Burung yg dapat terbang mendahului teman-temannya akan terasingkan. Seperti manusia yg kembali pada kemurnian. Zaman menuntut kepalsuan, dan perbedaan, selain menjadi barang asing, juga tak lebih disukai daripada keumuman. Manusia memimpikan petualangan, tapi menyenangi kenormalan keadaan._Jon Q_
"Apa kabarmu sore ini?" tanya perempuan Jon.
"Tetap bersyukur - hehe," jawab Jon singkat.
"Aku dengar dari beberapa teman kamu, tentang sifat, karakter, dan pemikiran kamu," katanya dari balik telepon. "Aku jadi ingat kisah sebuah guci cantik dulu waktu SMA,"
"Emm.. Ada hubungannya denganku?"
"Ada! Ada - hehe,"
"Coba, seperti apa..?"
Lalu ia pun bercerita...
Ada sebuah guci cantik terjatuh di pinggiran sawah. Ia bahagia, karena kembali ke rumah. Karena ia memang berawal dari sana, hingga akhirnya menjadi diri yg lain, yg tak bisa - bukan tak mau - tinggal di sana lagi. Segala sesuatu memiliki tempatnya masing-masing. Lalu guci itu berbincang dengan tanah liat di sawah itu.
"Aku dulu seperti kamu," kata guci cantik. "Sampai diaduk, diputar, dibakar, diwarnai, menjadi seperti ini,"
"Di bakar? Aku tak pernah - mau - membayangkan diriku terbakar," kata tanah liat dengan segan. "Itu pasti sangat menyakitkan,"
"Tapi, inilah aku," kata guci lagi. "Seperti apapun menyakitkannya hari-hariku kemarin, saat ini aku menjadi yg sekarang ini,"
"Aku bahkan tak percaya kau termasuk bagian kami," kata tanah liat lagi. "Engkau memang terlihat anggun, tapi bagi kami kau aneh. Aku ragu kau bagian dari kami,"
"Tak apa," kata guci. "Aku lihat teman kita yg dulu diinjak-diinjak dan dibakar. Kini ia berada diketinggian - menjadi genteng. Apa kau ingin terus menerus di bawah sana?"
Tanah liat tak menjawab.
"Kamu pernah bilang kita tercipta dari tanah lumpur (min sholsholin kal fakhor)," kata perempuan Jon. "Mungkin begitu, ya? Ibarat genteng&guci cantik itu,"
"Hehe," Jon tertawa.
"Lho? Kok malah ketawa?"
"Engga, kamu benar," kata Jon. "Terima kasih sudah mengingatkan, dan... Sudah memahamiku,"