So you see, this world doesn’t matter to me._Secondhand
Serenade_
Manusia menjadi manusia justru ketika ia telah selesai
tugasnya di dunia ini. barangkali itu makna di balik ucapan Muhammad ibn
Abdullah, bahwa setelah mati nanti manusia akan dibangkitkan dengan rupa yang
aneh-aneh. Ada manusia berkepala kambing, ular, kerbau, tapi ada juga yang bak
bidadari, yang cahayanya mengalahkan matahari. Manusia menjadi manusia ketika
ia meninggalkan cerita yang bisa diteladani oleh orang-orang setelahnya.
Maka menjadi manusia adalah proses ‘menjadi’. Bukan nilai
final, ketika seorang bayi lahir, itulah manusia. Tapi juga kualitas diri, yang
akan menjadikan ia bisa mendapatkan maqam
‘insan kamil’, manusia terbaik. Karena setelah ‘derajat’ manusia, ada
derajat ‘muslim’, lalu mukmin, shobirin, syakirin, syakuron, muttaqin,
mukhlisin, kemudian setelah mukhlisin ia mendaki ke tingkat yang lebih tinggi. Yaitu
abdullah, hamba, pelayan, kaki dan
tangan Tuhan. Yang ketika ia berhasil melaksanakan tugasnya menjadi abdullah, ia akan mendaki lagi ke
tingkat yang tertinggi, yaitu khalifatullah
atau Wakil Tuhan di bumi. Seperti maqom yang diberikan pada ‘Adam’, seorang
manusia pertama yang mencapai peringkat khalifatullah, wakil Tuhan di bumi. Yang
ketika maqom itu ‘jatuh’ pada Adam (inisial seorang manusia itu), para malaikat
tak sepakat. Para malaikat tak mengerti, bagaimana pendakian yang menyakitkan,
yang telah diselesaikan Adam. Tapi, memang Adam yang terpilih, ia manusia,
merendah di hadapan malaikat, untuk ‘meninggi’ di hadapan Tuhan : ketika
malaikat diminta bersujud padanya. Banarlah
kata Yesus pada Matius, si pemungut pajak, “Siapa yang merendah, akan
ditinggikan. Dan siapa yang merasa tinggi, akan direndahkan,”
Tapi derajat ‘muslim’ saja sudah begitu berat. Seperti puisi
di bawah ini, tentang kepashrahan, atau ketundukan (muslim) :
Jika Engkau ingin menjadikanku matahari,
Maka aku pun akan bersinar
Tanpa takut kelak kan padam
Jika Engkau memintaku menjadi bumi,
Maka aku pun akan berputar
Tanpa rasa pusing berpikir
Jika Engkau menghendaki aku menjadi
burung,
Maka aku pun akan terbang,
Tanpa rasa takut tertembak jatuh
Jika Engkau ingin aku menjadi domba,
Maka aku pun akan mengembik
Tanpa merasa rendah dan takut leher
tertebas
Jika Engkau memintaku menjadi tikus
Maka aku akan bermain di selokan, dapur,
bangkai binatang
Tanpa rasa jijik atau takut tergilas
kendaraan
Jika Engkau menghendaki aku,
Untuk tidak menjadi apa-apa,
Maka aku pun akan menurut
Jiwaku berlutut, terikat mutlak pada-Mu
Tak mampu bergerak
Tak bisa mengelak
Tak akan berteriak
Meski menjadi manusia yang kalah telak
Lihatlah, aku akan tetap tegak
Tapi sebagian orang menganggap maqom muslim adalah suatu kebodohan, fatalisme, jabariyah. Ada beda
antara ketundukan pada Tuhan dan menyerah bertahan. Ketundukan pada Tuhan,
seperti alam, tak selalu melawan, tapi ‘mengalir’. Apapun takdir yang datang,
ia (alam) selalu senang (menerima), tanpa berhenti bergerak (berjuang). Sedangkan
menyerah bertahan, adalah kondisi tak mau melangkah lebih jauh lagi. Takut oleh
pikiran sendiri. tak mampu membedakan mana rasa sedih, dan yang mana rasa
sakit. Rasa sedih akan menghancurkan, sedangkan rasa sakit justru menguatkan,
mendewasakan. Seseorang sedih, ketika ia menjadi lebih lemah, lebih buruk dari
sebelumnya. Meski tentu, manusia tak selalu menang, tak selalu senang. Memang demikianlah
kehidupan. Rasa sakit memabukan, hampir
seperti kesedihan, jiwa merasa kacau, tapi tak butuh waktu lama untuk kembali
bangkit berjuang.
Rasanya seperti kalah
Sungguh, iya, aku merasakannya
Rasanya seperti ketika kekasih pertamaku pergi
Memilih untuk tak bersamaku lagi
Ada sebagian diri yang merasa hilang
Tersesat tak menemukan jalan
Lalu kau harus memilih antara bertahan
Atau terus melanjutkan langkahmu pelan-pelan
Apa yang membuatmu sedih, hei, orang
Bukankah memang demikianlah kehidupan
Segala sesuatu berubah
Datang bertemu dan akhirnya berpisah
Adakah kebahagiaan dalam pisahnya kemesraan
Katanya orang-orang bijak mampu menikmati derita
Seperti ketika mereka sedang bergembira
Kebahagiaan seperti apa yang ada dalam perpisahan
Tapi memang demikianlah jalan perjuangan
Sunyi sepi hanya satu dua orang
Yang mampu bertahan sampai pada tujuan
Dan seperti waktu, kau pun harus terus melaju
Jika pun orang lain tahu luka kakimu
Apa yang kau harapkan dari mereka
Membantumu melangkah atau mengangkatmu di atas tandu?
Itu hanya akan menguatkan kelemahanmu, kau harus
tahu
Hidup ini tentang seberapa kuat kau bertahan
Tak harus di jalan ini atau di sana
Karena semua telah Tuhan persiapkan
Tempat-tempat yang memang terbaik untuk setiap orang