Ketika Adam digoda
oleh ‘dirinya yang sebelah kiri’ (setan) yang ada di dalam dirinya, kondisi
jiwa yang damai/tenang miliknya terganggu. Setan menghembuskan keinginan, dan
keinginan menuntut pengorbanan, lalu akibat dari perjuangan atas dasar keinginan
itu, ia akan senang ketika keinginannya terwujud, dan sedih / kecewa ketika
gagal. Kesenangan dan kesedihan muncul sebagai resiko dari jiwa yang
berkeinginan. Jika manusia hidup dan berjuang tanpa keinginan apakah (bisa?)
kesedihan dan kesenangan tak akan dirasakannya lagi?
Pagi jam 2 kakak perempuan Jon yang paling mengerti dia,
mengirim sms. Jam 2 pagi, seorang guru PNS belum tidur? Atau sudah bangun untuk
sholat malam? Beliau perempuan.
Tanpa menunggu lama, Jon membalas sms itu. Dan yang di luar
dugaan, Jon Curhat tentang kondisi dirinya saat ini.
“Aku kena gejala depresi, Mbak...” tulis Jon lewat pesan
pendek. “Tidurku tak tenang, tidur-terjaga-tidur lagi-bangun lagi-tidur lagi-terjaga
lagi,”
“Sekolah mau akreditasi, butuh dana banyak sekali. Juga ujian
kelulusan kelas 6, dan penerimaan siswa baru, yang untuk menarik minat
masyarakat, kita menggratiskan satu stel seragam olahraga. Aku dapat uang
darimana, Mbak? Istriku lagi hamil, dia masih kuliah, butuh biaya sehari-hari,
uang semesteran dan kontrakan yang secara matematika normal aku tak bisa
memenuhinya. Tenaga dan pikiranku habis untuk sekolah itu dan mengajar di SMK.
Sekolah butuh gedung yang layak, Mbak,” cerita Jon mengalir seperti orang
depresi sungguhan.
“Kakak (laki-laki) kemarin bilang, tak mau menjadi kepala
sekolah itu menggantikanku, karena memang kondisinya sangat rumit. Kita punya
banyak tanah wakaf, tapi tak ada tanda-tanda kita akan mengadakan pembangunan
di sana. Sedangkan tempat yang sekarang, itu terisolasi, orang-orangnya kurang
peka pendidikan, dan karena latar belakang bapak sebagai ketua yayasan yang
dulu sok kaya, mereka seringkali protes ketika diadakan pembiayaan sekolah
untuk anak mereka sendiri. Dari bapak sebagai ketua yayasan tak ada bantuan
apapun, bahkan seringkali tagihan hutang dadakan yang jumlahnya tak sedikit
harus mengambil tabungan sekolah yang memang sudah krisis. Aku (pikirannya)
buntu, Mbak,”
“Solusinya adalah bapak sebaiknya segera menjual tanah yang
sudah empat tahun ditawarkan di dekat laut jawa sana. Bukan untuk kita,
anak-anaknya. Tapi untuk sekolah itu. Masyarakat selalu memandang sebelah mata
dengan sekolah kita, karena bangunannya seperti itu. Sekolah nggak boleh
statis, harus terus maju. Dan sistem harus terus diperbaiki agar guru-guru tak
seenaknya berangkat dan pulang. Aku bisa mundur dari SMK, Mbak. Tapi siapa yang
bisa menggajiku sebesar gaji dari SMK? Kalau aku fokus di sekolah itu, aku akan
menyiksa anak dan istriku karena tenaga dan pikiranku habis untuk membangun
sekolah itu, tapi penghasilanku tak ada jaminan. Kalau aku mengundurkan diri
dan mengembalikan tanggung jawab yang memang aku tak pernan menginginkannya itu
ke bapak, sekolah itu akan hancur, kemungkinan besarnya itu. Siapa yang mau
dibebani seberat itu? Tidak digaji, masyarakat meneror, finansial krisis,”
“Bapak keras kepala sekali tak mau menjual tanah itu dengan
harga yang normal. Sedang kita semua sebenarnya sangat membutuhkannya. Kakak (laki-laki)
dibebani hutang tiga Bank, Mbak sendiri hutang di koperasi PNS, kakak pertama
ingin bikin rumah, kakak yang di papua setelah lebaran akan pulang dan harus
ada rumah, dan aku butuh bukan buat diriku sendiri, tapi buat sekolah itu. Kalupun
bapak ingin aku mundur setelah sekolah itu punya bangunan permanen sendiri,
Insya Allah tanpa berat sedikitpun akan aku berikan. Dari awal aku tak
menginginkan apa-apa dari keluarga ini. Aku pengalaman jadi pemulung, tukang
angon sapi, tukang becak, kenapa mesti takut kalau pada akhirnya aku tak jadi
kepala sekolah lagi? Bapak nggak mau jual, tapi kalau butuh uang mintanya ke
aku, dan ambil uang sekolah dengan alasan pinjam yang sebenarnya aku yang
melunasi itu. Ya ampun,”
“Aku ingin ngobrol sama bapak bahas ini, Mbak, tapi aku
takut bapak nantinya sakit dan aku durhaka. Karena memang memikirkan ruwet-nya
pendidikan sekolah sekaligus masyarakat itu bukan kapasitasnya. Aku tahu kenapa
aku yang dibebani itu di keluarga ini karena hanya aku yang mampu memikirkan
kerumitan super dahsyat itu. Tapi aku ada batasnya, Mbak. Aku tak mungkin
mengorbankan istri dan anakku seperti bapak yang dulu capek-capek membangun
desa itu dengan mengambil hak-hak ibu dan kita, yang pada akhirnya masyarakat
yang dibelanya habis-habisan itu ‘menendang’ bapak dan memfitnah habis-habisan.
Aku belajar di jurusan sejarah, mana mungkin aku tak belajar dari sejarah
bapakku sendiri?”
Dialog lewat pesan pendek itu berlangsung hingga hampir
subuh. Bahkan, kakak Jon yang sudah terbiasa diskusi dengannya pun tak kuat
meski hanya berbincang 1-1,5 jam. Dan memang sampai saat ini ia salah satu
pemuda yang mengalami kesepian tingkat tinggi. Tak ada yang mau (dan mampu)
mengertinya, dan tak ada yang bisa mengikuti perbincangan rumitnya masalah yang
sedang ia hadapi. Itu kenapa ia lebih banyak diam. Terlihat di mata orang tak
banyak bicara. Tenang. Kalem. Sedang sebenarnya badai besar sedang berlangsung
di kepalanya.
“Aku sudah tak menginginkan apa-apa lagi di dunia ini, Mbak,”
kata Jon dalam suatu diskusi dulu. “Aku bisa bekerja keras, berjuang, tapi
melakukan itu semua tanpa keinginan,”
“Tapi mana mungkin manusia bisa seperti itu, Jon?” sanggah
kakaknya. “Itu seperti manusia mati,”
“Aku tak tahu mana yang benar, Mbak. Tetap menjaga
keinginan, atau melepaskannya tapi tetap mampu bekerja keras seperti biasa. Aku
hanya.................. merasa dengan pengalaman batin seperti ini aku tak lagi
merasakan kesedihan, kekecewaan, marah, dendam, benci dan sifat negatif
lainnya. Aku tak bisa merasakan senang dan sedih lagi, tapi hatiku damai. Entah
apa yang terjadi dengan jiwaku ini. Mungkin aku Dajjal.”