik, atau berbalik putus asa dengan kegagalan itu, lalu menjadikan kita buruk. Tanda jatuh cinta yang benar adalah, kita menjadi semakin baik dari hari kemarin. Kita semakin tabah, tekun belajar kehidupan, mental kita semakin berani menghadapi kehidupan, hati kita semakin lembut, jiwa kita semakin kuat dengan kebijaksanaan. Sebaliknya, jatuh cinta yang salah adalah yang membuat kita semakin buruk dari hari kemarin. Kita semakin malas, berprasangka buruk, mementingkan diri sendiri, dan kualitas yang memfokuskan pada diri sendiri, bukan orang lain atau orang banyak.
Kita menciptakan sesuatu dari dalam diri kita sendiri, yang pada akhirnya kita melawannya. Kita menciptakan rasa takut, lalu kita melawannya dengan keberanian yang juga kita ciptakan sendiri. kita menciptakan kegelisahan, lalu kita melawannya dengan ketenangan yang juga kita adakan sendiri dari dalam diri. Kita menciptakan prasangka buruk, yang pada akhirnya kita lawan dengan prasangka baik yang juga kita ciptakan sendiri. Kita mengobati luka jiwa, yang kita gores sendiri melalui pikiran kita.

Kedua, tentang hutang. Aku punya sudut pandang begini, bahwa Tuhan memberi tanggung jawab berat pada seseorang bukan selalu karena seseorang itu kuat. Tetapi bisa jadi Tuhan ingin seseorang itu kuat dengan memberikan tugas tersebut – walalupun Ia tahu hamba-Nya itu lemah. Untuk apa? Mungkin, mempersiapkannya untuk masa depan yang ‘besar’. Atau jika memang masa depan yang ‘seperti itu’ tak terjadi, paling tidak akan ada kenangan. Bahwa diri yang lemah itu ternyata mampu mengemban tugas yang cukup berat, yang tak semua manusia muda mampu menyelesaikannya. Aku tak lagi menjelaskan ayat Tuhan : Dia tak memberikan masalah di luar kapasitas hamba-Nya. Itu penjelasan lama. Tafsir barunya belum aku dapatkan lagi (hehe).

Hari Rabu sebelum penerimaan rapot, aku mengirim sms random ke beberapa teman untuk berhutang sekian juta. Hanya ada satu balasan, dan itu juga meminjamkan dengan jangka waktu, karena memang bukan uang miliknya sendiri. aku tertawa – bersyukur, tak masalah bagiku. Aku senang bermain ‘taruhan’ dengan Tuhan. Selama jangka waktu itu, apakah aku bisa menutup hutang itu. yang sebenarnya, Tuhan-lah yang sedang bermain dengan diri-Nya sendiri. Ia mentakdirkan aku begitu, dan Ia juga yang menyelesaikannya. Dan benar, jangka waktu beberapa hari itu, aku mampu menepati janji, menutup hutang itu. tantu, dengan uang hutang yang lain lagi (haha). Tapi, hidup ini kan memang begitu. Kita semua berhutang, bukan Cuma dalam bentuk uang – mungkin untuk pelampiasan hasrat dunia, tetapi juga pada orangtua kita, teman kita, atau bahkan Tuhan. Karena itu kita akan diminta pertanggungjawaban atas hidup ini, masing-masing, detail. Untuk apa ‘hutang’ hidup di dunia ini kita lakukan. Surga bagi mereka yang memanfaatkan ‘hutang’ ini untuk kebermanfaatan bersama orang miskin, dan neraka untuk mereka yang lupa bahwa mereka sebenarnya hidup dari ‘berhutang’ pada Tuhan. Aku belajar dari semut ramadan kemarin. Aku bertanya pada para semut, “Bagaimana kalian bisa bekerja keras dengan terus bertasbih mensucikan Tuhanmu? Ajarkan aku, semut...” atau pada burung yang mengajarkanku keluar dari mainstream. Aku bertanya, “Mengapa kau tetap bisa bernyanyi (bebas), sedang sebenarnya kau berada dalam kurungan (penjara)?” kita ini terpenjara dunia. Tak ada yang benar-benar bisa lepas dari jerat dunia, karena jasad kita sangat membutuhkannya. Sebagian kita terlupa, berlebihan dalam berpikir, menganggap jiwa juga membutuhkan dunia. Menutupi pandangan hati, bahwa itu hanya untuk jasad, sedang jiwa membutuhkan pahala, atau cinta.

