Seorang buronan

Java Tivi
0
Pernah membayangkan hidup seorang buronan? Tertekan, terancam, terkejar-kejar. Hampir mustahil ia memiliki kedamaian dalam hidupnya. Makan, tidur, minum kopi sambil baca buku di senja hari : itu tak mungkin. Kecuali kau memiliki ilmu Ibrahim. Terbakar api, tapi tetap tenang, bahkan api menyerah menjadi dingin. Jika kau tak punya uang, cita-cita atau impian dapat kau beli dengan rasa sakit dan penderitaan._Jon Q_ 

Gandhi pernah ditanya oleh wartawati dari Inggris yg mengaguminya.

"Apa kau yakin dengan prinsip 'tanpa kekerasan' (ahimsa) kau juga bisa mengalahkan Hitler?" kurang lebih begitu pertanyaannya.

"Tidak dengan kekalahan dan rasa sakit yg sangat menyakitkan," jawab Gandhi. "Tapi, apakah perang ini tanpa kekalahan dan rasa sakit? Yg tak boleh kita lakukan adalah menerima begitu saja ketidakadilan dari Hitler atau siapapun. Kita harus menampakan ketidakadilan itu, lalu memadamkannya,"

 Perang atau bersabar, keduanya menuntut rasa sakit dan penderitaan. Mungkin, seperti kata Jon, bahkan di surga pun akan tetap ada penderitaan. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerti yg ia rasakan adalah kebahagiaan jika ia tak pernah menderita? Tapi, menurut si Jon, surga, jika memang sebuah tempat, adalah imbalan untuk orang-orang yg menikmati rasa sakit seperti ketika ia menikmati rasa sehat. Ia tetap tertawa, dalam derita atau gembira. Logika meledak memikirkan ini.

Seperti hidup seorang buronan, si Jon, dikepung banyak persoalan. Dikejar-kejar tugas yg ia tak tahu mengapa harus dia, sedang tak ada keinginan apa-apa dalam hatinya.

 "Kau mau tahu mengapa aku tak mengkhawatirkanmu?" tanya Jon pada Joan.

"Itu sakit. Aku belum bisa memahamimu. Tapi, apa yg membuatmu begitu?" tanya Joan.

"Di dinding kamarku tertulis dua kalimat, 'Apa yg kau takutkan lagi?' dan 'Apa yg kau harapkan lagi pada dunia ini?'" Jon berkhotbah pada kekasihnya. "Hidupku seperti buronan yg tak tahu mengapa ia diincar. Tertekan, dikejar-kejar, dikepung persoalan yg menantangku untuk dilawan. Aku babak belur, terjatuh, terinjak, tapi tak pernah mau kalah. Dari luka yg membekas di sekujur ruang jiwaku, tak ada lagi yg aku harapkan pada dunia ini. Dan nyaris tak ada yg aku takutkan lagi,"

"Nyaris?" ucap Joan.

 "Iya," lanjut Jon. "Ketakutanku hanya satu. Engkau, atau siapapun di dunia ini yg ku cintai tersakiti. Rasa sakit mendewasakan. Aku juga paham. Tak mungkin aku menghalangi alam yg sedang mendidikmu, atau siapa saja yg ku cintai, dengan rasa sakit. Aku hanya bisa berdoa, agar Tuhan selalu menjagamu, menjaga orang-orang yg kucinta. Karena tak ada penjagaan yg lebih baik dari penjagaan-Nya. Tak lebih dari itu, karena yg bisa dilakukan oleh seorang buronan adalah terus berlari dari ketakutannya sendiri,"

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)