Menjaga rasa hambar pada dunia

Java Tivi
0
Apa sebenarnya gejala yg sedang aku alami ketika tak ingin menulis inspirasi berdatangan tak berhenti,  namun saat harus menulis justru ada perasaan enggan menulis begitu kuat?
Beberapa menit lalu aku berpikir,  seandainya ada 10x kesempatan piknik sekolah bersamaan dengan acara diskusi mahasiswa,  maka akan aku tinggalkan acara piknik itu kemanapun tujuannya. Mungkin.

Aku merasa 'hidup' ketika berada di tengah-tengah kumpulan orang-orang yang haus ilmu. Tak ada rasa kantuk, bosan, ingin pulang atau semacamnya. Satu-satunya alasan mengapa forum diskusi adalah karena kita disana,  saat diskusi itu, hanyalah 'penyegaran' sebelum kita kembali bertarung dengan takdir hidup kita. Forum itu adalah 'tanah lapang' tempat kita berlatih dan menguatkan diri. Mengeluarkan beban pertanyaan hidup,  sekaligus menyampaikan apa yg biasanya disalahartikan di masyarakat. Mungkin itu, kesinambungan untuk terus belajar dan mengoreksi keumuman di masyarakat yang menjadikan diri ini semakin merasa hambar mencicipi nikmatnya dunia.

Sebelum lupa,  tadi siang sebelum jumatan,  saat berjalan menuju masjid, aku dapat pemahaman baru tentang ayat 'menjaga pandangan' yg menjadikan sebagian orang yg sok agamis salah kaprah. Ayat itu berkata 'jagalah pandanganmu', bukan 'alihkan pandanganmu' ketika berbicara dengan seseorang yg bukan mahram kita. Menjaga pandangan, karena saat kita bicara pandangan kita umumnya ke wajah teman bicara kita. Pandangannya dijaga, agar tetap ke wajah, bukan ke wilayah (bagian) lain pada badan kawan bicara kita itu. Tentu,  'pandangan' ini juga termasuk pikiran. Menjaga pandangan juga termasuk menjaga pikiran agar ketika kita memandang wajah perempuan, pikiran kita tidak ke area lain bagian tubuh perempuan tersebut.

Juga di surat ar ruum, di ayat yang berkata 'mereka hanya melihat lahirnya saja,  tapi akherat mereka lupa'. Penjelasannya adalah, kita cenderung terpenjara pada pemahaman apa yg terjadi saat ini saja. Bahwa apa yg kita lakukan, orang lain lakukan, itu semua nanti ada 'akhirnya' (balasan). Ini yg menjadikan umat muslim harus percaya pada 'hari akhir', saat-saat pembalasan, ketika apa yg kita lakukan dahulu semuanya terbalas. Mengapa orang-orang harus beriman pada 'hari akhir'? Agar semua tingkah lakunya dijaga. Pikiran, ucapan, tindakan, semuanya akan ada pembalasannya suatu hari nanti. Jangan berbuat jahat!

Dan judul di atas itu adalah harapan agar aku mampu seperti dulu lagi. Merasa hambar pada dunia, tak bisa merasakan sedih dan senang, segalanya terasa sama dan biasa saja. Karena kini aku sudah berubah lagi, berproses mundur, dari perasaan hambar itu menjadi larut dalam rasa senang dan sedih terhadap dunia ini. Dan itu bagiku tak enak. Aku butuh diriku yg dulu, yang tetap bekerja keras tanpa keinginan. Yang mampu melakukan banyak hal tanpa rasa ingin. Dan menyelesaikan banyak tugas-tigas kehidupan dengan tetap menjaga dari rasa ingin dari dalam diri. Bagaimana caranya lagi?

Bengi, 19 Januari 2018

Baca ini juga, yaa...

Kesombongan yang menyenangkan                                                      Natural

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)