Malam tanggal kedua belas robiul awal, Jon tidur sore
selepas Isya. Mungkin karena si Jon tak ikut merayakan kelahiran Sang Nabi,
dalam mimpinya ia didatangi manusia paling mulia sejagat raya : Rasulullah.
Di tempat yang entah apa itu, hening, damai, berbau semerbak
bunga, terdengar tasbih tanpa wujud, Jon bertemu dengan Rasulullah. Setelah salam,
mungkin karena si Jon sangat suka dengan teka-teki, rasul bertanya.
“Coba kamu jawab :
Hal apakah yang tak akan diperselisihkan para pewarisku? Lakukan itu istiqomah
(rutin), serentak, pada waktu yang sama, di tempat mereka masing-masing,
dipimpin oleh imam mereka masing-masing,”
???
Jon terbangun. Tak ada penjelasan, tak ada kunci jawaban,
dan ia harus melakukan apa yang memang ia biasa lakukan : merenung.
“Coba kamu jawab :
Hal apakah yang tak akan diperselisihkan para pewarisku? Lakukan itu istiqomah
(rutin), serentak, pada waktu yang sama, di tempat mereka masing-masing,
dipimpin oleh imam mereka masing-masing,”
Apa???
“Coba kamu jawab :
Hal apakah yang tak akan diperselisihkan para pewarisku? Lakukan itu istiqomah
(rutin), serentak, pada waktu yang sama, di tempat mereka masing-masing,
dipimpin oleh imam mereka masing-masing,”
Lalu ketika Jon selesai sholat subuh, ia mendengar imam
berdzikir tasbih – subhanallah.
Ah!
Dzikir Nasional!
Ia teringat dengan suara tasbih tanpa wujud yang
mengelilinginya dan rasulullah dalam mimpi itu.
Tapi siapa aku? Harus menyebarkan mimpi ini? Harus melakukan
itu?
Jon mengalami dilema besar. Ia memikirkan bagaimana caranya
menyurati semua ulama se-nusantara untuk melakukan dzikir nasional, di tempat
mereka masing-masing, dengan gaya dzikir mereka masing-masing, rutin seminggu
atau dua minggu atau sebulan sekali, dipimpin ustadz, kyai, habaib mereka
masing-masing, selama waktu yang ditentukan bersama atau lebih – semisal dua
jam atau lebih, di hari atau malam yang sama.
Tapi ini gila! Siapa aku? Untuk apa?
Tapi, setelah Jon mendiskusikannya dengan sang istri, bahwa
mereka siap berpuasa selama sebulan karena uang hidupnya akan digunakan untuk
biaya surat dan lain-lain untuk misi gila itu, ia pun nekat. Honor sebagai guru
madrasah ibtidaiyah sebulan ia pakai.
Ia mencari alamat begitu banyak ulama, yang NU,
Muhammadiyah, LDII, Persis, Salafi, thoriqot-thoriqot se-nusantara, majlis ta’lim,
masjid agung kota, begitu banyak sampai ia mesti lembur dengan istrinya untuk merapikan
itu, memastikan alamat per alamatnya.
Ulama-ulama besar semua ia surati. Tak peduli itu sopan atau
lancang, sebagai apa ia menyurati ulama dengan anjuran seperti itu?
Satu minggu, dua minggu, hati Jon yang sangat cemas
menantikan kabar. Ia tak punya televisi di rumah kontrakannya, tak ada radio,
tak ada internet, karena uangnya selama sebulan, jangankan beli kuota, makan
saja ia minta di orangtunya selama sebulan itu. Dan ia beserta istrinya puasa.
Tanpa disadari, beberapa ulama kondang menyepakati itu.
Malam Ahad, ba’da Isya, selama dua jam atau lebih, dilanjutkan ceramah, rutin
dua minggu sekali.
Jon tak tahu itu. Ia hanya terus melakukan apa yang ia
anjurkan itu bersama istrinya tiap setelah maghrib, lanjut isya, dan dzikir
yang ia ambil dari kyai mbeling ‘guru
intelektualnya’ dari Jogja sana.
Tiap dua minggu dzikir itu berjalan, seretak, tiap desa,
kota, provinsi. Lalu bak virus yang begitu cepat menular, masyarakat yang
awalnya enggan, malas, malu, mereka mulai bergabung ke majlis-majlis ta’lim,
masjid-masjid, rumah-rumah ulama setempat yang mengerjakan itu. Jamaah
thoriqot-thoriqot, jamaah pengajian yang memiliki berbagai cabang di berbagai
pelosok negeri, semua mulai mengikuti.
Jon masih dalam ketidaktahuannya.
Dzikir Nasional itu merebak, menyebar, serentak, dari Indonesia
barat sampai timur. Dan efeknya terus berjalan tiap bulan. Bukan hanya masyarakat
umum, kaum pedagang mereka ikut mendengar dzikir masjid agung yang
di-on-air-kan lewat radio, supir angkot sambil menyupir malam minggu itu
diam-diam berdzikir tak mau diajak mengobrol dan radionya terus berbunyi :
dzikir. Anak-anak muda mulai tertarik, mereka yang awalnya konvoi di
jalan-jalan, pacaran, ke mall-mall, seakan terjadi revolusi spiritual tanpa
sadar.
Efek Dzikir Nasional terus menyerang. Tidak hanya radio yang
ternyata penyiarnya di jam tujuh malam sampai sembilan ikut berdzikir di tempat
duduk depan micropone, kini menjalar ke wartawan-wartawan televisi peliput
Dzikir Nasional yang bulan-bulan lalu mereka masih takut dipecat jika
mengikutinya. Mereka tetap mengambil gambar, tapi dibiarkan, duduk bersilah,
berdzikir mengikuti masjid agung yang mereka liput.
Satu semester sudah Dzikir Nasional berjalan. Sebagian pemuka
agama Indonesia yang mengharapkan perubahan bangsa hampir putus asa. Karena ketiadaan
perubahan yang nampak pada bangsa ini. Sebaliknya, sebagian besar ulama justru
tak memikirkan itu. Mereka meniatkan benar-benar men-dzikiri tanah air Ibu Pertiwi yang tengah babak belur oleh
entah siapa.
Satu tahun berjalan, dan kabar menggetarkan hati terdengar.
OKI, Organisasi Islam Dunia sepakat, apa yang dilakukan Indonesia akan diikuti
oleh semua pemimpin Islam di seluruh negeri se-dunia, golongan muslim kanan
ataupun kiri, nasionalis ataupun separatis. Iran, Irak, Afganistan,
negara-negara yang sedang konflik, entah bagaimana cara mereka melakukannya,
Maroko, Libya, Aljazain, Mesir, Afrika Selatan, Arab yang katanya ‘anti dzikir’,
semua mengikuti. Menjadi seperti gerak jarum jam, selama bumi berputar, di
negeri-negeri seluruh bumi ini mengucap dzikir. Dan Dzikir Nasional pun menjadi
Dzikir Internasional.
Muncul pertanyaan dari ulama-ulama Indonesia, siapakah yang
dulu bertahun-tahun lalu mengirimi mereka surat? Lacak alamatnya!
Dan karena si Jon yang sudah kerempeng itu puasa sebulan
dengan menahan kecemasan yang begitu besar, ia meninggal setelah dzikir bersama
istrinya ba’da Isya.