Manusia dilahirkan tak langsung selesai ia adalah manusia. Tapi mengalami perjalanan panjang yang tak jarang menyakitkan - tentang cinta, pencarian Tuhan, dan diri, yang membuat manusia terus menerus berubah. Normal, aneh, asing, normal lagi, aneh, tak waras : sembuh!
Seakan ada perasaan melankolia tentang masa lalu yang menyediakan tempat untuk menyepi. Terpisah dari rutinitas, keramaian, dan sejenak menjadi 'beda' dari keumumam. Masa-masa kuliah itu benar-benar membuatku rindu. Tak masalah berapapun orang yang menjauh, menolak bergaul, selama masih memiliki waktu untuk menyepi, rasanya lebih dari cukup. Tapi, apakah perasaan seperti ini hanya letupan kesepian dan ketertekanan dari masalah-masalah yg tak kunjung dapat dirampungkan? Pertanyaan berulang tentang kewarasan terus bertamu. Kau masih seperti dulu ataukah sudah 'sembuh'? . Lalu seperti kebanyakan orang-orang gila di rumah sakit jiwa sana, menolak untuk 'disembuhkan'. Lalu, sembuh itu yang bagaimana? Nah, lihat. Jika aku normal, maka tak mungkin aku bertanya 'sembuh itu seperti apa'?
Maslow meneliti kriteria orang-orang sehat, begitu juga dengan Frankl, Freud yang lebih pada gangguan mental, dan Jung. Orang-orang sehat berorientasi ke masa depan. Mereka belajar dari masa lalu tapi tak menyalahkan apa yang telah terjadi. Rasanya, selama aku hidup aku begitu, tak mau mengungkit apa yang memang sudah terlewat, tak menyesali dan belajar bagaimana agar tak terulang lagi. Sebaliknya, banyak orang melakukan kebalikannya, menyalahkan hari-hari 'kemarin', masa lalu, seakan keinginan mereka saat ini mampu mengubah apa yang telah terjadi. Tapi mengapa, jika mereka yang tak sesuai dengan kriteria para pendekar kejiwaan di atas, justru aku yang teranggap gila? Apa sih yang seharusnya dilakukan orang gila? Memisahkan diri? Bagaimana jika yang gila ternyata adalah masyarakat kita, dan mereka bersiap menyebarkan virus gila itu pada anak-anak generasi kita? Bagaimana seorang gila membuktikan dirinya sudah sembuh tanpa mengikuti kebiasaan yang dilakukan orang banyak itu? Kenapa? Karena bisa jadi mereka yang gila, dan ketika kita mengikuti mereka, alih-alih kita sudah sembuh ternyata justru mengikuti mereka yang benar-benar gila?
Persoalan-persoalan yang tak tercatat setiap hari, mengendap. Jiwa yang merengek meminta berbicara selalu ku tolak dengan alasan lelah. Menulis, mengapa kini begitu susah? Tidakkah banyak yang seharusnya kau ceritakan disini? Mengapa kau menunda, sedang endapan pikiran-pikiran ketertekanan itu mengkristal dan sebentar lagi membuatmu berubah menjadi 'umum'. Kau berangsur 'meng-umum', semakin sulit membedakan mana engkau dan orang lain. Jika pada akhirnya kau 'menyama' (menjadi sama) dengan banyak orang, mengapa kiranya Tuhan harus menciptakanmu? Bukankah sudah banyak kamu-kamu lain yang diciptakan Tuhan? Dan dengan mudahnya kau berteriak : Aku sudah sembuh!
Kau justru gila dengan kesembuhanmu itu.
Umah, 18 Januari 2018
#konsultasipsikisgratis
Baca ini juga ya, teman...
Guru Kenthir (Gila) Doa-doa yang tersesat
#konsultasipsikisgratis
Baca ini juga ya, teman...
Guru Kenthir (Gila) Doa-doa yang tersesat