Dari perjalanan intelektual yang pernah aku alami, pada akhirnya kita akan mengerti bahwa tidak semua pertanyaan harus memiliki jawaban jelas. Sebagian pertanyaan, bahkan terjawab dengan penerimaan hati, bahwa – pertanyaan-pertanyaan – itu hanya hasrat menggebu yang membuat jiwa tertekan. Menjawabnya, bukan dengan penjelasan, melainkan dengan penerimaan jiwa._Jon Q_
Dua pertanyaan :
Pertama, mengapa Tuhan menciptakan manusia?
Kedua, mengapa seorang pendakwah berada di tenagh-tengah jamaah perempuan dan laki-laki yang terbatasi hijab?
Pertanyaan pertama, harus ku jawab : TIDAK TAHU. Mengapa? Manusia tak akan pernah mencapai ‘pemikiran’ Tuhan. Tapi, baiklah, karena yang diinginkan dari penanya adalah penjelasan, akan aku jelaskan – jangan salahkan aku jika jawabannya justru membingungkanmu. Tapi nanti, akan ku bahas dulu pertanyaan kedua.
Di jaman rasulullah, dalam muamalah nyaris tidak ada deskriminasi antara perempuan dan laki-laki muslim. Bahkan, tak jarang dalam qur’an, Tuhan meninggikan derajat wanita. Karena memang derajat wanita begitu tinggi. Tidak ada laki-laki yang mendapatkan amalan sebesar ketika wanita sabar saat haid, mengandung, dan melahirkan. Logis kalau ada nasehat ‘surga di telapak kaki ibu : al jannatu tahta aqdamil ummahat.
Buyut rasulullah, Ummu Salamah, ibu dari kakek rasul – Abdul Muthalib, bahkan menjadi wanita terhormat di kalangan masyarakatnya. Dalam tulisan lain, aku jelaskan apa yang disebut ‘perempuan’ (dari kata ‘empu’, guru,yang berarti dimuliakan, ditinggikan derajatnya, wajar jika ada atsar, ibu adalah sekolah utama : al ummu madrasatul ula), dan apa makna di balik kata ‘wanita’.
Kisah deskriminasi pada perempuan terlacak mulai di jaman Umar ibn Khottob. Hadis-hadis tentang ‘pemaksaan’ atau deskriminasi yang waktu rasulullah masih hidup tidak ada, mulai bermunculan. Umar sendiri pernah dimarahi habis-habisan oleh istrinya, sampai seorang sahabat takut tak berani berkunjung. Waktu ditanya oleh sahabat itu, mengapa Umar tak membalas, beliau menjawab, “Mengapa aku harus memarahi orang yang mendidik anak-anakku dan menyiapkan kehidupanku di rumah?”
Rasulullah sendiri pernah ‘ribut’ dengan Hafsah binti Umar bin Khottob. Sampai-sampai turun ayat yang menyadarkan Hafsah setelah tiga bulan didiamkan rasul – karena persoalan dengan Asma binti Nu’man.
Semua kisah di atas menggambarkan betapa setara derajat muslimah dan muslimin dalam hal muamalah. Lalu mengapa terjadi deskriminasi? Interpretasi mengarah pada penyelamatan perempuan. Di jaman Umar, ada seorang pria yang begitu tampan, yang bahkan setelah dibotak dan dipakaikan baju lusuh, tetap saja para wanita tergila-gila padanya, hingga akhirnya Umar memerintahkan ia untuk tinggal jauh dari masyarakat – perempuan. Dari sudut pandang subjektif, deskriminasi mungkin seakan terlihat merendahkan wanita, tapi jika dilihat lebih objektif, justru itu dilakukan agar wanita tak menjerumuskan dirinya sendiri.
Tentang hijab antara laki-laki dan perempuan, itu tradisi arab pasca khulafa’urrasyidin. Alasan klise-nya, bahwa hasrat personal di sana begitu besar (konon ada undang-undang di arab yang melarang seorang laki-laki menatap lama pada perempuan yang bukan mahram/muhrim). Berbeda dengan di Nusantara, saat sholat, seperti yang diajarkan rasul, laki-laki di depan, sedang perempuan di belakang, tanpa hijab kain lebar dan tinggi seperti sekarang. Itu simbol, bahwa perempuan adalah makmum, dan boleh melihat juga menegur saat jamaah di depannya salah.
