Manusia berhak melakukan kebaikan, sebesar haknya untuk berbuat
keburukan. Berhak ibadah, sebesar haknya untuk ingkar. Dan Tuhan
'membolehkan' itu. Memberi dua jalan, kebaikan dan keburukan, ibadah dan
ingkar, dan membuat ujungnya masng-masing : kedamaian dan api yang
membakar._Jon Q_
"Kita tak bisa mengelak seluruhnya," lanjut Jon bicara tentang riba.
"Karena kita bermain di dalam 'wadah' (sistem) bukan bikinan kita -
muslim. Hampir segalanya, ekonomi, pendidikan, budaya kita dihancurkan,
politik kita dikerdilkan, siapa yang masuk ke sana mendadak lupa,"
"Bagaimana dengan sistem 'ekonomi kesejahteraan' oleh seorang ilmuwan
muslim itu?" tanya Beth. "Aku baca Bill Gates saja sudah menyumbangkan
sebagian besar gajinya untuk kemanusiaan?"
"Alah, tapi kalau kafir tetap saja kan, gak diterima," Bon menanggapi.
"Itu tema yang lebih berat, Bon," Dul menanggapi lagi. "Dan sensitif.
Karena bisa jadi kita menunjuk orang yang sebenarnya tidak lebih kotor
(jiwanya) dari kita,"
"Sedikit lagi kau mirip si Jon, Dul," kata Beth mendengar kata bijaknya.
Mereka tertawa.
"Kafir iman, atau yang tadi kita bahas, tersesat atau tertuntun, itu
konsep yang dinamis dalam Islam sendiri, bray," Jon merapikan. "Itu
konsep yang 'mengalir', tajriy min tahtihal anhar, terus mengalir,
pantharei. Kadang kita yang muslim ini kafir (ingkar), kadang beriman.
Kadang tersesat, kadang tertuntun, seperti sungai, kadang mengalir
kadang menggenang."
"Selama agenda pemusnahan ruh pemikiran muslim dari abad ke-13 belum selesai, kita tak akan se-jaya dulu." lanjut Jon.
Mereka sempat diskusi tentang pemerosotan pemikiran sejak abad ke-13.
Dilupakannya ilmu kalam (filsafat) karena takut sesat. Berlebihannya
umat dengan tasawuf yang over dosis, yang membuat tiap pengikutnya
fanatis, dan meyakini kefanatisan itu sewajib mencari ilmu.
"Tapi, tidakkah menjadi perasaan tiap manusia bahwa keburukan itu
dibenci kita semua?" Tum melanjutkan. "Sepertinya kita tak perlu kitab
suci untuk menjelaskan kalau dipukul, diinjak itu sakit. Apalagi harga
diri?"
"Mantap pertanyaanmu, Tum." kata Bon.
"Secara mendasar benar, kita tak senang tersakiti," jawab Jon. "Tapi
ketika itu sudah diikuti oleh hasrat pribadi, kaki ini milikku, tubuh
ini milikku dan tak ada yang boleh menyakiti dengan alasan apapun, kita
akan menjadi seperti binatang, bahkan lebih sesat. Kal an'am bal hum
adlolu sabiil,"
"Sih gak usah marah kalau misalnya kaki kita diinjak? Apalagi hati, Mas," Lee mulai Baper.
Mereka terkekeh.
"Bukan begitu juga, Lee. Jangan memaknai begitu saja omongan si Jon," Beth menenangkan.
"Seperti pertanyaanmu sebelumnya, kita punya qur'an, bahkan
pemikir-pemikir muslim perintis begitu banyak sistem kehidupan yang
berdasar pada qur'an," lanjut Jon. "Tapi setelah abad pencerahan eropa,
semua itu diputarbalikan. Kita dikuasai oleh sistem-sistem yang bertolak
belakang dengan qur'an dan kemanusiaan. Karena kembali lagi pada
kepentingan personal, milik, kita tak bisa melepaskan diri dari mereka,
orang-orang yang memiliki modal dan strategi penguasaan."
"Secara mendasar manusia ingin dirinya selalu aman. Tapi karena
kebodohan, kita melukai diri sendiri tapi selalu menyalahkan orang lain.
Karena memang manusia berhak berbuat baik sebesar haknya untuk berbuat
jahat. Berbuat baik itu gak wajib, tapi hak. Karena kita manusia,
diberikan pilihan mau mencuri atau sabar dalam berusaha, mau menipu
korupsi atau lelah bekerja. Kita bukan malaikat yang memang sudah
diprogram baik. Dan surga menjadi tak layak untuk mereka karena itu.
Juga neraka menjadi masuk akal, karena tak setiap yang teraniaya mampu
membalas setimpal mereka yang menganiaya, atau diri yang tak sadar
ternyata telah menganiaya diri sendiri,"
"Bagaimana jika bekerja keras, terus menerus teraniaya, dan ketika
mendapat keberuntungan dia bagi-bagi ke banyak orang?" Bon menyindir
Jon.
Bacaan selanjutnya
Hidup tanpa mainstream Jejak-jejak masa lalu yang tertinggal