Ketiga, tentang pengunduran diri dua guru, salah satunya adalah kakak iparku sendiri. Lincoln** pernah berkata, “Jika kau ingin mengetahui watak sebenarnya seseorang, jadikanlah ia seorang pemimpin,” barangkali, memang aku yang terlalu lamban dalam bekerja. Masih begitu plin-plan dalam membuat aturan, atau mungkin masih terlalu idealis. Sampai kakak iparku memutuskan untuk mengundurkan diri, selain alasan menemani kakakku yang sedang merintis pekerjaan baru. Aku akui, aku tak bersih dari kesalahan. Yang aku sesali adalah, kita terkadang tak betah dengan dialog mencerahkan. Aku orang yang senang berdialog, menyelesaikan dengan memberikan pemahaman dari berbagai sudut pandang terlebih dahulu. Tapi, yah, barangkali aku yang memang harus menerima, bahwa kini aku hidup di suatu tempat yang tak begitu membutuhkan ilmu dan kebijaksanaan. Perubahan terjadi begitu pelan, seperti menciptakan jalan baru. Keterburu-buruan bisa berakibat fatal. Aku harus menerima guru baru, membina, dan mengkader lagi dari awal. Perpisahan saja sudah begitu berat, tapi ada yang lebih berat : memulai kembali dari awal. Untuk segala kesalahanku, aku minta maaf.

Keempat, aku ada rencana mengundurkan diri dari SMK, karena itu ramadan kemarin aku wariskan sedikit kemampuanku dalam membuat film kecil. dulu waktu kuliah, secara amatir aku menjadi sutradara sekaligus penulis skenarionya. Akting, penghayatan, pengucapan kata-kata (retorika) aku yang menunjukannya. Jadi, sebelum aku keluar, aku sudah memberikan sesuatu yang beberapa tahun ke depan mereka akan paham bahwa itu sangat berharga. Mengapa mundur? Ada tugas yang begitu besar, baik di sekolahku sendiri – yang aku harus fokus, dan di sekolah itu. Tugas besar apa di sekolah itu yang kau takut tak bisa menyelesaikannya? Emm... not the time yet. (hehe)

Kelima, protes beberapa orangtua siswa yang anaknya tinggal kelas. Aku tak peduli dengan nikmatnya menjadi guru PNS bersertifikasi yang bekerja di bawah kemampuan mereka sebenarnya. Aku tak peduli dengan segala fasilitas yang ada di sekolah-sekolah perkotaan. Aku tak peduli dengan segala perhatian orangtua siswa perkotaan yang peduli pada sekolah anak-anaknya. Tapi aku peduli pada sekolah itu, yang gedung saja belum punya, orangtua siswa sebagian besar lemah ekonomi, lemah pendidikan, mudah terprovokasi, dan dikelilingi takhayul nenek moyang mereka. Memahamkan bahwa anaknya membutuhkan perhatian di rumah saja sudah susah, apalagi memahamkan ketika anaknya memang belum mampu untuk belajar di tingkat selanjutnya. Di rumah dibiarkan, ketika tinggal kelas, mereka protes, sedang dipahamkan mereka tak akan paham – karena lemah pendidikan. Mengatasi orang-orang semacam ini, tak bisa hanya dengan kesabaran. Tapi keluar dari frame-frame manusia normal. Kesabaran yang ‘tak normal’, sampai mendekati – mungkin – maqamat (tingkatan) ikhlas, atau ‘kegilaan’.

Orangtua yang lain, ingin berhutang pada sekolah. Beralasan untuk membawa kayu potongannya untuk dijual. Dan nanti setelah dijual baru akan melunasi hutang itu. kok sampai sekolah memberi hutang? Ini pemahaman yang salah dari mereka – sebagian masyarakat sana, yang menganggap bantuan dari kakakku dulu (waktu masih menjabat kepala sekolah) sebagai bantuan dari sekolah, bukan secara pribadi. Efeknya, bola salju. Menggelinding semakin besar, menular pada orang-orang dengan pemahaman hidup yang rendah. Lebih hebatnya, si orangtua itu, setelah aku selidiki, gemar bermain judi togel (pasang nomer). Aku bilang tadi, kau tak bisa hidup dengan kesabaran normal di tempat itu.

Orangtua yang lain lagi, anaknya mengidap psikopath. Sering mengamuk di rumah, menganiaya adiknya yang masih TK, mengancam membunuh siapa saja yang mengganggu hidupnya. Katanya sih jutaan sudah keluar, mulai dari membeli ‘air berkah’ dari pada ustadz (orang pintar), memanggil ‘ustadz’ spesialis penyakit mistik, sampai di rukyah yang ternyata bukan dia yang muntah (tanda ada gangguan jin) tapi justru ibunya. Gubrak!

