Jon, sang guru, dan secangkir kopi

Java Tivi
0
Begitu banyak pria yg sok jagoan di depan jamaah, massa, publik, tapi di depan istri sendiri tak mengerti hak dan kewajiban yg harus dipahamkan pelan-pelan. Besar di luar, kecil di dalam, para istri pasti paham itu menggelikan._Guru si Jon_






"Kamu gak lagi buru-buru kan?" tanya guru si Jon sore itu.

"Eng-, enggak guru," nampak benar si Jon ingin wejangan beliau tentang persoalan yang baru saja ia ceritakan.

"Kalau gak buru-buru, aku buatkan kopi," kata guru Jon.

Yang ditanya cuma menganggukan kepala.

"Kamu mungkin tak pernah mengira aku juga kerepotan saat pertama-pertama menjadi seorang suami," cerita guru si Jon. "Aku pernah marah, mengangkat istriku lalu aku lemparkan ke kasur, tentu meski emosi aku tak begitu keras. Tapi efeknya mutlak. Dia tahu aku juga bisa marah. Tapi aku tak menyarankan kamu juga melakukan itu," Mereka tertawa terkekeh, sama-sama mengerti tubuh Jon yang kerempeng tak mungkin kuat melakukan itu.

"Diminum kopinya," ajak guru si Jon. "Pernah suatu saat aku pulang dari hajatan, dapat 'brekat' (nasi plus lauk pauk khas hajatan masyarakat Jawa). Istri cuma mengambilkan nasi untukku, dia katanya sudah makan, gak lapar. Aku balik itu nasi dan lauk pauknya. Aku melangkah keluar ambil kunci mobil niatnya mau keluar. Tapi dia memelukku dari belakang, minta maaf." Sebegitu tingginya guru si Jon menuntut penghormatan dari istrinya, sangka Jon.

 "Bukan berarti aku egois, atau aneh, kalau menurutmu begitu," kata guru si Jon seakan mendengar suara pikirannya. "Aku tak mau mendidik setengah-setengah pada diriku sendiri. Suami makan kok gak ditemani? Kalau suami makan di luar ditemani perempuan lain, mau? Suami istri yg lagi bertengkar itu ibarat bicara depan cermin. Karena kita adalah dua jasad satu jiwa. Jangan buat kesal suami yang sudah capek kerja, memberi hak-hak istri, kalau suami kesal di dalam rumah dan cari 'teman' penghibur di luar rumah, mau? Hak-haknya aku kasih, kewajibanku aku penuhi, kok penghormatan saja setengah hati?" Murid kerempengnya mendengarkan dan membayangkan, betapa gurunya yang biasanya bijak dan lemah lembut ternyata bisa 'sangar' begitu.

"Tapi kamu gak cerita ini pada orang lain kan?" tanya guru si Jon.

"Enggak lah, aku gak akan cerita sisi gelap diriku sendiri pada orang lain," jawab Jon.

"Lho kenapa?"

"Seperti nasehat guru dulu, selesaikan itu di dalam kamar, dan keluarlah sebagai seseorang yang jiwanya sebesar ketika berhadapan dengan istrimu,"

 "Wah, mestinya tadi aku janga cerita ya?" kata guru si Jon.

Mereka tertawa renyah. Secangkir kopi hitam yang Jon minum serasa tak pahit. Bebannya terasa ringan, merasa memiliki teman, setiap orang memiliki masing-masing masa-masa sulit.

"Kamu ini kan 'penyampai', ceramah di forum a pengajian b," lanjut guru si Jon. "Jangan sampai di depan banyak orang terlihat 'besar', tapi di depan istri sendiri berjiwa kecil. Bijaklah. Ajak dialog, apalagi kamu aku tahu bukan tipe pemarah. Jangan besar di luar (rumah), tapi kecil di dalam (rumah), istrimu tak puas nanti,"

"Haha," Mereka tertawa, agak kencang kali ini. candaan vulgar yang menyegarkan jiwa, si Jon khususnya.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)