Dan tentang anak-anak muda yang belajar agama terhijab oleh kain besar dan tinggi, anggap saja itu antisipasi, karena hasrat kepemudaan memang cenderung ‘sesat’. Bagaimana dengan pendakwahnya yang duduk di depan di antara mereka? Anggap saja agar tak terjadi deskriminasi, kaum perempuan itu tak bertanya : seperti apa orang yang bicara di balik hijab itu?
Tapi, bagi orang yang dicap liberal seperti saya, lebih terasa kekeluargaan jika tak ada hijab itu. hijab kita cukup di hati dan pikiran. Jikapun ada jamaah yang berhasrat, suka, ia akan kecewa oleh perasaannya sendiri, karena berhasrat pada seseorang yang tak berhasrat padanya. Rasa kecewa itu akan menjadi pelajaran berharga, bahwa ketika tengah berhadapan dengan ilmu, maka pada ilmu-lah fokus kita tertuju.
Kedua, tentang penciptaan manusia. Saya bisa saja mengajak pembaca untuk membaca lagi ayat-ayat qur’an tentang penciptaan manusia. Tapi, sekali lagi saya bisa menjamin, itu tak akan cukup untuk menenangkan logika – dengan hasrat yang begitu menggebu.
Terus terang, saya juga tak menyangkal dulu pernah ‘tersesat’ memikirkan itu. untuk apa manusia diciptakan, siapa yang ingin dilahirkan jika ternyata hidup tak selalu menyenangkan, mengapa manusia menjadi jahat karena dunia, mengapa Tuhan membiarkan kekejaman terjadi, dan lain sebagainya.
Dalam teosofi barat, Tuhan tak menciptakan manusia, tapi juga manusia ada bukan tiba-tiba muncul. Ada proses yang namanya ‘emanasi’. Tapi, pemikiran ini saya yakin, tak sembarang orang mampu memikirkannya. Yang ada, ketika mereka bertanya hal-hal semacam itu, kemudian saya jawab dan mengajak agar terus mendaki ke puncak intelektualitas, mereka menyerah, memilih hidup umum, normal. Tapi baiklah, tugas saya Cuma menyampaikan apa yang saya mengerti, meski itu sangat sedikit.
Tuhan tak menciptakan manusia. Karena jika Tuhan menciptakan, maka Tuhan akan berpikir tentang apa yang akan diciptakan-Nya itu. Tuhan berpikir? Dari mana kita tahu, sedang pikiran kita tak akan pernah bisa mencapai-Nya? Jika pun Tuhan menciptakan manusia, dari apa manusia diciptakan, sedang yang ‘ada’ hanya Tuhan? Apakah manusia adalah Tuhan itu sendiri? ataukah manusia adalah bagian dari Tuhan? Jika manusia adalah bagian dari Tuhan, maka Tuhan tak tunggal (esa) lagi. mengapa? Karena ada bagian-bagian-Nya. Sekali lagi saya katakan, pikiran kita tak akan bisa mencapai-Nya.
Dalam dunia tasawuf, entah benar atau salah, dijelaskan dalam syair-syair ‘mabuk’.
Aku mencari Tuhan, tapi yang ku temukan adalah diriku sendiri. dan aku mencari diriku sendiri, tapi yang ku temukan adalah Tuhan. (Junaidi Al Baghdadi)
Tat twam asi. Aku adalah engkau, dan engkau adalah Aku dalam wujud yang berbeda. (Baghawad Gita)
Pencarian Tuhan seperti seseorang yang mencari suara dalam kegelapan malam. Saat cahaya mentari meneranginya, ia mengerti bahwa yang ia cari-cari adalah dirinya sendiri. (Jon Quixote)
Pemahaman seperti ini, dalam dunia tasawuf disebut pemahaman esoterik. Pemahaman subjektif, yang tak boleh sembarangan diucapkan seorang ulama (berilmu). Tapi, mengapa saya menuliskan ini? karena saya tak termasuk golongan itu. aku hanya mengutipkannya saja, tanpa benar-benar mengerti apa makna syair-syair itu.