Menang pertempuran, kalah perangnya

Java Tivi
0
Membersihkan sisa-sisa perang dan tetap berada dalam barisan-barisan, menunggu keputusan siapa yang memenangkan perang menjadi waktu yang tak kalah memberatkan. Banyaknya pasukan yang menggentarkan musuh mungkin membuat kita memenangkan pertempuran. Tapi jika kalah perangnya, kita dipermalukan. Terlebih lagi mengatasnamakan membela Tuhan._Jon Q_



"Nggak ikut demo, Mas?" tanya Lee malam itu di forum BRN.

"Kok para ustadz dan kyai juga turun tangan ya, Mas?" tambah Tum. "Apa memang sudah segawat itu? Tapi mana ustadz-ustadz mualaf yang selalu mendengungkan hukum Islam, ya? Mana barisan orang-orang berkening hitam dan bercelana cingkrang, ya?"

"Husst! Jangan begitu lah." kata Bon. "Tentu, kita tak setuju dengan aksi massa yang dasar gerakannya kurang kuat. Kita tidak setuju perjuangan dengan niat yang ditutupi, tapi kita jelas nggak boleh merasa lebih baik, apalagi lebih suci dari mereka yang turun ke jalan,"

"Setuju," tambah Dul. "Andai kita warga sana, kita juga nggak bakal pilih beliau kok yang katanya menistakan agama. Niat kita jangan ditutupi-tutupi. Kita mengerti beliau digerakkan orang-orang berkuasa di balik layar untuk melenyapkan bangsa ini pelan-pelan. Kita paham di kota kecil kita ini pun sudah masuk orang-orang yang bersiap mengubah kota ini menjadi sesuatu yang lain yang bukan jati diri kota ini lagi. Tapi tentu kita juga tak membenci mereka yang lantang turun ke jalan,"

"Kalian ini kok jadi berlebihan sih," Beth menyanggah. "Yang ditanya itu si Jon, bukan kalian,"

"Em, maksudku, ke panjenengan secara umum," kata Tum. "Bukan cuma ke Mas Jon,"

"Kita ikut prihatin, Beth." kata Bon.

"Masak negeri kita terancam perang saudara, kita nggak prihatin sih?" tambah Dul.

"Iya, Mas. Menurut Mas Jon sendiri itu bagaimana?"

"Ente pasti mengikuti pesan dari guru intelektualmu di Jogja sana ya?" Beth terus terang.

"Enggak juga," Jon terkekeh. "Aku ini orang kecil, yang ku hadapi juga masyarakat kecil, pikiran-pikiran kecil, kok tiba-tiba aku mesti omong hal besar tentang kebangsaan. Memang aku siapa?"

"Merendah... Merendah..." canda Dul.

"Yak bagaimana toh, yang pelajar lupa tugasnya, yang guru lupa siswanya, yang pelayan negara lupa tanggung jawab sebenarnya, antar ulama menyatakan pendapatnya yang membingungkan umat di luar barisan di sana. Lalu apa?"

"Dengan seperti itu kita mungkin memenangkan pertempuran, tapi sangat mungkin kita kalah perangnya. Tiap hari kita perang, kita berjuang untuk umat manusia meski dalam lingkup kecil. Kita lapar, kita dipermainkan, kita melawan kenyamanan demi orang-orang tertindas di sekitar kita ini. Lalu ada seruan jihad yang bahkan satu hari pun tidak sampai. Mana bisa itu setara dengan perjuangan kita di sini yang tiap hari?"

"Jadi Mas lebih memilih dibilang munafik, kafir, karena tak tergerak seruan itu?"

"Lah, seruan kita di sini siapa yang mendengar?" lanjut Jon. "Sekalipun Jibril turun dan mengatakan aku kafir, munafik, dan akan dilemparkan ke dasar neraka. Terbakar habis di sana, selama itu yang diridoi Allah, memangnya kenapa?"

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)