Yang ingin punya istri dan anak, coba ini!

Java Tivi
0
Sabtu, 07 Oktober 2017

Di ruang kantor.
Allah berkata : Anni inda dzonni abdi 
(Aku seperti prasangka {apa yang dipikirkan} hamba-Ku)

Sholat duhur di masjid al izzah Kaligangsa sepulang kondangan. Di sebelah utara ada seorang jamaah yang sedang (sepertinya) berdzikir dengan memegang buku kecil. Suaranya meraung-raung, seperti sedang berpidato bahasa arab. Aku jadi Baper. Sedang dalam persoalan besar apakah jamaah itu? Semangat sekali bermesraan dengan Tuhannya. Sama, aku juga sedang dalam permohonan besar pada Tuhan. Tapi mengapa aku tak sesemangat itu dalam berdoa?

Teringat dengan salah satu nasehat  : Setiap manusia memiliki paket ujian hidup masing-masing. Jangan pernah membenci siapapun, bisa saja orang yang sedang kita benci itu sedang diuji persoalan besar dalam hidupnya. Biarkan kebencian ada di dunia ini, tapi jangan pernah mengizinkannya memasuki hatimu. Karena di sana, sudah dan hanya boleh dimasuki cinta.

Sesekali dalam waktu luang, aku kembali membuka-buka tulisan-tulisan lama. Tulisan yang ku buat sendiri ketika masih dalam tekanan besar, tekanan oleh pikiran sendiri. Bahwa masa depan memang misteri. Masa depan memang bukan wilayah kita saat ini. Percaya bahwa Tuhan akan memberi jalan, tapi kita takut apakah jalan yang sedang kita lalui ini adalah jalan yang benar? Kita nampaknya lebih takut dengan ketidakpastian daripada mati. Dalam hal ini, adalah masa depan. Tapi aku rasa, orang-orang yang takut akan masa depan hanya mereka yang terlalu banyak berpikir untuk sesuatu yang kurang berharga. Terlalu memikirkan hari esok, sedangkan kita masih berada di sini. Tapi, bukan berarti tanpa cara, kan? Bukan berarti jika kita mampu menenangkan diri di atas ketidakpastian masa depan, lalu kita tak mempersiapkan apa-apa? Tak ada usaha apa-apa untuk menyambut itu?

Pernah seorang teman mengujiku dengan pertanyaan : Apa yang kau inginkan tak terwujud, tapi yang tak kau inginkan malah datang. Bagaimana kau menanggapi takdir yang seperti itu?
Kemudian aku dididik oleh kehidupan untuk bertemu dengan makhluk bernama ‘keinginan’. Mengapa selalu engkau yang mengacaukan segalanya? Mengapa manusia harus melawan keinginannya sendiri? Mampukah manusia hidup tanpa dengan keinginan?

Ketika akhirnya doa terkabul untuk tidak menikah dengan seseorang dari kota yang sama – tentu saja aku bersyukur, ku akui itu bukan keinginan. Aku hanya berpikir saja, bahwa menikah dengan seseorang dari sini, kemungkinan besar akan memakan biaya besar. Aku tak punya.

Ketika akhirnya doaku terkabul untuk dianugerahi anak – tentu saja aku sangat bersyukur, itu juga bukan keinginan. Aku berpikir saja bahwa akan lebih baik bagi seorang ‘aku’ jika memiliki momongan. Karena aku akan punya alasan setiap diminta banyak orang untuk berbicara tentang pendidikan anak.

Ketika akhirnya doaku terkabul untuk dianugerahi anak laki-laki – sekali lagi aku sangat amat bersyukur, itu juga bukan keinginan, meski pada awalnya memang aku menginginkannya. Tapi begini, se-ingin apapun kita terhadap sesuatu, itu tak akan terjadi jika Tuhan belum menghendaki. Dan konsekuensi dari rasa ingin ketika itu tidak terwujud adalah.... apa menurutmu? KEKECEWAAN. PENYESALAN. Dan yang lebih berbahaya : KEPUTUSASAAN.

Ketika pikiran menggodaku untuk berdoa menginginkan seorang anak, aku BERPIKIR : Ah, tubuhku kerempeng. Pekerjaanku belum begitu menghasilkan banyak uang. Ibadahku jelek. Dengan alasan apa aku akan membela diri bahwa aku pantas dikaruniai anak? Jika Tuhan mau memberi, alhamdulillah. Jika Tuhan memang belum menghendaki, its ok. Tapi tentu saja, aku akan terus berusaha. Dan BERPIKIR bahwa aku sebaiknya memiliki anak. Meski terserah bagaimana Tuhan saja.

Ketika pikiran menggodaku ingin anak perempuan atau laki-laki, aku BERPIKIR : Ah, Tuhanku. Istriku Engkau kehendaki untuk mengandung dan sehat sampai saat ini saja aku sudah sangat bersyukur. Mau laki-laki atau perempuan, terserah bagaimana Engkau saja, Tuhanku. Laki-laki atau perempuan, dia akan sangat membutuhkan kasih sayang ibu bapaknya. Laki-laki atau perempuan, aku akan mendidik dia sebaik-baiknya.

Dan saat ini, seperti hampir tiap manusia yang sedang menjalani hidupnya, aku dalam permohonan besar pada Tuhan. Aku dalam persoalan besar, yang mendadak, yang sebaiknya segera aku cari solusinya. Apakah aku berdoa dengan semangat begitu tinggi? Rasanya tidak. Dan entah mengapa aku tak mau mendramatisir di hadapan Tuhan bahwa aku memang sangat membutuhkan itu.
Dalam permohonan itu pikiranku menggoda, mengapa tidak mengamalkan dzikir tertentu, atau mencari rentenir, atau siapa saja yang menjadikanku harus bertindak terburu-buru. Aku pun BERPIKIR : Ah, Tuhanku yang maha pemurah. Aku tak punya pembelaan mengapa aku harus selalu mendapat kemudahan-Mu. Bahwa Engkau memang maha pemurah pada siapa saja, Engkau maha kaya dan mampu untuk apa saja – aku sangat yakin itu. Benar aku sangat membutuhkan sedikit kekayaanmu itu untuk urusan kecilku dengan umat manusia, tapi mengapa Engkau harus menolongku? Siapa aku?


Lalu biarlah ini mengalir. Jika Tuhan menghendaki akan menolong – aku BERPIKIR begitu, alhamdulillah. Jika memang Dia meminta kami bersabar, itu memang yang terbaik. Tapi tentu saja, aku terus berjalan mencari solusi. Aku akan terus berusaha, tanpa doa yang meraung-raung seperti saudara kita itu.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)