Keimanan yg kuat lahir dari keraguan yg sangat menyakitkan. Tidak ada
penderitaan, yg ada hanyalah kekuatan yg belum muncul dari datangnya
musibah yg tak diharapkan. Ia yg kuat masih dapat terluka, tapi luka itu
tak membuatnya sedikitpun berhenti melangkah. Di mana kedamaian jiwa?
Dalam kematian, seseorang tak dapat terluka lagi._Jon Q_
Jon berkisah...
"Hanya dengan bermodal mengungkapkan cinta lewat ucapan, Surti dan Tedjo
berpacaran. Tedjo berjuang, berkorban, lebih mesranya, mencintai Surti
sepenuh hati. Dan ia pun menuntut balik, Surti berjuang, berkorban,
lebih mesranya, mencintai Tedjo sepenuh jiwa. Tanpa janji di hadapan
pegawai KUA dan para wali-nya. Yg penting cinta, mau apa juga, yg
penting cinta. Tak peduli hukum atau etika, orangtua mereka dulu mungkin
juga begitu. Mereka mengulangi, nanti anak mereka juga, cucu, cicit
mereka juga beralasan sama : yg penting cinta.
Tapi ternyata Tedjo menikah dengan wanita lain. Tak peduli perjuangan,
pengorbanan, atau lebih mesranya, cinta, Surti ditinggalkan. Lalu Tedjo
dengan bijaknya mengatakan, "Inilah takdir," meninggalkan Surti, atau
lebih tragisnya, melupakannya."
"Yg seperti itu sakit, gak?" tanya Jon pada Bon. Aku tertawa tertahan.
Pertanyaan goblok, jelas sakit banget lah!
"Tapi kebanyakan perempuan begitu," Jon menjawab sendiri. "Cinta kasta
waisya, cinta jual-beli tapi berkata menghutang, padahal mencuri,"
Kami seperti dua anak santri yg diceramahi kyainya.
"Menikah juga jual-beli, ijab-kabul, boleh maharnya berhutang dulu, tapi
bukan mencuri," cerocos si Jon. "Zaman terlampau pintar, perempuan
dicuri dari orangtuanya, tapi malah merasa senang,"
Kami tertawa satire.
"Dan cinta yg tertinggi adalah jual-beli antara kita dengan Tuhan. Meski
diri sebenarnya adalah milik-Nya, Ia meminta siapa saja yg menginginkan
kedamaian saat hidupnya untuk menjual diri sepenuhnya pada-Nya. Dengan
keimanan, dengan keraguan yg menyakitkan selama mencari-Nya, dengan
cinta. Tak boleh ada yg memasuki hatiku kecuali Dia,"