Pernah membayangkan hidup seorang buronan? Tertekan, terancam,
terkejar-kejar. Hampir mustahil ia memiliki kedamaian dalam hidupnya.
Makan, tidur, minum kopi sambil baca buku di senja hari : itu tak
mungkin. Kecuali kau memiliki ilmu Ibrahim. Terbakar api, tapi tetap
tenang, bahkan api menyerah menjadi dingin. Jika kau tak punya uang,
cita-cita atau impian dapat kau beli dengan rasa sakit dan
penderitaan._Jon Q_
Gandhi pernah ditanya oleh wartawati dari Inggris yg mengaguminya.
"Apa kau yakin dengan prinsip 'tanpa kekerasan' (ahimsa) kau juga bisa
mengalahkan Hitler?" kurang lebih begitu pertanyaannya.
"Tidak dengan kekalahan dan rasa sakit yg sangat menyakitkan," jawab
Gandhi. "Tapi, apakah perang ini tanpa kekalahan dan rasa sakit? Yg tak
boleh kita lakukan adalah menerima begitu saja ketidakadilan dari Hitler
atau siapapun. Kita harus menampakan ketidakadilan itu, lalu
memadamkannya,"
Perang atau bersabar, keduanya menuntut rasa sakit dan penderitaan.
Mungkin, seperti kata Jon, bahkan di surga pun akan tetap ada
penderitaan. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerti yg ia rasakan
adalah kebahagiaan jika ia tak pernah menderita? Tapi, menurut si Jon,
surga, jika memang sebuah tempat, adalah imbalan untuk orang-orang yg
menikmati rasa sakit seperti ketika ia menikmati rasa sehat. Ia tetap
tertawa, dalam derita atau gembira. Logika meledak memikirkan ini.
Seperti hidup seorang buronan, si Jon, dikepung banyak persoalan.
Dikejar-kejar tugas yg ia tak tahu mengapa harus dia, sedang tak ada
keinginan apa-apa dalam hatinya.
"Kau mau tahu mengapa aku tak mengkhawatirkanmu?" tanya Jon pada Joan.
"Itu sakit. Aku belum bisa memahamimu. Tapi, apa yg membuatmu begitu?"
tanya Joan.
"Di dinding kamarku tertulis dua kalimat, 'Apa yg kau takutkan lagi?'
dan 'Apa yg kau harapkan lagi pada dunia ini?'" Jon berkhotbah pada
kekasihnya. "Hidupku seperti buronan yg tak tahu mengapa ia diincar.
Tertekan, dikejar-kejar, dikepung persoalan yg menantangku untuk
dilawan. Aku babak belur, terjatuh, terinjak, tapi tak pernah mau kalah.
Dari luka yg membekas di sekujur ruang jiwaku, tak ada lagi yg aku
harapkan pada dunia ini. Dan nyaris tak ada yg aku takutkan lagi,"
"Nyaris?" ucap Joan.
"Iya," lanjut Jon. "Ketakutanku hanya satu. Engkau, atau siapapun di
dunia ini yg ku cintai tersakiti. Rasa sakit mendewasakan. Aku juga
paham. Tak mungkin aku menghalangi alam yg sedang mendidikmu, atau siapa
saja yg ku cintai, dengan rasa sakit. Aku hanya bisa berdoa, agar Tuhan
selalu menjagamu, menjaga orang-orang yg kucinta. Karena tak ada
penjagaan yg lebih baik dari penjagaan-Nya. Tak lebih dari itu, karena
yg bisa dilakukan oleh seorang buronan adalah terus berlari dari
ketakutannya sendiri,"