Dzikir Nasional, Dzikir Internasional

Java Tivi
0

Malam tanggal kedua belas robiul awal, Jon tidur sore selepas Isya. Mungkin karena si Jon tak ikut merayakan kelahiran Sang Nabi, dalam mimpinya ia didatangi manusia paling mulia sejagat raya : Rasulullah.

Di tempat yang entah apa itu, hening, damai, berbau semerbak bunga, terdengar tasbih tanpa wujud, Jon bertemu dengan Rasulullah. Setelah salam, mungkin karena si Jon sangat suka dengan teka-teki, rasul bertanya.

“Coba kamu jawab : Hal apakah yang tak akan diperselisihkan para pewarisku? Lakukan itu istiqomah (rutin), serentak, pada waktu yang sama, di tempat mereka masing-masing, dipimpin oleh imam mereka masing-masing,”

???

Jon terbangun. Tak ada penjelasan, tak ada kunci jawaban, dan ia harus melakukan apa yang memang ia biasa lakukan : merenung.

“Coba kamu jawab : Hal apakah yang tak akan diperselisihkan para pewarisku? Lakukan itu istiqomah (rutin), serentak, pada waktu yang sama, di tempat mereka masing-masing, dipimpin oleh imam mereka masing-masing,”

Apa???

“Coba kamu jawab : Hal apakah yang tak akan diperselisihkan para pewarisku? Lakukan itu istiqomah (rutin), serentak, pada waktu yang sama, di tempat mereka masing-masing, dipimpin oleh imam mereka masing-masing,”

Lalu ketika Jon selesai sholat subuh, ia mendengar imam berdzikir tasbih – subhanallah.

Ah!

Dzikir Nasional!

Ia teringat dengan suara tasbih tanpa wujud yang mengelilinginya dan rasulullah dalam mimpi itu.
Tapi siapa aku? Harus menyebarkan mimpi ini? Harus melakukan itu?

Jon mengalami dilema besar. Ia memikirkan bagaimana caranya menyurati semua ulama se-nusantara untuk melakukan dzikir nasional, di tempat mereka masing-masing, dengan gaya dzikir mereka masing-masing, rutin seminggu atau dua minggu atau sebulan sekali, dipimpin ustadz, kyai, habaib mereka masing-masing, selama waktu yang ditentukan bersama atau lebih – semisal dua jam atau lebih, di hari atau malam yang sama.

Tapi ini gila! Siapa aku? Untuk apa?

Tapi, setelah Jon mendiskusikannya dengan sang istri, bahwa mereka siap berpuasa selama sebulan karena uang hidupnya akan digunakan untuk biaya surat dan lain-lain untuk misi gila itu, ia pun nekat. Honor sebagai guru madrasah ibtidaiyah sebulan ia pakai.

Ia mencari alamat begitu banyak ulama, yang NU, Muhammadiyah, LDII, Persis, Salafi, thoriqot-thoriqot se-nusantara, majlis ta’lim, masjid agung kota, begitu banyak sampai ia mesti lembur dengan istrinya untuk merapikan itu, memastikan alamat per alamatnya.

Ulama-ulama besar semua ia surati. Tak peduli itu sopan atau lancang, sebagai apa ia menyurati ulama dengan anjuran seperti itu?

Satu minggu, dua minggu, hati Jon yang sangat cemas menantikan kabar. Ia tak punya televisi di rumah kontrakannya, tak ada radio, tak ada internet, karena uangnya selama sebulan, jangankan beli kuota, makan saja ia minta di orangtunya selama sebulan itu. Dan ia beserta istrinya puasa.
Tanpa disadari, beberapa ulama kondang menyepakati itu. Malam Ahad, ba’da Isya, selama dua jam atau lebih, dilanjutkan ceramah, rutin dua minggu sekali.

Jon tak tahu itu. Ia hanya terus melakukan apa yang ia anjurkan itu bersama istrinya tiap setelah maghrib, lanjut isya, dan dzikir yang ia ambil dari kyai mbeling ‘guru intelektualnya’ dari Jogja sana.
Tiap dua minggu dzikir itu berjalan, seretak, tiap desa, kota, provinsi. Lalu bak virus yang begitu cepat menular, masyarakat yang awalnya enggan, malas, malu, mereka mulai bergabung ke majlis-majlis ta’lim, masjid-masjid, rumah-rumah ulama setempat yang mengerjakan itu. Jamaah thoriqot-thoriqot, jamaah pengajian yang memiliki berbagai cabang di berbagai pelosok negeri, semua mulai mengikuti.

Jon masih dalam ketidaktahuannya.

Dzikir Nasional itu merebak, menyebar, serentak, dari Indonesia barat sampai timur. Dan efeknya terus berjalan tiap bulan. Bukan hanya masyarakat umum, kaum pedagang mereka ikut mendengar dzikir masjid agung yang di-on-air-kan lewat radio, supir angkot sambil menyupir malam minggu itu diam-diam berdzikir tak mau diajak mengobrol dan radionya terus berbunyi : dzikir. Anak-anak muda mulai tertarik, mereka yang awalnya konvoi di jalan-jalan, pacaran, ke mall-mall, seakan terjadi revolusi spiritual tanpa sadar.

Efek Dzikir Nasional terus menyerang. Tidak hanya radio yang ternyata penyiarnya di jam tujuh malam sampai sembilan ikut berdzikir di tempat duduk depan micropone, kini menjalar ke wartawan-wartawan televisi peliput Dzikir Nasional yang bulan-bulan lalu mereka masih takut dipecat jika mengikutinya. Mereka tetap mengambil gambar, tapi dibiarkan, duduk bersilah, berdzikir mengikuti masjid agung yang mereka liput.

Satu semester sudah Dzikir Nasional berjalan. Sebagian pemuka agama Indonesia yang mengharapkan perubahan bangsa hampir putus asa. Karena ketiadaan perubahan yang nampak pada bangsa ini. Sebaliknya, sebagian besar ulama justru tak memikirkan itu. Mereka meniatkan benar-benar men-dzikiri tanah air Ibu Pertiwi yang tengah babak belur oleh entah siapa.

Satu tahun berjalan, dan kabar menggetarkan hati terdengar. OKI, Organisasi Islam Dunia sepakat, apa yang dilakukan Indonesia akan diikuti oleh semua pemimpin Islam di seluruh negeri se-dunia, golongan muslim kanan ataupun kiri, nasionalis ataupun separatis. Iran, Irak, Afganistan, negara-negara yang sedang konflik, entah bagaimana cara mereka melakukannya, Maroko, Libya, Aljazain, Mesir, Afrika Selatan, Arab yang katanya ‘anti dzikir’, semua mengikuti. Menjadi seperti gerak jarum jam, selama bumi berputar, di negeri-negeri seluruh bumi ini mengucap dzikir. Dan Dzikir Nasional pun menjadi Dzikir Internasional.

Muncul pertanyaan dari ulama-ulama Indonesia, siapakah yang dulu bertahun-tahun lalu mengirimi mereka surat? Lacak alamatnya!


Dan karena si Jon yang sudah kerempeng itu puasa sebulan dengan menahan kecemasan yang begitu besar, ia meninggal setelah dzikir bersama istrinya ba’da Isya.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)