Seekor Gagak Albino dan Merpati Putih

Java Tivi
0
Pemahaman yg mendalam, kebijaksanaan, tak akan bisa memasuki hati yang dendam. Cahaya ilahi bersinar, namun tak bisa memasuki jiwa yg tertutup rapat._Jon Q_ Seekor gagak albino hidup bersama merpati putih. Sang merpati salah pilih, karena mengira si gagak berpenyakitan itu adalah merpati jantan. Albino adalah peristiwa biologis ketika lapisan kulit tak mampu menyimpan zat putih dari dalam kulit. Tapi karena telah terlanjur memutuskan, akhirnya mereka menjalani hidup bersama. Dalam kitab suci orang Islam, gagak dianggap burung yang bijak. Mereka tak akan meninggalkan teman mereka yg mati. Mereka akan menguburkannya. Dan ketika ada salah satu gagak yg mencuri, maka ia akan dikejar, lalu diadili di tengah-tengah kumpulan gagak. Seperti persidangan manusia. Tapi ini gagak albino. Ia berbeda, asing, dan tak normal. Di kumpulannya saja ia jarang memiliki teman, senang menolong burung yg lain namun tetap kesepian. Mengapa ia tertakdir berbeda? Renungnya suatu saat. Di suatu pagi, sang merpati ingin pulang ke peraduannya. Keluar dari hutan belantara tempat gagak albino hidup. Namun si gagak sepertinya tak mampu, karena selain selama ini bertarung mengusir burung lain yg mengganggu kawanannya, semalam ia terluka. Ia terkena jaring perangkap yg dibuat manusia. Meski ia mampu meloloskan diri dengan sifat keras kepalanya, sayap dan kakinya terluka parah. Tapi karena ia tak ingin melihat sang merpati yg dicintainya itu kecewa, ia menguatkan diri. Terbang tertatih dan lemas menuju habitat merpati di perkotaan manusia. Ketika telah sampai diperaduan, sang merpati diajak merpati lainnya untuk pergi ke taman. Terbang bermain bersama merpati lainnya. Si gagak yg tertidur lemas ingin ditemani, namun tak tega jika melihat yg dicinta merasa kecewa. Ia merelakan tertinggal diperaduan, melepas sang merpati yg terbang meninggalkannya sejenak. Sore ketika sang merpati kembali ke peraduan, si gagak berbincang. "Aku berharap engkau berkata pada teman-teman merpatimu pagi lalu, 'Kali ini aku tak turut serta, kawan. Pejantanku sedang terluka dan ia tak akan lama disini karena harus kembali ke hutan.' tapi aku tahu apa nanti akhirnya," kata si gagak albino. "Lihat, kau ini aneh." sanggah sang merpati. "Kau membolehkanku terbang bersama teman-temanku sesama merpati. Tapi dihatimu kau tak rela, kau plin-plan." "Merpati sayang," kata gagak. "Aku tak ingin mengikatmu. Aku tak ingin menjadikanmu yg selalu mengikuti kata-kataku. Engkau bukan malaikat, engkau merpati yg kucinta. Aku ingin mengerti bahwa engkau, seperti aku, memiliki akal yg mampu memilih. Terbang bersama teman-temanmu sesama merpati membuatmu senang, tapi bersamaku disini yg sedang terluka engkau akan dijanjikan surga Tuhan," karena memilih sesuatu yg benar seringkali tak mengenakan. Sesuatu yg benar seringkali memaksa untuk mengorbankan kesenangan. "Kenapa kau tak bilang saja?" jawab sang merpati lagi. "Jika kau tak membolehkanku, aku akan tetap disini," "Merpatiku, aku tahu perasaanmu," kata gagak terdengar bijak. "Aku tak ingin memilikimu hanya raganya saja. Engkau disini, tapi pikiran dan hatimu disana, terbang bersama merpati yang lain jika aku memaksamu tinggal," "Maafkan aku sayang," kata gagak. "Aku tak marah, aku tak dendam pada habitatmu. Karena aku tahu pemahaman yg mendalam tak akan memasuki hati yg dendam. Aku mencintai ketika engkau baik, dan aku mencintaimu ketika engkau buruk. Bukankah kau juga begitu padaku?" Mereka, para burung mengerti meski tak membaca kitab suci. 'Kal an'am balhum adlolu sabila', para hewan mengerti mereka tersesat, karena itu mereka tak mau mengerjakan sesuatu yg bukan tugasnya. Tak mau lebih sesat dari fatwa sesat oleh Tuhan mereka. Dan manusia, 'balhum adlolu', lebih sesat dari binatang, kemudian tak pernah menyadarinya. Mudah-mudahan kita tak termasuk itu.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)