Aku selidiki dengan pendekatan psikologis. Aku minta si anak datang ke ruang kepala sekolah, duduk di sampingku. Aku rasakan auranya, aku genggam tangannya. Ternyata? Dia mengidap sindrom traumatis yang begitu parah. Aku tanya tentang keadaannya di sekolah sebelumnya (ia pindahan). Dan benar, di sana ia dianiaya teman-temannya, di bully, diremehkan guru, dan orangtua pun tak begitu memahami, karena memang lemah pendidikan. Tentu, dia senang menganiaya adiknya yang kecil itu, karena itu sebagai ekses pelampiasan dendam yang mengendap. Pada orangtua pun sama, dia menyalahkan total orangtua yang tidak peduli pada keadaannya di saat-saat itu (beberapa tahun yang lalu). Tiap manusiamemiliki titik jenuh dalam kesabarannya. Memiliki ‘batas tampung’ kemarahan di dalam dirinya. Dan ketika itu tak tertampung lagi, lalu tak ada yang memahaminya, seperti itulah akibat buruknya. Akhirnya, ia seperti anak tak waras yang suka kambuh gilanya (sakit jiwa). Ditambah lagi, pengobatan yang tak sesuai : pada ustadz-ustadz kolot, apalagi rukyah yang ‘salah tempat’. Para ustadz rukyah tak tahu detail, mereka hanya tahu, orang kesana untuk dirukyah, apapun permasalahannya. Dan saat dirukyah, si anak pun senyum-senyum sendiri – gak ngefek. Lebih parahnya, setelah sang ibu muntah, komentar bapaknya adalah, “Jinnya terlalu kuat, Pak!” ceritanya padaku. Aku ingin terbahak, tapi ku tahan dalam hati. Aku bilang juga, menemani masyarakat di sana harus memiliki kesabaran yang ‘tak normal’. Apakah orangtuanya bisa dipahamkan dengan penjelasan psikologis tadi? Hehehe.

Kisah terakhir lebih tragis. Sudah aku ceritakan di tulisan sebelumnya. Tentang seorang siswa yang ayahnya ditahan polisi. Ia dituduh menyembunyikan bos-nya, yang menjual bawang curian. Mereka satu keluarga adalah pendatang di kota ini. Rumahnya dari bambu dan kardus bekas. Keluarga muda, dengan tiga anak yang masih kecil-kecil. sebelum kabur dari tempat itu, karena takut dengan ancaman polisi yang akan menahannya lagi – setelah aku berkunjung ke ‘rumah’ pelariannya, seorang ibu datang ke rumahnya, marah-marah, menghina, memaki, karena anaknya digigit sampai berdarah oleh anak mereka. Dua anak itu berkelahi, si anak ibu itu digigit pinggangnya. Tak sampai menangis, karena memang mereka sedang bercanda. Tapi makian dan permintaan uang tiga ratus ribu untuk alasan pengobatan itu bagiku berlebihan. Aku belum pernah merasa marah seperti setelah diceritakan itu. kurang ajar. Jadi pemandu lagu saja merasa sok suci di depan pemulung. Brengsek.
Aku temui keluarga mereka. Tempatnya cukup jauh, sempat tersesat, dan pulang, lalu besoknya kembali ke sana lagi. Saat aku telah membulatkan tekad, maka itu harus aku lakukan. Aku bertemu mereka, sama, mereka menyiapkan rumah dari bambu lagi. aku buka puasa bersama mereka. Saat pulang, aku berikan uang titipan seorang teman dari Hongkong, 250 ribu.

Selama perjalanan mencari rumah mereka, aku berkata dalam hati, “Tuhan, ke mana pun kaki ini melangkah ke arah yang Engkau kehendaki, tersesat atau kembali pada kebenaran, kini aku tahu, hanya satu yang aku tuju : mencari-Mu. Yang aku tunggu petunjuk-Mu lebih dulu, Tuhan. Yang aku cari petunjuk-Mu lebih dulu,” perjalanan itu mendidikku, untuk terus merasa terasing, terus melewati jalan kesunyian diri. Meski wajahku selalu berpaling pada dunia, jangan lepaskan genggaman-Mu dari hatiku, Tuhan. Aku ingin selalu bersama-Mu.

Masih banyak petualangan yang aku jalani ramadan ini. salah satunya, ketika Tuhan memberiku pemahaman tentang ayat isra mi’raj, dan ayat-ayat lain yang langsung membawaku pada-Nya (entah aku tersesat atau apa). Tapi, aku tutup saja kisah ini dengan cerita baru : bertambahnya keluarga kami.

Bayi perempuan kakak terakhirku. Lahir ba’da ashar, Kamis 16 Juli 2015. 











Aku seakan tersadar kembali, bahwa usiaku memang sudah sepantasnya untuk melepas masa lajang. Dan sebentar lagi aku pun akan memutuskan. Buat kamu yang di sana, bersabarlah. Selangkah lagi perjalanan, aku akan ke rumahmu. Janji. 

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)