Apa yang kita harapkan dari dunia ini? kita belajar untuk
selalu siap menderita. Selalu siap seakan ‘diadili’ oleh dunia, terfitnah,
terhina, sekalipun kita tak melanggar hukum apapun. Ini dunia yang diatur bukan
oleh kita. Dan mungkin pemahaman ini yang terkadang terasa berat kita
menerimanya._Jon Q_
Hampir di tiap bangun pagi, aku duduk termenung di atas
kasurku. Aku takut bangkit. Aku takut hari ini akan terjadi lagi hal-hal yang
menyakitkan. Hal-hal yang aku anggap sebagai ‘azab’. Pada siapa aku protes,
Mbak? Tanggung jawab sekolah itu begitu besar. Aku harus memikirkan bagaimana
membina guru agar pemahamannya terus terbuka, agar berpikir maju, agar terus
memperbaiki diri, karena aku pun begitu, tanpa menyakiti mereka. Tanpa mereka
merasa aku menggurui, merasa lebih dewasa daripada mereka. Siapa yang mau
mendengar anak muda bicara? Aku harus memikirkan anak-anak itu, fasilitas
sekolah, kesejahteraan guru, komplain orangtua siswa, membendung fitnah,
kebencian, dendam sebagian masyarakat yang entah kapan itu akan padam. Aku
takut.
Apakah pada Tuhan aku harus protes? Mengutuk dan
menghina-Nya? Apakah Ia lantas akan turun dan peduli? Siapa yang menginginkan
tanggungjawab ini, Mbak? Aku sudah berhenti menginginkan apapun pada dunia ini.
aku tak lagi tertarik pada cantiknya dunia ini. orang-orang berlomba menjadi
PNS, bisnis ini makelar itu, proposal ini proposal itu, gaji yang harus terus
meningkat, punya mobil, rumah, dan hal-hal yang tak akan membuat kita merasa
cukup. Aku tidak, mbak. Aku sudah merasa cukup hidup begini. Aku tak
menginginkan apa-apa lagi.
Tuhan yang memberikan tanggungjawab ini, tapi Ia juga yang
menumpahkan segala ujian dalam perjalanannya. Bagaimana ini? aku tinggal saja?
Agar aku menjadi seperti Yunus yang berdoa dengan sedih hati di dalam perut
ikan? Ini amanah yang harus aku pikul, Mbak. Dan ini, sungguh-sungguh berat.
Juli ini (Insya Allah) aku menikah. Mbak tahu berapa uang
pernikahanku? Tidak lebih dari lima juta. Mbak bisa bayangkan uang ‘sebesar’
itu bisa merayakan pernikahan seperti apa? Lima belas perempuan tak mau
denganku, karena aku miskin. Kenapa? Aku bisa menyalahkan sekolah itu yang
menghambat karirku. Tapi apakah penting? Seratus perempuan menolakku pun aku
akan terus berusaha. Aku takut dengan ucapan nabi kita, “Siapa yang tak
mengikuti sunahku, ia tak termasuk golonganku,” dan seorang wanita salihah
(amiin), datang tanpa aku kira sebelumnya. Ia memudahkanku meminangnya,
menikahinya.
Kita tak tahu yang terjadi pada kita itu baik atau buruk,
Mbak. Kita hanya yakin, segala apa yang ditakdirkan Tuhan pada hamba-Nya
hanyalah kebaikan, Insya Allah. Tidak ada yang sanggup menghalangi pertolongan
Tuhan ketika itu datang. Tapi jikapun Ia membiarkan kita dalam penderitaan, kita
harus yakin memang itulah kebaikan untuk kita, Mbak. Bertahannya kita dalam
penderitaan itu juga adalah pertolongan-Nya. Jangan berhenti berjuang, Mbak. Wa jahidhum jihadan kabiiro, berjuanglah
dengan semangat juang yang besar. Di sini, akupun begitu.
Selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir dan batin.
Dari keluargamu di Jawa, dari adikmu yang takan pernah
menyerah apapun yang terjadi.