Jabal uhud menjadi antitesis (timbal balik) dari perang Badar. Pasukan
yang bergembira mengira musuh telah kalah hanya karena jumlah, hanya
karena lawan seakan terpukul mundur, lalu semuanya menjadi nyaris
hancur. Mujahid menjadi syuhada, dan sang nabi pun terpukul sampai
gerahamnya patah. Kemenangan adalah proses terus menerus dalam berjuang,
tidak ada titik final. Hidup mulia, atau mati sebagai syuhada._Jon Q_
"Tapi, Jon," Beth memotong uraian hikmah yang lebih seperti rentetatan
peluru kopasus pada pikiran mereka. "Kau mungkin lebih paham dari kami,
kau mungkin lebih prihatin tentang negeri ini daripada kami, tapi apakah
tak bisa pelan-pelan saja?"
"Setuju, Beth," Bon mendukung. "Kenapa kau ini? Apa tak bisa kita
belajar seperti biasa, pelan-pelan saja?"
"Mungkin benar kami tak memiliki disiplin berpikir sepertimu, Jon," Dul
menambah. "Tapi apakah tak bisa seperti biasa, bertahap, pelan-pelan,
bijak lah. Tak semua anak muda mengalami pengalaman batin sepertimu. Kau
ini emosi apa lapar?"
"Lapar, Dul. Yakin sung," Jon menelan makanannya. "Dinung (minum) dulu
ya Jahe-nya,"
Mereka tertawa tertahan melihat ekspresi bloon si Jon. Seperti anak
kecil yang mudah berkelahi mudah bermain, tak ada emosi yang menempel di
hatinya terlalu lama.
"Tapi setidaknya, bukankah sangat baik, kalau kita pernah berada dalam gelombang sejarah yang baru tercipta?" Tum memulai lagi.
"Jika itu kebaikan, mengapa kita tak mengikutinya, kalau itu bukan kebaikan, mengapa para ulama mengikutinya?" Lee menguatkan.
"Kalau bukan putih, maka hitam, begitu ya?"
Mereka terhenyak, teringat diskusi-diskusi sebelumnya tentang spektrum dan lima wujud zat.
"Anggap kita ikut dalam jamaah jihad kemarin," Jon mulai menanggapi.
"Apa yang kita lakukan setelah pulang jihad dari sana? Mencari uang,
rekayasa jabatan, keamanan finansial, hutang? Mana semangat jihad
kemanusiaan dan tauhid yang sebesar kemarin? Kita pulang, memikirkan
diri sendiri lagi, mementingkan hidup diri kita sendiri lagi? Apa kita
kira setelah sholat kita boleh tak mengingat Allah? Apakah setelah
pulang berjihad lalu ke-istiqomah-an semangat itu tak diteruskan dalam
kehidupan sehari-hari?"
"Kau ini setuju atau menolak sih, Jon?" tanya Dul.
"Di depanmu ada anak-anak remaja yang sedang meraba-raba pemikirannya. Kau malah mengajarkan kebencian," Bon menambahkan.
"Aku tak sedang dalam posisi itu, anggap saja aku munafik, pengecut,"
Jon membalas. "Aku dalam kondisi bertanya, meragukan, dan di awal aku
bilang, anggap kita mengikuti itu. Kalian salah besar kalau menganggap
apa yang aku ucapkan selalu benar, tak bisa salah, atau final. Kita
belajar agar terus menggali, mengecek kembali apa yang telah kita bahas
sebelumnya."
"Siapa yang kita ikuti? Siapa yang mengimami perjuangan hidup kita
secara menyeluruh?" Jon melanjutkan. "Ulama? Kyai? Habib? Kita tak
mengikuti orang, yang kita ikuti saat ini adalah sifat. Kebaikan mereka,
bukan orangnya. Karena satu-satunya orang yang wajib kita ikuti, baik
sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan, atau sebagai pribadi, hanya
rasulullah. Kita mengikuti ia yang hidup segaris derita dengan rasul.
Bisa kaya, tapi memilih miskin. Bisa pamer tapi memilih tersembunyi,
bisa merajai tapi memilih derajat rakyat. Yang sering kelaparan,
menangis dalam sujudnya, dan tak memiliki kemewahan apapun baik itu
sandang, pangan, atau papan-nya. Dan kita berkumpul rutin seperti ini
agar Allah berkenan kita bangun jalan menuju rasul lewat ilmu dan
ngaji,"
"Mas Jon menyindir kemarin yang pakai lamborghini, ya?" Lee menggoda.
Nampaknya semangatnya berjihad sudah terjawab.
"Aku tak peduli," jawab Jon cuek. "Kalau memang merasa kaya, aku sangat
berharap ada hartawan muslim yang membeli sawah-sawah yang dijadikan
perumahan itu. Sawah dan lahan kosong menjadi bidikan para taipan, dan
petani kita tak bisa apa-apa. Mereka menanam padi, jagung, kedelai,
pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Tapi ternyata bapak kita di
atas sana malah impor beras, tepung, kedelai, bagaimana ini? Aksi
kemarin kan, Masya Allah, 7,4 juta orang. Berapa orang yang berjuang
dalam pendidikan, agar sistem pendidikan kita tak membodohi? Berapa yang
berjihad dalam wilayah bisnis, yang bisa bersaing dengan para makelar
tiongkok?"
"Kau ini seperti benci sekali dengan cina, Jon?" Beth memotong. "Kau
bilang sendiri, jangan mengajarkan kebencian, kan?"
"Aku sedang menjelaskan kondisi saat ini, bray," Jon menyanggah. "Jumlah
kita seperti bernuansa jabal uhud. Kita terkena euforia ledakan massa,
dan mengira telah menang, sedang mereka yang kita takuti dengan jumlah
yang banyak itu, diam-diam telah membidik tepat di atas kepala kita,"
"Mengapa Tuhan tak menolong kita, mas?" Lee menelikung ke tema teologi.
Bacaan selanjutnya
Dua jalan Hak-hak sisi gelap